Definisi
Suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoselular. Jaringan penunjang retikulin kolaps, disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular, dan regenerasi nodularis parenkim hati (Nurdjanah, 2007).
Epidemiologi
Lebih dari 40% pasien asimtomatis. Di Indonesia, data prevalensi sirosis hati belum ada, hanya laporan-laporan dari pusat pendidikan saja. Di RS Dr. Sardjito Yogyakarta jumlah pasien sirosis hati berkisar 4,1% dari pasien yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam dalam kurun waktu 1 tahun (2004) (Nurdjanah, 2007).
Etiologi
a. Penyakit infeksi : hepatitis virus (hepatitis B, hepatitis C, hepatiits D, sitomegalovirus), toksoplasmosis, bruselosis, ekinokokus, dan skistosomiasis.
b. Penyakit keturunan dan metabolik : defisiensi α1-antitripsin, sindrom Fanconi, galaktosemia, penyakit Gaucher, penyakit simpanan glikogen, hemokromatosis, intoleransi fluktosa herediter, tirosinemia herediter, dan penyakit Wilson.
c. Obat dan toksin : alkohol, amiodaron, arsenik, obstruksi bilier, penyakit perlemakan hati non alkoholik, sirosis bilier primer, kolangitis sklerosis primer
d. Penyebab lain atau tidak terbukti : penyakit usus inflamasi kronik, fibrosis kistik, pintas jejunoileal, dan sarkoidosis (Nurdjanah, 2007).
Klasifikasi
Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata (belum adanya gejala klinis yang nyata) dan sirosis hati dekompensata (ditandai gejala-gejala dan tanda klinis yang jelas). Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaannya secara klinis. Hal ini hanya dapat dibedakan melalui pemeriksaan biopsi hati. Sirosis secara konvensional diklasifikasikan sebagai makronodular (besar nodul > 3 mm) atau mikronodular (besar nodul < 3 mm) atau campuran mikro dan makronodular. Sebagian besar jenis sirosis dapat diklasifikasikan secara etiologis dan morfologis menjadi : 1) alkoholik, 2) kriptogenik dan post hepatitis (pasca nekrosis), 3) biliaris 4) kardiak, 5) metabolik, keturunan, dan terkait obat (Nurdjanah, 2007).
Patologi dan Patogenesis
Terdapat tiga pola khas yang ditemukan pada kebanyakan kasus, yaitu sirosis Laënnec, pascanekrotik, dan biliaris.
a. Sirosis Laënnec
Sirosis Laënnec (disebut juga sirosis alkoholik, portal, dan sirosis gizi) merupakan suatu pola khas sirosis terkait – penyalahgunaan alkohol kronis yang jumlahnya sekitar 75% atau lebih dari kasus sirosis.
Perubahan pertama pada hati yang ditimbulkan alkohol adalah akumulasi lemak secara bertahap di dalam sel-sel hati (infiltrasi lemak). Akumulasi lemak mencerminkan adanya sejumlah gangguan metabolik yang mencakup pembentukan trigliserida secara berlebihan, menurunnya jumlah keluaran trigliserida dari hati, dan menurunnya oksidasi asam lemak. Secara makroskopis, hati membesar, rapuh, tampak berlemak, dan mengalami gangguan fungsional akibat akumulasi lemak dalam jumlah banyak.
Sebagian pakar yakit bahwa lesi kritis dalam perkembangan sirosis hati mungkin adalah hepatitis alkoholik. Hepatitis alkoholik ditandai dengan nekrosis hepatoselular dan infiltrasi leukosit polimorfonuklear di hati. Pada kasus sirosis Laennec yang sangat lainjut, lembaran-lembaran jaringan ikat yang tebal terbentuk pada pinggir-pinggir lobulus, membagi parenkim menjadi nodula-nodula halus. Nodula ini dapat membesar akibat aktivitas regenerasi sebagai usaha hati untuk mengganti sel-sel yang rusak. Hati tampak terdiri dari sarang-sarang sel degenerasi dan regenerasi yang dikemas padat dalam kapusla fibrosa yang tebal. Pada keadaan ini, sirosis hati sering disebut sebagai sirosis nodular halus. Hati akan menciut, keras, dan hampir tidak memiliki parenkim normal pada stadium akhir sirosis, dengan akibat hipertensi portal dan gagal hati.
b. Sirosis Pascanekrotik
Sirosis pascanekrotik, terjadi menyusul nekrosis berbecak pada jaringan hati, menimbulkan nodula-nodula degeneratif besar dan kecil yang dikelilingi dan dipisah-pisahkan oleh jaringan parut, bersenlang seling dengan jaringan parenkim hati normal. Sekitar 25 % kasus memiliki riwayat hepatitis virus sebelumnya. Banyaknya pasien dengan hasil tes HbsAg positif menunjukkan bahwa hepatitis kronik aktif agaknya berperan penting. Ciri yang agak aneh dari sirosis ini adalah bahwa merupakan predisposisi terhadap neoplasma hati promer.
c. Sirosis Biliaris
Kerusakan sel hati yang dimulai di sekitar duktus biliaris akan menunjukkan pola sirosis yang dikenal sirosis biliaris. Penyebab sirosis ini adalah obstruksi biliaris posthepatik. Stasis empedu menyebabkan penumpukan empedu dalam massa hati dengan akibat kerusakan sel-sel hati. Terbentuk lembar-lembar fibrosa di tepi lobulus, namun jarang memotong lobulus. Hati membesar, keras, bergranula halus, berwarna kehijauan. Ikterus menjadi bagian awal dan primer dari sindrom, demikian pruritus, malabsorbsi, dan steatorea. Penyebabnya yang berkaitan dengan lesi-lesi duktulus empedu intrahepatik, tidak diketahui. Sumbat empedu sering ditemukan dalam kapiler-kapiler dan duktulus empedu dan sel-sel hati seringkali mengandung pigmen hijau. Saluran empedu ekstrahepatik tidak ikut terlibat (Nurdjanah, 2007).
Manifestasi Klinis
Gejala terjadi akibat perubahan morfologi dan lebih menggambarkan beratnya kerusakan yang terjadi daripada etiologinya. Didapatkan gejala dan tanda sebagai berikut :
a. Gejala-gejala gastrointestinal yang tidak khas seperti anoreksia, mual, munrah, dan diare.
b. Demam, berat badan turun, lekas lelah
c. Asites, hidrotoraks, dan edema
d. Ikterus, kadang-kadang urin menjadi lebih tua warnanya atau kecoklatan.
e. Hepatomegali, bila telah lanjut hati dapat mengecil karean fibrosis. Bila secara klinis ditemukan adanya demam, ikterus, dan asites, di mana demam bukan oleh sebab-sebab lain, dikatakan sirosis dalam keadaan aktif. Hati-hati akan kemungkinan timbulnya prekoma dan koma hepatikum.
f. Kelainan pembuluh darah seperti kolateral-kolateral di dinding abdomen dan toraks, kaput medusa, wasir, dan varises esofagus.
g. Kelainan endokrin yang merupakan tanda dari hiperestrogenisme, yaitu :
1) Impotensi, atrofi testis, ginekomastia, hilangnya rambut aksila, dan pubis
2) Amenore, hiperpigmentasi areola mammae
3) Spider nevi dan eritema
4) Hiperpigmentasi
h. Jari tabuh (Nurdjanah, 2007)
Pemeriksaan Penunjang
Adanya anemia, gangguan faal hati (penurunan kadar albumin serum, peninggian kadar globulin serum, peninggian kadar bilirubin direk dan indirek), penurunan enzim kolinesterase, serta peninggian SGOT dan SGPT.
Pemeriksaan terhadap alfa feto protein sering menunjukkan peningkatan. Untuk melihat kelainan secara histopatologi dilakukan biopsi hati (Nurdjanah, 2007).
Penatalaksanaan
a. Istirahat di tempat tidur sampai terdapat perbaikan ikterus, asites, dan demam.
b. Diet rendah protein (diet hati III : protein 1g/kgBB, 55 g protein, 2000 kalori)
c. Mengatasi infeksi dengan antibiotik. Diusahaakn memakai obat-obat yang jelas tidak hepatotoksik
d. Memperbaiki keadaan gizi, bila perlu dengan pemberian asam amino esensial berantai cabang dan glukosa
e. Roboronsia. Vitamin B kompleks. Dilarang makan dan minum bahan yang mengandung alkohol (Nurdjanah, 2007).
Komplikasi
Hematemesis melena dan koma hepatikum (Nurdjanah, 2007).
Prognosis
Prognosis tergantung pada luasnya kerusakan hati/kegagalan hepatoselular, beratnya hipertensi portal, dan timbulnya komplikasi lain.
Klasifikasi Child dipakai sebagai petunjuk prognosis yang tidak baik dari pasien sirosis (Nurdjanah, 2007).
Parameter Klinis | Derajat klasifikasi | ||
| 1 | 2 | 3 |
Bilirubin (mg/dl) | < 2 | 2-3 | >3,0 |
Albumin (g/dl) | >3,5 | 3-3,5 | <3 |
Asites | Tidak ada | Terkontrol | Sulit dikontrol |
Defisit Neurologik | Tidak ada | Minimal | Berat/koma |
Nutrisi | Baik | Cukup | Kurang |
Kombinasi skor : 5-6 (Chilld A), 7-9 (Child B), 10-15 (Child C)
Mortalitas Child A pada operasi sekitar 10-15%, Child B 30%, dan Child C diatas 60% (Nurdjanah, 2007)
A. Hemorroid
1. Etiologi
a. Faktor genetik
b. Gangguan proses BAB (diet, feses keras, gerak peristaltik yang lambat, tonus anus yang kuat)
c. Sering mengejan
d. Kongesti pelvis pada kehamilan
e. Pembesaran prostat
f. Fibriod uteri
g. Tumor rektum
h. Penyakit hati kronis yang disertai hipertensi portal
(Simadribata 2007;Wilson, 2005)
2. Patofisiologi
Kongesti vena akibat gangguan aliran balik vena hemorrhoidalis (Simadribata 2007;Wilson, 2005).
3. Gejala
a. Gejala utama:
1) Perdarahan peranus (darah segar, tidak bercampur dengan feses seperti pada melena)
2) Benjolan di anus
b. Gejala tambahan:
1) Sakit di anus
2) Lendir per anus
3) Tenismus
4) Terasa ada yang ngganjel di anus
5) Pruritus
6) Gejala-gejala anemia
7) Infeksi (Simadribata 2007;Wilson, 2005)
4. Klasifikasi
a. Berdasarkan lokasi
1) Hemorrhoid eksterna
Varises pleksus hemorrhoidalis inferior di bawah linea pectinea dan diliputi oleh kulit
a) Bentuk akut : pembengkakan bulat kebiruan pada pinggir anus krn hematoma
b) Bentuk kronis/skin tag: sekuele dari hematoma akut berupa lipatan satu atau lebih lipatan kuulit anus yg terdiri dari jaringan ikat dan pembulurh darah
2) Hemorrhoid interna
Varises pleksus hemorrhoidalis superior dan media di atas linea pectinea dan diliputi oleh mukosa
Grade I: hemorrhoid masih di dalam duburà hanya dapat dilihat dengan anoscopy
Grade II: hemorrhoid keluar saat mengejan à bisa masuk sendiri (spontan)
Grade III: hemorrhoid keluar spontanà harus dimasukkan dengan bantuan tangan
Grade IV: hemorrhoid di luar terusà tidak bisa dimasukkan, rentan terhadap trombosis dan infark
3) Hemorrhoid campuran (interna dan eksterna)
(Simadribata 2007;Wilson, 2005)
5. Penegakan diagnosis
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan anus dan sekitarnya (dari luar): tampak benjolan keluar dari anus, ada lendir di anus
c. Rectal toucher
d. Anoscopy/protoscopy
e. Pemeriksaan abdomen untuk memeriksa apakah ada tumor (Simadribata 2007;Wilson, 2005)
6. Penatalaksanaan
Prinsip : memperbaiki defekasi harus selalu ada dalam setiap bentuk dan derajat hemorrhoid
Grade I: konservatif (pengaturan gaya hidup, obat peroral, obat peranus)
Grade II: konservatif + batuan alat
Grade III: operasi
Grade IV: operasi (Simadribata 2007;Wilson, 2005)
7. Komplikasi operasi
a. Sakit pasca operasi
b. Perdarahan pasca operasi
c. Infeksi luka operasi
d. Anal stenosis
e. Dll (Simadribata 2007;Wilson, 2005)
8. Penatalaksanaan non farmakologis
Pengaturan gaya hidup:
a. Olah raga
b. Minum air putih
c. Konsumsi sayur dan buah
d. Sikap dan lama duduk waktu BAB (disarankan posisi jongkok)
e. Lama duduk di tempat kerja
f. Pengaturan kehamilan
g. Menjaga obesitas
h. Menjaga makanan (yang dilarang: pedas, merica, daging kambing, durian, nanas, salak, acar, cuka, rempah-rempah) (Simadribata 2007;Wilson, 2005)
9. Penatalaksanaan farmakologis
a. Obat untuk memperbaiki defekasi (suplemen serat, obat pencahar)
b. Obat simptomatik (menghilangkan rasa gatal, nyeri, sering dicampur pelumas, vasokonstriktor, antiseptik lemah). Sediaan bentuk supositori untuk hemorrhoid interna dan bentuk krem/ointment untuk hemorrhoid eksterna
c. Obat penghenti perdarahan
d. Obat penyembuh dan pencegah serangan hemorrhoid (ardium 500mg)
(Simadribata 2007;Wilson, 2005)
10. Penatalaksanaan minimal invasive
Dilakukan jika nonfarmako dan farmakologi tidak berhasil skleroterapi hemoroid, ligasi hemoroid, laser (Simadribata 2007;Wilson, 2005).
11. Penatalaksanaan pembedahan
Untuk mencegah perburukan penyakit, untuk mengangkat jaringan yang sudah rusak (Simadribata 2007;Wilson, 2005).
0 comments:
Posting Komentar