Senin, 31 Maret 2008

Hipersensitivitas Tipe 1 (Reaksi Alergi)

Hipersensitivitas adalah keadaan perubahan reaktivitas, tubuh bereaksi dengan respon imun berlebihan atau tidak tepat terhadap suatu benda asing.3 Reaksi hipersensitivitas biasanya disubklasifikasikan menjadi tipe I-IV atas dasar klasifikasi respon imun Gell dan Combs.

Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan suatu respon jaringan yang terjadi secara cepat (secara khusus hanya dalam bilangan menit) setelah terjadi interaksi antara alergen dengan antibodi IgE yang sebelumnya berikatan pada permukaan sel mast dan basofil pada pejamu yang tersensitisasi.5 Individu yang menunjukkan kecenderungan untuk reaksi hipersensitivitas tipe segera disebut individu atopik dan biasanya menunjukkan reaksi alergi setelah terpapar pada antigen lingkungan.1 Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa pola reaktivitas sel T terhadap antigen lingkungan pada orang dewasa ditetapkan sejak masa kecil bahkan inisiasinya terjadi sebelum lahir. Hal itu dimungkinkan karena paparan antigen lingkungan pada ibu hamil dapat menyebabkan trasfer transplasental antigen lingkungan tersebut dengan dosis rendah kepada janin.2 Gambaran klinis mengenai tipe ini akan penulis bahas pada bagian selanjutnya.
Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan antigen target pada permukanaan sel atau komponen jaringan lainnya. Antigen tersebut dapat merupakan molekul intrinsik normal bagi membran sel atau matriks ekstraselular, atau dapat merupakan antigen eksogen yang diabsorbsi (misalnya, metabolit obat). Pada setiap kasus tersebut, respon hipertsensitivitas disebabkan oleh pengikatan antibodi yang diikuti salah satu dari tiga mekanisme bergantung antibodi. Pertama adalah reaksi yang bergantung komplemen yang terjadi melalui dua mekanisme lisis langsung dan opsonisasi. Contohnya adalaha reaksi transfusi. Sel darah merah dari seorang donor yang tidak sesuai dirusak setelah diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan untuk melawan antigen golongan darah donor. Kedua adalah sitotoksisitas selular bergantung antibodi (ADCC) meliputi pembunuhan melalui jenis sel yang membawa reseptor untuk bagian FcIgG; sasaran diselubungi oleh antibodi dilisiskan tanpa fagositosis maupun fiksasi komplemen. Ketiga adalah disfungsi sel yang diperantai antibodi. Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor permukaan sel merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel atau inflamasi. Pada penyakit Graves, antibodi terhadap reseptor hormon perangsang tiroid (TSH) merangsang sel epitel tiroid dan menyebabkan hipertiroidisme.5
Kompleks imun sebenarnya terbentuk setiap kali antibodi bertemu dengan antigen, tetapi dalam keadaan normal pada umumnya kompleks ini segera disingkirkan secara efektif oleh jaringan retikuloendotelial, tetapi ada kalanya pembentukan kompleks imun menyebabkan reaksi hipersensitivitas. Keadaan imunopatologik akibat pembentukan kompleks imun dalam garis besar dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu: 1) dampak kombinasi infeksi kronis yang ringan dengan respons antibodi yang lemah, menimbulkan pembentukan kompleks imun kronis yang dapat mengendap di berbagai jaringan; 2) komplikasi dari penyakit autoimun dengan pembentukan autoantibodi secara terus menerus yang berikatan dengan jaringan self; 3) kompleks imun terbentuk pada permukaan tubuh, misalnya dalam paru-paru, akibat terhirupnya antigen secara berulang kali. Manifestasi klinik akibat pembentukan kompleks imun in vivo, bukan saja bergantung pada jumlah absolut antigen dan antibodi, tetapi juga bergantung pada perbandingan relatif antar kadar antigen dan antibodi. Dalam suasana antibodi berlebihan atau bila kadar bila kadar antigen hanya relatif sedikit lebih tinggi dari antibodi, kompleks imun yang terbentuk cepat mengendap sehingga reaksi yang ditimbulkannya adalah kelainan setempat berupa infiltrasi hebat dari sel-sel PMN, agregasi trombosit dan vasodilatasi yang kemudian menimbulkan eritema dan edema. Reaksi ini disebut reaksi Arthus.1,2
Imunitas seluler merupakan mekanisme utama respons terhadap berbagai macam mikroba, termasuk patogen intrasel seperti Mycobacterium tuberculosis dan virus, serta agen ekstrasel seperti fungi, protozoa, dan parasit. Namun, proses ini dapat pula menyebabkan kematian sel dan jejas jaringan, baik akibat pembersihan infeksi yang normal maupun sebagai respons terhadap antigen sendiri (pada penyakit autoimun). Contoh lain reaksi sensitivitas kulit kontak terhadap bahan kimiawi (seperti poison ivy) dan penolakan garft. Oleh karena itu, hipersensitivitas tipe IV diperantarai oleh sel T tersenitisasi secara khusus bukan antibodi dan dapat dibagi lebih lanjut menjadi dua tipe dasar: (1) hipersensitivitas tipe lambat, diinisiasi oleh sel T CD4+, dan (2) sitotoksisitas sel langsung diperantarai oleh sel T CD8+. Pada hipersensitivitas tipe lambah, sel T CD4+ tipe Th1 menyekresi sitokin sehingga menyebabkan adanya perekrutan sel lain, terutama makrofag, yang merupakan sel efektor utama. Pada sitotoksisitas selular, sel T CD8+ sitotoksik menjalankan fungsi efektor.5
Mekanisme efektor sistem imun yang paling kuat salah satunya adalah reaksi yang terjadi akibat stimulasi mastosit jaringan dan basofil yang diperantarai IgE. Proses yang terjadi pada hipersensitivitas tipe I ini adalah: 1) produksi IgE oleh sel B sebagai respon terhadap antigen paparan pertama; 2) pengikatan IgE pada reseptor Fc yang terdapat pada permukaan sel mastosit dan basofil; 3) interaksi antara antigen paparan kedua dengan IgE pada permukaan sel yang mengakibatkan 4) aktivasi sel bersangkutan dan pelepasan mediator yang tersimpan pada granulanya.2
Teori yang diterima para pakar mengenai produksi imunoglobulin saat ini adalah teori Clonal Selection (Seleksi Klonal) dimana pada teori ini satu sel plasma hanya memproduksi satu jenis antibodi spesifik.4 Pada awalnya ketika terpapar pertama kali oleh antigen tubuh akan merespon dengan mengirimkan IgM. Kemudian sel penghasil antibodi akan memproduksi Ig A, G, D, E dengan spesifisitas yang sama. Ig A, G, D tidak dapat menempel pada basofil dan mastosit karena reseptornya tidak cocok dan apoptosis. Ig E tidak demikian karena dia dapat berikatan reseptor FcεRI. Basofil yang sudah ada IgEnya kemudian terpapar antigen yang sama ia akan berdegranulasi mengeluarkan mediator-mediator kimiawi yang dapat bermanifestasi klinis hipersensitivitas tipe I (alergi).
Pada kasus anak tersebut terkena eczema beberapa hari setelah lahir. Eczema adalah edema yang disertai eksudat serosa di lapisan sel epidermis,3 jadi dia merupakan hasil inflamasi. Mengapa terjadi demikian ? Kemungkinan Eczema tersebut akibat dari antibodi warisan dari ibunya (dalam bentuk IgG), selain itu adanya susu formula yang diberikan kepada bayi tersebut dapat menimbulkan reaksi alergi karena susu tersebut mengandung susu sapi dan memiliki sifat yang berbeda dengan susu manusia. Eczema dapat dikatakan sebagai gejala awal yang menunjukan apabila anak tersebut menderita reaksi hipersensitivitas tipe I.
Bentol-bentol merah serta disertai kolik abdomen dan diare kemungkinan besar diakibatkan karena adanya alergi terhadap makanan tertentu. Pada fungsi fisiologis normal dari organ pencernaan yang baik adalah menetralisir makanan dan semua itu juga bergantung pada sistem imun dan sel imun di mukosa. Udang mengandung beberapa alergen. Antigen II dianggap sebagai alergen utama. Otot udang yang mengandung glikoprotein otot yang mengandung Pen a 1 (tropomiosin) yang juga dapat mengakibatkan reaksi silang antara crustacea, molluscum dan artropoda lainnya. Apabila seorang anak terpapar oleh alergen yang dalam kasus ini adalah udang, kepiting, dan ikan laut, otomatis sel imun yang terdapat pada mukosa akan terganggu dan menyebabkan terganggunya sistem pencernaan dan makanan dianggap sebagai alergen dengan epitop-epitop antigenik dan makin lama makin berakumulasi pada usus halus dan menimbulkan reaksi hipersensitivitas yang merangsang serotonin dan akhirnya bermanifestasi kolik abdomen dan diare.
Dari hasil anamnesis diketahui riwayat penyakit keluarga pasien (dari ibu) adalah sering pilek, hidung gatal, menderita asma dengan gejala sesak nafas dan mengi, dan pernah syok setelah diberi suntikan. Sering pilek dan hidung gatal kemungkinan mengindikasikan bahwa si ibu juga menderita hipersensitivitas tipe I. Asma si ibu diklasifikasikan ke dalam asma eksitrinsik yang terjadi karena keluarnya mediator-mediator kimiawi dari granula mastosit di paru-paru, yang antara lain berisi tryptase yang terbukti menyebabkan respon berlebihan pada bronkhus dan chymase yang dapat merangsang peningkatan sekresi mukus oleh bronkus. Keduanya (termasuk dalam protease) juga dapat merombak (menghancurkan) peptida intestinal vasoaktif yang merupakan mediator relaksasi bronkus. Mastosit juga menghasilkan histamin yang menginduksi prostaglandin dan leuktrien yang dapat mengakibatkan edema. Jadi pada paru-paru mereka dapat menyebabkan konstriksi bronkus, edema, dan hipersekresi mukus yang semuanya adalah ciri-ciri asma.2 Mengenai kekhawatiran Ibu Siti bahwa asmanya akan menurun, hal itu sangat mungkin. Kemungkinan penurunan asma kepada anak yang mempunyai orang tua yang mempunyai RPD asma sebesar 60% - 80%, sedangkan apabila ibu saja yang mempunyai riwayat asma kemungkinan penurunan asma secara herediter kurang lebih 58 %.
Untuk dapat mendiagnosis hipersensitivitas tipe I kita harus memperhatikan gejala dan tanda penyakit tersebut. Mengenai hal tersebut sudah penulis jelaskan pada bagian sebelum ini. Selain itu untuk menegakkan diagnosis juga memerlukan pemeriksaan laboratorium. Hingga saat ini sudah banyak perkembangan dalam metode laboratorium untuk menunjang diagnosis dan evaluasi penderita alergi. Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan sputum untuk melihat ada atau tidaknya inflamasi pada saluran nafas, pemeriksaan kadar allergen di lingkungan pasien dengan cara difusi radial dan RIA, dan yang paling sering dilakukan adalah uji kulit. Uji kulit ini terdiri dari patch test, prick test, dan intradermal. Untuk pemeriksaan yang lebih spesifik dapat dilakukan pengukuran kadar IgE total dan spesifik.2

READ MORE - Hipersensitivitas Tipe 1 (Reaksi Alergi)

Vaksinasi

Jenis repon imun dibagi menjadi respon imun non-spesifik, yang memiliki sifat : biasanya bawaan (innate immunity), pejuang garis depan, cepat bereaksi namun terbatas; dan respon imun spesifik, yang sifatnya didapat, timbul karena reaksi antigen, pejuang garis kedua, lambat memulai tapi lebih kuat dengan kecepatan kembali yang tinggi.

Respon Imun non-Spesifik terdiri dari dua yaitu barrier dan sel-sel makrofag. Barrier terdiri dari kulit, membran mukosa dan sekretnya (saliva, keringat [mengandung NaCl, asam yg mengakibatkan bakteri menjadi mati], air mata[mengandung lisozim yang memecah dinding sel bakteri]), serta flora normal. Sel-sel makrofag terdiri atas Netrofil & Makrofag yang berperan pada proses fagositosis, memiliki sifat bergerak dengan cara : diapedesis (terperas jika sudah ada sedikity bagian yang masuk), ameboid, dan kemotaksis (dipengaruhi oleh racun, degeneratif pada jaringan yang meradang, aktivitas kompleks komplemen yang dinamakan opsonisasi terutama pada C3b). Proses fagositosisnya netrofil / makrofag melekat pada bakteri yang akan dihancurkan kemudian membuat pseudopodia (kaki semu), kemudian bakteri terbungkus dalam gelembung fagositosik dan kemudian dicerna menggunakan enzim lisosomal (proteolitik pada netrofil & makrofag, lipase pada makrofag) dan bahan bakterisidal (pengoksidasi kuat yang berasal dari organel peroksisom). Perbedaan antara netrofil dan makrofag adalah netrofil sudah matang (mature), sedangkan makrofag adalah pematangan dari monosit. Dalam bekerja monosit tetap dapat menerima “pelatihan”. Hal itu yang menimbulkan sistem makrofag-monosit.Sel-sel makrofag selanjutnya adalah Sistem Makrofag-Monosit (sistem retikuloendotelial) Bersifat tidak terlalu mobile. Memiliki berbagai nama yaitu Kupffer (pada hati), Makrofage alveolar (pada paru - paru), Mikroglia (pada saraf pusat), Histiosit (pada subkutan). Kemudian ada Eosinofil. Esinofil Berguna untuk menghancurkan infeksi parasit, contohnya trichinella pada daging babi. Bereaksi pada respon yang dihasilkan basofil. Terakhir Basofil & Sel Mast. Mereka bertugas untuk menimbulkan reaksi peradangan. (Guyton. 1997).
Respon Imun Spesifik terdiri atas Sel T (Timus) dan sel B (Bone Marrow). Sel T dibagi menjadi sel T helper (CD 4) yang berikatan dengan MHC 2 (Major Histocompability Complex). Menghasilkan Sitokin interferon-gamma yang berfungsi memanggil makrofag yang lainnya, Interleukin 2,4,5 yang merangsang sel B untuk berdiferensiasi jadi sel plasma. Interleukin 2 yang penting untuk pertumbuhan CD 4 & 8 yg lain. Sel T sitotoksik (CD 8) memiliki sifat berikatan dengan MHC 1, menghasilkan Perforin (untuk melubangi sel target)serta granzymes (enzim protease untuk menghancurkan protein sel lawan).Sel T supressor (CD 8)bertugas untuk menghentikan kerja dari T yang lain. Terakhir adalah sel T memori untuk mengingat. (Boedina. 2003)
Sel B (Bone Marrow) yang ditemukan pertama kali pada burung dalam Bursa Fabricus terdiri atas Sel Plasma yang berfungsi untuk menghasilkan Imunoglobulin (Ig). Ig terdiri atas Ig M yang memiliki sifat berada di serum permukaan sel B, paling primitif, besar, pentamer, berperan pada respon primer, paling efisien dlm aglutinasi dan fiksasi komplemen. IgG ada di cairan interstisium, paling banyak dalam darah, mampu menembus plasenta,monomer,berperan dalam respon sekunder, menghasilkan imunitas pasif bagi bayi baru lahir, penting pada opsonisasi, prepitasi, aglutinasi. Ketiga IgA. IgA merupakan Ig utama dalam sekresi termasuk dalam ASI, bentuk molekul dimer, menetralisasi toksin dalam darah, pertahanan primer thdp invasi di selaput lendir. Keempat IgD berada di serum permukaan sel B, monomer, fungsi belum jelas.Terakhir IgE ada di serum berikatan dengan reseptor sel mast dan basofil. Limfosit B jenis terakhir adalah limfosit B memori yang berguna untuk mengingat antigen yang sudah pernah diikat. (Wilson. 2005)
Imunisasi adalah penyediaan perlindungan yang spesifik untuk melawan patogen yang umum dan mematikan. Mekanisme dari imunitas bergantung dari bentuk patogen dan patogenesis dari patogen tersebut. Contohnya, jika mekanisme dari patogennya melibatkan exotoxins, maka reaksi imun yang efektif melawan itu adalah mengeluarkan antibodi yang mencegah keterikatannya dengan reseptor yang tepat dan menunjukkan patogen tersebut kepada sel-sel fagosit.(Male,et. al). Dengan imunisasi diharapkan limfosit dapat melihat antigen yang ada pada virus dan dapat membuat antibodi yang tepat, serta dapat mengingatnya dengan bantuan sel B memori. Ada dua jenis imunisasi , yaitu imunisasi pasif dan aktif. Berikut ini akan diuraikan arti dan perbedaan kedua jenis imunisasi tersebut. Berbagai macam vaksin bila diberikan pada anak merupakan contoh pemberian imunisasi aktif. Dalam hal ini tubuh anak akan membnuat sendiri zat anti setelah suatu rangsangan antigen dari luar tubuh, misalnya rangsangan virus yang sudah dilemahkan. Setelah rangsangan ini kadar zat anti dalam tubuh anak akan meningkat. Berlainan halnya dengan imunisasi pasif. Dalam hal ini, imunisasi dilakukan dengan penyuntikan sejumlah zat anti, sehingga kadarnya dalam darah meningkat. (Arjatmo. 2000)
Manusia memiliki dua macam sistem kekebalan tubuh. Sistem ini dibagi menjadi sistem kekebalan tubuh spesifik dan non-spesifik. Sistem kekebalan tubuh non-spesifik berarti menyerang tanpa pandang bulu, jadi sistem ini menyerang segala macam yang dianggap sebagai benda asing oleh barrier dan sel-sel fagosit. Sistem kekebalan tubuh spesifik penyerangannya bersifat spesifik jadi satu sel untuk satu serangan. Pada skenario kali ini akan lebih ditekankan mengenai sistem kekebalan tubuh spesifik.
Imunisasi bertujuan untuk membuat sel-sel limfosit dapat mengenali antigen yang dalam hal ini adalah virus campak. Penyakit campak (morbilli) sangat mudah menular. Kuman penyebabnya adalah sejenis virus yang termasuk dalam golongan paramiksovirus. Gejala yang khas yaitu timbul bercak-bercak merah di kulit (eksantem), 3-5 hari setelah anak timbul demam, batuk. Bercak merah ini semula timbul pada pipi di bawah telinga. Kemudian menjalar ke muka, tubuh, dan anggota gerak. Pada stadium berikutnya bercak bercak merah tersebut akan berwarna coklat kehitaman dan akan menghilang dalam 7-10 hari kemudian. Tahap penyakit ketika timbul gejala demam disebut stadium kataral. Tahap penyakit ketika kemudian timbul bercak merah disebut tahap eksantem. Pada stadium kataral penyakit campak mudah tertular kepada anak lain. Daya tular ini berkurang pada waktu tahap eksantem. (Arjatmo. 2000).
Menurut WHO imunisasi campak diberikan pada usia lebih dari 9 bulan, tetapi karena Indonesia merupakan daerah endemik campak maka imunisasi harus diberikan pada usia sebelum 9 bulan, lebih baik pada usia 6-9 bulan. Waktu tersebut adalah waktu yang dipandang oleh IDAI paling baik karena pada umur 6-9 bulan imunitas bawaan, yang berbentuk IgG dari plasenta ibu dan IgA dalam klostrum (ASI), sudah habis karena dirombak oleh sistem perombakan darah.
Pada kasus kita mendapati anak yang setelah diimunisasi mengalami demam dan radang. Hal ini diakibatkan oleh adanya proses inflamasi, karena sistem kekebalan tubuh membutuhkan waktu untuk bereaksi dan hal ini yang membuat tubuh menjadi kebal. Ada juga kasus yang gagal imunisasinya disebabkan oleh kurang gizi. Penjelasannya kegagalan diakibatkan oleh tidak mampunya limfosit untuk berproliferasi sehingga tidak menimbulkan reaksi apa-apa (reaksi anergik). Kurang gizi juga merupakan salah satu kontra-indikasi dari vaksinasi campak apalagi tahap kurang gizi berat karena asupan gizi yang tidak adekuat menghambat proliferasi limfosit sehingga pasien dapat terkena campak itu sendiri dan mengakibatkan efek samping lebih berat. Efek samping itu menuju sawar darah otak dengan “mengendarai” APC (hisitiosit dalam kulit dan makrofag dalam darah). Hal itu dapat mengakibatkan ensefalitis dan lainnya.
Imunisasi berisifat “dapat diingat”. Jadi orang yang telah terinfeksi, dalam hal ini campak, tidak perlu diimunisasi lagi karena sudah memiliki efek yang sama. Pada beberapa kasus ada antibodi yang diturunkan oleh orang tua, contohnya hepatitis B. Untuk hal ini tidak perlu dilakukan imunisasi lagi, tetapi jika dirasa perlu dapat diulangi kembali. Imunisasi juga sebaiknya dilaksanakan tepat pada waktunya untuk mencegah penyakit berkembang dalam tubuh kita.


READ MORE - Vaksinasi

Senin, 03 Maret 2008

Senang

Akhirnya senang lagi...

Masa aku senang...
Thanks God I Found You...
READ MORE - Senang

Sabtu, 01 Maret 2008

Akhirnya Blogging Lagi

Aahahaa

Akhirnya Blogging lagi
Ini juga lagi kuliah pakar...
Hehehe..
Ga jelas..
Masa masa baru keluar dari rumah sakit...
Kena dhf..
Hiks...
READ MORE - Akhirnya Blogging Lagi

Imun Thrombocytopenic Purpura (ITP)

ITP adalah suatu gangguan autoimun yang ditandai dengan trombositopenia yang menetap (angka trombosit daraf perifer kurang dari 150.000/ µL) akibat autoantibodi yang mengikat antigen trombosit menyebabkan dekstruksi prematur trombosit dalam sistem retikuloendotelial terutama di limpa. Ada dua bentuk ITP : ITP akut , sering terjadi pada anak-anak ( 2-8 thn), sembuh dalam 6 bulan; ITP kronik, sering pada orang dewasa, trombositopenik menetap lebih dari 6 bulan, sebagian besar dapat hidup dengan perdarahan ringan pada kulit.

Patogenesis ITP kronik adalah sensitisasi trombosit oleh autoantibodi (biasanya IgG) menyebabkan disingkirkannya trombosit secara prematur dari sirkulasi oleh makrofag sistem retikuloendotelial, khususnya limpa. Pada banyak kasus, antibodi tersebut ditujukan terhadap tempat-tempat antigen pada glikoprotein IIb-IIIa atau kompleks Ib. Masa hidup normal untuk trombosit adalah sekitar 7 hari tetapi pada ITP masa hidup ini memendek menjadi beberapa jam. Massa megakariosit total dan perputaran (turnover) trombosit meningkat secara sejajar menjadi sekitar lima kali normal. ITP akut paling sering terjadi anak. Pada sekitar 75% pasien, episode tersebut terjadi setelah vaksinasi atau infeksi seperti cacar air atau mononukleosis infeksiosa. Sebagian besar kasus terjadi akibat perlekatan respon imun non spesisfik. Remisi spontan lazim terjadi tetapi 5-10% kasus tersebut menjadi kronis (berlangsung > 6 bulan).Untungnya, angka morbiditas dan mortalitas pada ITP akut sangat rendah.
Pada kasus ditemukan riwayat penyakit sebelumnya, yaitu panas disertai pilek dan diberikan penatalakasanaan amoxyllin. Dari daftar obat yang sering menyebabkan ITP sebagaimana telah penulis lampirkan pada tinjauan pustaka ditemukan penicilin dan turunannya. Hal ini mengindikasikan bahwa anak tersebut kemungkinan menderita ITP yang diinduksi obat. Untuk penegakkan diagnosis dilakukan pemeriksaan lab antara lain Hitung trombosit ( <100000/mm3), sediaan hapus darah tepi ( megatrombosit sering ditemukan ), waktu perdarahan (memanjang), waktu pembekuan (normal), aspirasi sumsum tulang ( peningkatan megakaryosit dan agranuler / tidak mengandung trombosit ), pemeriksaan Imunoglobulin ( PAIgG ).
Penatalaksanaan ITP akut adalah tanpa pengobatan, jadi sembuh spontan; keadaan berat kortikosteroid ( prednison ) peroral dengan atau tanpa transfusi darah keadaan sangat gawat ( perdarahan otak) transfusi suspensi trombosit; Ig secara IV biasa dalam dosis tinggi : 0,4gr / kgBB / hr selama 5 hr. Menyebabkan blokade pd RES. Pada ITP kronik adalah pemberian kortikosteroid selama 6 bulan ( azatioprin, siklofosfamid), splenektomi jika resisten thd prednison dan obat imunosupresif.


READ MORE - Imun Thrombocytopenic Purpura (ITP)

Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi adalah anemia yang disebabkan oleh kekurangan satu atau beberapa bahan yang diperlukan untuk pematangan eritrosit. Salah satunya adalah besi. Besi dalam tubuh orang dewasa kira-kira 4-5 gram dan pada bayi kira-kira 400 mg. Jumlah itu terbagi pada masa eritosit 60 %, feritin dan hemosiderin 30 %, mioglobin 5-10 %, hemenzim 1 %, dan besi plasma 0,1 %. Metabolisme besi di dalam tubuh telah penulis cantumkan pada tinjauan pustaka.

Patogenesis anemia defisiensi besi adalah perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi makin menurun. Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut iron depleted state atau negative iron balance. Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Keadaan ini berlanjut sampai penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang yang disebut iron deficient erythropoesis. Hal ini terus berlanjut sampai timbul anemia mikrositik hipokromik yang disebut iron deficiency anemia.
Pada kasus kita muncul tanda-tanda antara lain angka hemoglobin turun. Saturasi transferin turun sedangkan TIBC naik. Mengapa hal itu dapat terjadi? Hal itu karena dibutuhkan Fe yang besar oleh karena itu tubuh mengambil dari transferin. Mengenai diagnosis banding untuk lebih jelasnya telah penulis cantumkan pada tinjauan pustaka.
Selain ADB anak tersebut juga menderita hernia inguinalis lateralis sinistra reponibilis. Hal ini disebabkan oleh terbukanya kanalis inguinalis karena tekanan intraabdominal. Penatalaksanaan penyakit ini adalah operasi dan sudah dilakukan dengan baik. Anak tersebut juga menderita VSD dimana katup jantungnya tidak tertutup dengan sempurna. Hipotesis awal penulis adalah adanya hubungan antara hernia, ADB, dan VSD. Tetapi kemudian penulis menolak hipotesis itu dengan analisis hernia yang diderita bersifat responibilis dan anemianya bersifat mikrositik hipokromik jadi bukan karena perdarahan. Apa pentingnya hal ini ? Anemia memiliki prognosis yang buruk apabila tidak diketahui penyebabnya dengan pasti. Dari fakta yang ada pada kasus ini,seperti berat yang tidak sesuai pada anak seumurannya, didapat kesimpulan sang anak tidak mendapat asupan gizi yang adekuat. Ini dapat menyebabkan anemia defisiensi besi.
Penatalaksanaannya pada kasus ini adalah diberi transfusi PRC (Pure Red Cell) sebagai persiapan operasi, Lasix ,digunakan sebagai obat diuretik, Aldacton sebagai penghemat kalium juga untuk penyerapan, dan suplemen besi berupa sulfas ferosus.

READ MORE - Anemia Defisiensi Besi