Minggu, 04 September 2011

Low Back Pain (LBP)


PENDAHULUAN
Hampir semua orang pernah mengalami nyeri pinggang, hal ini menunjukan seringnya gejala ini dijumpai pada sebagian besar  penderita. Sakit pinggang merupakan keluhan banyak penderita yang berkunjung ke dokter. Yang dimaksud dengan istilah sakit pinggang bawah ialah nyeri, pegal linu, ngilu, atau tidak enak didaerah lumbal berikut sacrum. Dalam bahasa inggris disebut dengan istilah Low Back Pain (LBP).
Penyebab LBP bermacam-macam dan multifaktorial; banyak yang ringan, namun ada juga yang berat yang harus ditanggulangi dengan cepat dan tepat. Mengingat tingginya angka kejadian LBP, maka tidaklah bijaksana untuk melakukan pemeriksaan laboratorium yang mendalam secara rutin pada tiap penderita. Hal ini akan memakan waktu yang lama, dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama dan dibantu oleh pemeriksaan laboratorium yang terarah, maka penyebab LBP dapat ditegakan pada sebagian terbesar penderita

Untuk lebih mendalami tentang low back pain, sejenak perlu diketahui dahulu fungsi dari tulang belakang. Tulang belakang merupakan daerah penyokong terbanyak dalam fungsi tubuh. Tulang belakang terdiri atas 33 ruas yang merupakan satu kesatuan fungsi dan bekerja bersama-sama melakukan tugas-tugas seperti:
1. memperhatikan posisi tegak tubuh
2. menyangga berat badan
3. fungsi pergerakan tubuh
4. pelindung jaringan tubuh
Pada saat berdiri, tulang belakang memiliki fungsi sebagai penyangga berat badan, sedangkan pada saat jongkok atau memutar, tulang belakang memiliki fungsi sebagai penyokong pergerakan tersebut. Struktur dan peranan yang kompleks dari tulang belakang inilah yang seringkali menyebabkan masalah.

DEFINISI
Nyeri pinggang bawah atau low back pain merupakan rasa nyeri, ngilu, pegal yang terjadi di daerah pinggang bagian bawah. Nyeri pinggang bawah bukanlah diagnosis tapi hanya gejala akibat dari penyebab yang sangat beragam.
Low Back Pain menurut perjalanan kliniknya dibedakan menjadi dua yaitu :
A. Acute low back pain
Rasa nyeri yang menyerang secara tiba-tiba, rentang waktunya hanya sebentar, antara beberapa hari sampai beberapa minggu. Rasa nyeri ini dapat hilang atau sembuh. Acute low back pain dapat disebabkan karena luka traumatic seperti kecelakaan mobil atau terjatuh, rasa nyeri dapat hilang sesaat kemudian. Kejadian tersebut selain dapat merusak jaringan, juga dapat melukai otot, ligamen dan tendon. Pada kecelakaan yang lebih serius, fraktur tulang pada daerah lumbal dan spinal dapat masih sembuh sendiri. Sampai saat ini penatalaksanan awal nyeri pinggang acute terfokus pada istirahat dan pemakaian analgesik.
B. Chronic low back pain
Rasa nyeri yang menyerang lebih dari 3 bulan atau rasa nyeri yang berulang-ulang atau kambuh kembali. Fase ini biasanya memiliki onset yang berbahaya dan sembuh pada waktu yang lama. Chronic low back pain dapat terjadi karena osteoarthritis, rheumatoidarthritis, proses degenerasi discus intervertebralis dan tumor. Disamping hal tersebut diatas terdapat juga klasifikasi patologi yang klasik yang juga dapat dikaitkan LBP. Klasifikasi tersebut adalah :
  1. Trauma
  2. Infeksi
  3. Neoplasma
  4. Degenerasi
  5. Kongenital

EPIDEMIOLOGI
Nyeri pinggang merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting pada semua negara. Besarnya masalah yang diakibatkan oleh nyeri pinggang dapat dilihat dari ilustrasi data berikut. Pada usia kurang dari 45 tahun, nyeri pinggang menjadi penyebab kemangkiran yang paling sering, penyebab tersering kedua kunjungan kedokter, urutan kelima masuk rumah sakit dan masuk 3 besar tindakan pembedahan. Pada usia antara 19-45 tahun, yaitu periode usia yang paling produktif, nyeri pinggang menjadi penyebab disabilitas yang paling tinggi.
Di Indonesia, LBP dijumpai pada golongan usia 40 tahun. Secara keseluruhan, LBP merupakan keluhan yang paling banyak dijumpai (49 %). Pada negara maju prevalensi orang terkena LBP adalah sekitar 70-80 %. Pada buruh di Amerika, kelelahan LBP meningkat sebanyak 68 % antara thn 1971-1981.
Sekitar 80-90% pasien LBP menyatakan bahwa mereka tidak melakukan usaha apapun untuk mengobati penyakitnya jadi dapat disimpulkan bahwa LBP meskipun mempunyai prevalensi yang tinggi namun penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya.

ANATOMI
Struktur utama dari tulang punggung adalah vertebrae, discus invertebralis, ligamen antara spina, spinal cord, saraf, otot punggung, organ-organ dalam disekitar pelvis,  abdomen dan kulit yang menutupi daerah punggung.
Columna vertebralis (tulang punggung) terdiri atas :
1. Vertebrae cervicales                7 buah
2. Vertebrae thoracalis                 12 buah
3. Vertebrae lumbales                  5 buah
4. Vertebrae sacrales                   5 buah
5. Vertebrae coccygeus               4-5 buah
Vertebra cervicales, thoracalis dan lumbalis termasuk golongan true vertebrae.
Pada vertebrae juga terdapat otot-otot yang terdiri atas :
1. Musculus trapezius
2. Muskulus latissimus dorsi
3. Muskulus rhomboideus mayor
4. Muskulus rhomboideus minor
5. Muskulus levator scapulae
6. Muskulus serratus posterior superior
7. Muskulus serratus posterior inferior
8. Muskulus sacrospinalis
9. Muskulus erector spinae
10. Muskulus transversospinalis
11. Muskulus interspinalis
Otot-otot tersebut yang menghubungkan bagian punggung ke arah ekstrremitas maupun yang terdapat pada bagian punggung itu sendiri.Otot pada punggung memiliki fungsi sebagai pelindung dari columna spinalis, pelvis dan ekstremitas. Otot punggung yang mengalami luka mungkin dapat menyebabkan terjadinya low back pain.
PENYEBAB
Penyebab LBP dapat dibagi menjadi 2 garis besar:
1.      Diskogenik (sindroma spinal radikuler).
2.      Non-diskogenik

1.      Diskogenik
Sindroma radikuler biasanya disebabkan oleh suatu hernia nukleus pulposus yang merusak saraf-saraf disekitar radiks. Diskus hernia ini bisa dalam bentuk suatu protrusio atau prolaps dari nukleus pulposus dan keduanya dapat menyebabkan kompresi pada radiks. Lokalisasinya paling sering di daerah lumbal atau servikal dan jarang sekali pada daerah torakal. Nukleus terdiri dari megamolekul proteoglikan yang dapat menyerap air sampai sekitar 250% dari beratnya. Sampai dekade ke tiga, gel dari  nukleus pulposus hanya mengandung 90% air, dan akan menyusut terus sampai dekade ke empat menjadi kira-kira 65%. Nutrisi dari anulus fibrosis bagian dalam tergantung dari difusi air dan molekul-molekul kecil  yang melintasi tepian vertebra. Hanya bagian luar dari anulus yang menerima suplai darah dari ruang epidural.  Pada trauma yang berulang menyebabkan robekan serat-serat anulus baik secara melingkar maupun radial. Beberapa robekan anular dapat menyebabkan pemisahan lempengan,  yang menyebabkan berkurangnya nutrisi dan hidrasi nukleus. Perpaduan robekan secara melingkar dan radial menyebabkan massa nukleus berpindah keluar dari anulus lingkaran ke ruang epidural dan menyebabkan  iritasi ataupun kompresi akar saraf.3
2.   Non-diskogenik
Biasanya penyebab LBP yang non-diskogenik adalah iritasi pada serabut sensorik saraf perifer, yang membentuk n. iskiadikus dan bisa disebabkan oleh neoplasma, infeksi, proses toksik atau imunologis, yang mengiritasi n. iskiadikus dalam perjalanannya dari pleksus lumbosakralis, daerah pelvik, sendi sakro-iliaka, sendi pelvis sampai sepanjang jalannya n. iskiadikus (neuritis n. iskiadikus).4

Penyebab nyeri pinggang bawah bermacam-macam dan multifaktor. Di antaranya dapat disebut :
1.             Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital tidak merupakan penyebab nyeri pinggang bawah yang penting. Kelainan kongenital yang dapat menyebabkan nyeri pinggang bawah adalah :
a)      Spondilolisis dan spondilolistesis
Pada Spondilolisis tampak bahwa sewaktu pembentukan korpus vertebrae itu     ( in utero ) arkus vertebrae tidak bertemu dengan korpus vertebraenya sendiri. Pada spondilolistesis korpus vertebrae itu sendiri ( biasanya L5 ) tergeser ke depan.
Walaupun kejadian ini terjadi sewaktu bayi itu masih berada dalam kandungan, namun ( oleh karena timbulnya kelinan-kelainan degeneratif ) sesudah berumur 35 tahun, barulah timbul keluhan nyeri pinggang. Nyeri pinggang ini berkurang / hilang bila penderita duduk atau tidur. Dan akan bertambah, bila penderita itu berdiri atau berjalan. Spondilolitesis dapat mengakibatkan tertekuknya radiks L5 sehingga timbul nyeri radikuler.
b)      Spina Bifida
Bila di daerah lumbosakral terdapat suatu tumor kecil yang ditutupi oleh kulit yang berbulu, maka hendaknya kita waspada bahwa didaerah itu ada tersembunyi suatu spina bifida okulta.
Pada foto rontgen tampak bahwa terdapat suatu hiaat pada arkus spinosus di daerah lumbal atau sakral. Karena adanya defek tersebut maka pada tempat itu tidak terbentuk suatu ligamentum interspinosum.
Keadaan ini akan menimbulkan suatu “lumbo-sakral sarain” yang oleh si penderita dirasakan sebagai nyeri pinggang.
c)      Stenosis kanalis vertebralis
Diagnosis penyakit ini ditegakkan secara radiologis. Walaupun penyakit telah ada sejak lahir, namun gejala-gejalanya baru tampak setelah penderita berumur 35 tahun.
Gejala yang tampak adalah timbulnya nyeri radikuler bila si penderita jalan dengan sikap tegak. Nyeri hilang begitu penderita berhenti jalan atau bila ia duduk. Untuk menghilangkan rasa nyerinya maka penderita lantas jalan sambil membungkuk.
d)      Spondylosis lumbal
Penyakit sendi degeneratif yang mengenai vertebra lumbal dan discus intervertebralis, yang menyebabkan nyeri dan kekakuan.
e)      Spondylitis.
Suatu bentuk degeneratif sendi yang mengenai tulang belakang . ini merupakan penyakit sistemik yang etiologinya tidak diketahui, terutama mengenai orang muda dan menyebabkan rasa nyeri dan kekakuan sebagai akibat peradangan sendi-sendi dengan osifikasi dan ankilosing sendi tulang belakang.

2.             Trauma dan Gangguan Mekanis
Trauma dan gngguan mekanis merupakan penyebab utam nyeri pinggang bawah. Pada orang-orang yang tidak biasa melakukan pekerjaan otot atau sudah lama tidak melakukan kegiatan ini dapat menderita nyeri pinggang bawah yang akut. Cara bekerja di pabrik atau di kantor dengan sikap yang salah lama-lama nenyebabkan nyeri pinggang bawah yang kronis.
Patah tulang, pada orang yang umurnya sudah agak lanjut sering oleh karena trauma kecil saja dapat menimbulkan fraktur kompresi pada korpus vertebra. Hal ini banyak ditemukan pada kaum wanita terutam yang sudah sering melahirkan. Dalam hal ini tidak jarang osteoporosis menjadi sebab dasar daripada fraktur kompresi. Fraktur pada salah satu prosesus transversus terutama ditemukan pada orang-orang lebih muda yang melakukan kegiatan olahraga yang terlalu dipaksakan.
Pada penderita dengan obesitas mungkin perut yang besar dapat menggangu keseimbangan statik dan kinetik dari tulang belakang sehingga timbul nyeri pinggang.
Ketegangan mental terutama ketegangan dalam bidang seksual atau frustasi seksual dapat ditransfer kepada daerah lumbal sehingga timbul kontraksi otot-otot paraspinal secara terus menerus sehingga timbul rasa nyeri pinggang. Analog dengan tension headache maka nyeri pinggang semacam ini dapat dinamakan “tension backache”.
Tidak jarang seorang pemuda mengeluh tentang nyeri pinggang, yang timbul karena adanya anggapan yang salah yaitu bahwa karena seringnya melakukan onani di waktu yang lampau lantas kini sumsum balakangnya telah menjadi kering dan nyeri.

3.             Radang ( Inflamasi )
Artritis rematoid dapat melibatkan persendian sinovial pada vertebra. Artritis rematoid merupakan suatu proses yang melibatkan jaringan ikat mesenkimal.
Penyakit Marie-Strumpell
Penyakit Marie-Strumpell, yang juga dikenal dengan nama spondilitis ankilosa atau bamboo spine terutama mengenai pria dan teruta mengenai kolum vertebra dan persendian sarkoiliaka. Gejala yang sering ditemukan ialah nyeri lokal dan menyebar di daerah pnggang disertai kekakuan ( stiffness ) dan kelainan ini bersifat progresif.

4.             Tumor ( Neoplasma )
Tumor vertebra dan medula spinalis dapat jinak atau ganas. Tumor jinak dapat mengenai tulang atau jaringan lunak. Contoh gejala yang sering dijumpai pada tumor vertebra ialah adanya nyeri yang menetap. Sifat nyeri lebih hebat dari pada tumor ganas daripada tumor jinak. Contoh tumor tulang jinak ialah osteoma osteoid, yang menyebabkan nyeri pinggang terutama waktu malam hari. Tumor ini biasanya sebesar biji kacang, dapat dijumpai di pedikel atau lamina vertebra. Hemangioma adalah contoh tumor benigna di kanalis spinal yang dapat menyebabkan nyeri pinggang bawah. Meningioma adalah tumor intradural dan ekstramedular yang jinak, namun bila ia tumbuh membesar dapat mengakibatkan gejala yang besar seperti kelumpuhan

5.             Gangguan Metabolik
Osteoporosis akibat gangguan metabolik yang merupakan penyebab banyak keluhan nyeri   pada pinggang dapat disebabkan oleh kekurangan protein atau oleh gangguan hormonal (menopause,penyakit cushing). Sering oleh karena trauma ringan timbul fraktur kompresi    atau seluruh panjang kolum vertebra berkurang karena kolaps korpus vertebra.penderita         menjadi bongkok dan pendek denga nyeri difus di daerah pinggang.

6.             Psikis
Banyak gangguan psikis yang dapat memberikan gejala nyeri pinggang bawah.misalnya anksietas dapat menyebabkan tegang otot yang mengakibatkan rasa nyeri,misalnya dikuduk atau di pinggang;rasa nyeri ini dapat pula kemudian menambah meningkatnya keadaan anksietas dan diikuti oleh meningkatnya tegang otot dan rasa nyeri.kelainan histeria,kadang-kadang juga mempunyai gejala nyeri pinggang bawah.


FAKTOR RESIKO
Faktor resiko nyeri pinggang meliputi usia, jenis kelamin, berat badan, etnis, merokok sigaret, pekerjaan, paparan getaran, angkat beban yang berat yang berulang-ulang, membungkuk, duduk lama, geometri kanal lumbal spinal dan faktor psikososial. Pada laki-laki resiko nyeri pinggang meningkat sampai usia 50 tahun kemudian menurun, tetapi pada wanita tetap terus meningkat. Peningkatan insiden pada wanita lebih 50 tahun kemungkinan berkaitan dengan osteoporosis.

LOKASI
Lokasi untuk nyeri pinggang bawah adalah daerah lumbal bawah, biasanya disertai penjalaran ke daerah-daerah lain, antara lain sakroiliaka, koksigeus, bokong, kebawah lateral atau posterior paha, tungkai, dan kaki.

6 jenis nyeri pada nyeri pinggang bawah, antara lain:7
1.      Nyeri pinggang lokal
 Jenis ini paling sering ditemukan. Biasanya terdapat di garis tengah dengan radiasi ke kanan dan ke kiri. Nyeri ini dapat berasal dari bagian-bagian di bawahnya seperti fasia, otot-otot paraspinal, korpus vertebra, sendi dan ligamen.
2.      Iritasi pada radiks
Rasa nyeri dapat berganti-ganti dengan parestesi dan dirasakan pada dermatom yang bersangkutan pada salah satu sisi badan. Kadang-kadang dapat disertai hilangnya perasaan atau gangguan fungsi motoris. Iritasi dapat disebabkan oleh proses desak ruang pada foramen  vertebra atau di dalam kanalis vertebralis.
3.      Nyeri rujukan somatis
Iritasi serabut-serabut sensoris dipermukaan dapat dirasakan lebih dalam pada dermatom yang bersangkutan. Sebaliknya iritasi di bagian-bagian dalam dapat dirasakan di bagian lebih superfisial.
4.      Nyeri rujukan viserosomatis
Adanya gangguan pada alat-alat retroperitonium, intraabdomen atau dalam ruangan panggul dapat dirasakan di daerah pinggang.
5.      Nyeri karena iskemia
Rasa nyeri ini dirasakan seperti rasa nyeri pada klaudikasio intermitens yang dapat dirasakan di pinggang bawah, di gluteus atau menjalar ke paha. Dapat disebabkan oleh penyumbatan pada percabangan aorta atau pada arteri iliaka komunis.
6.      Nyeri psikogen
Rasa nyeri yang tidak wajar dan tidak sesuai dengan distribusi saraf dan dermatom dengan reaksi wajah yang sering berlebihan.

Harus dibedakan antara LBP dengan nyeri tungkai, mana yang lebih dominan dan intensitas dari masing-masing nyerinya, yang biasanya merupakan nyeri radikuler. Nyeri pada tungkai yang lebih banyak dari pada LBP dengan rasio 80-20% menunjukkan adanya radikulopati dan mungkin memerlukan suatu tindakan operasi. Bila nyeri LBP lebih banyak daripada nyeri tungkai, biasanya tidak menunjukkan adanya suatu kompresi radiks dan juga biasanya tidak memerlukan tindakan operatif.

PEMERIKSAAN
1. Anamnesa
Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan dalam menganamnesa pasien dengan kemungkinan diagnosa Low Back Pain.
1. Apakah terasa nyeri ?
2. Dimana terasa nyeri ?
3. Sudah berapa lama merasakan nyeri ?
4. Bagaimana kuantitas nyerinya? (berat atau ringan)
5. Apa yang membuat nyeri terasa lebih berat atau terasa lebih ringan?
6. Adakah keluhan lain?
7. apakah dulu anda ada menderita penyakit tertentu?
8. bagaimana keadaan kehidupan pribadi anda?
9. bagaimana keadaan kehidupan sosial anda?

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik secara komprehensif pada pasien dengan nyeri pinggang meliputi evaluasi sistem neurologi dan muskuloskeltal. Pemeriksaan neurologi meliputi evaluasi sensasi tubuh bawah, kekuatan dan refleks-refleks.
a.         Inspeksi :
Pemeriksaan fisik dimulai dengan inspeksi dan bila pasien tetap berdiri dan menolak untuk duduk, maka sudah harus dicurigai adanya suatu herniasi diskus.
Gerakan aktif pasien harus dinilai, diperhatikan gerakan mana yang membuat nyeri dan juga bentuk kolumna vertebralis, berkurangnya lordosis serta  adanya skoliosis. Berkurang sampai hilangnya lordosis lumbal dapat disebabkan oleh spasme otot paravertebral.
Gerakan-gerakan yang perlu diperhatikan pada penderita:
Keterbatasan gerak pada salah satu sisi atau arah.
1.                   Ekstensi ke belakang (back extension)  seringkali menyebabkan nyeri pada tungkai bila ada stenosis foramen intervertebralis di lumbal dan artritis lumbal, karena gerakan ini akan menyebabkan penyempitan foramen sehingga menyebabkan suatu kompresi pada saraf spinal.
2.                   Fleksi ke depan (forward flexion) secara khas akan menyebabkan nyeri pada tungkai bila ada HNP, karena adanya ketegangan pada saraf yang terinflamasi diatas suatu diskus protusio sehingga meninggikan tekanan pada saraf spinal tersebut dengan jalan meningkatkan tekanan pada fragmen yang tertekan di sebelahnya (jackhammer effect).

b.        Palpasi :
Adanya nyeri (tenderness) pada kulit bisa menunjukkan adanya kemungkinan suatu keadaan psikologis di bawahnya (psychological overlay).
Kadang-kadang bisa ditentukan letak segmen yang menyebabkan nyeri dengan menekan pada ruangan intervertebralis.
Pada spondilolistesis yang berat dapat diraba adanya ketidak-rataan (step-off) pada palpasi di tempat/level yang terkena.
Penekanan dengan jari jempol pada prosesus spinalis dilakukan untuk mencari adanya fraktur pada vertebra.
Pemeriksaan fisik yang lain memfokuskan  pada kelainan neurologis.
Harus dicari pula refleks patologis seperti babinski, terutama bila ada hiperefleksia yang menunjukkan adanya suatu gangguan upper motor neuron (UMN). Dari pemeriksaan refleks ini dapat membedakan akan kelainan yang berupa UMN atau LMN.

c.         Pemeriksaaan Motorik.
Harus dilakukan dengan seksama dan harus dibandingkan kedua sisi untuk menemukan abnormalitas motoris.
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi :
- Berjalan dengan menggunakan tumit.
- Berjalan dengan menggunakan jari atau berjinjit.
- Jongkok dan gerakan bertahan ( seperti mendorong tembok )

d.    Pemeriksaan Sensorik.
Pemeriksaan sensorik akan sangat subjektif karena membutuhkan perhatian dari penderita dan tak jarang keliru
- Nyeri dalam otot.
- Rasa gerak.

e.     Refleks.
Refleks yang harus di periksa adalah refleks di daerah Achilles dan Patella, respon dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mengetahui  lokasi terjadinya lesi pada saraf spinal.

f.     Test-Test
  -           Test Lassegue
Pada tes ini, pertama telapak kaki pasien ( dalam posisi 0° )  didorong ke  arah     muka kemudian setelah itu tungkai pasien diangkat sejauh 40° dan sejauh 90°.
  -                      Test Patrick
Tes ini dilakukan untuk mendeteksi kelainan di pinggang dan pada sendi sakro iliaka. Tindakan yang dilakukan adalah fleksi, abduksi, eksorotasi dan ekstensi.
-                      Test Kebalikan Patrick
Dilakukan gerakan gabungan dinamakan fleksi, abduksi, endorotasi, dan ekstensi meregangkan sendi sakroiliaka. Test Kebalikan Patrick positif menunjukkan kepada sumber nyeri di sakroiliaka.

READ MORE - Low Back Pain (LBP)

Efek Terapi Olahraga Berjalan terhadap Respon Imun Pada Usia Lanjut


Fungsi imunitas efisiensinya menurun sejalan dengan semakin bertambahnya umur, yang membuat usia lanjut menjadi kurang resisten terhadap mikroorganisme patogen. Efek dari terapi olahraga berjalan ( lima sesi seminggu dengan lama sesi 30 menit dengan 80% dari kapasitas ventilasi) pada IgA yang berasal dari kelenjar saliva (SIgA) dan subpopulasi limfosit plasma yang diteliti pada usia lanjut. Tiga puluh subjek penelitian yang terdiri dari 8 laki-laki dan 22 perempuan, dan dengan umur rata-rata 66.7 ± 7.4 tahun menjalani olahraga berjalan selama 3 bulan. Kekuatan aerobik, komposisi tubuh, dan fungsi imunitas diukur sebelum menjlanai terapi dan setelah menjalaninya. Jumlah SigA diukur dengan menggunakan ELISA, dan subpopulasi kimfosit diukur dengan flow cytometry. Jumlah SigA meningkat secara signifikan dalam 3 bulan, khususnya pada sampel dengan usia 64 tahun dan dibawahnya, 65-85 tahun, dan denganjenis kelamin wanita. Jumlah totakl limfosit, sel NK, dan Th memori secara signifikan menurun dalam 3 bulan. Kami menyimpulkan dalam 3 bulan berjalan dapat menaikkan fungsi mimunitas mukosal walaupun itu tidak berkaitan dengan kenaikan jumlah limfosit pada usia lanjut.
Kata kunci : berjalan, imunitas, usia lanjut
READ MORE - Efek Terapi Olahraga Berjalan terhadap Respon Imun Pada Usia Lanjut

Proses Visuospasial dan Intepretasi oleh Belahan Otak Kanan


Abstrak
Pandangan umum mengenai ketidaksimetrisan belahan otak antara lain adanya perbedaan spesialisasi dari keduanya, dimana belahan otak kiri dipakai untuk kemampuan linguistik dan kognitif serta kemampuan motorik halus, sedangkan belahan ota kanan untuk kemampuan visuospasial. Walaupun dikotomi ini dapat dianggap benar, tetapi sesungguhnya hal tersebut tidak sesederhana itu. Penelitian terhadap pasien dengan otak terbagi menunjukkan bahwa belahan kiri otak memiliki kemampuan visuospasial yang luar biasa, dan kecenderungan asimetris belahan kanan lebih baik daripadi kiri. Melalui pertimbangan mengenai asal usul persepsi visual, dan organisasi sistem penglihatan dalam kedua belahan otak, didapatkan bahwa keasimetrisan meningkatkan kemampuan visual pada area yang merepresentasikannya dalam kedua belahan otak. Saya akan memaparkan bukti mengenai pandangan belahan otak bagian kanan dapat dikatakan lebih memiliki kemampuan visual dibandingkan dengan yang sebelah kiri, dan postulat mengenai adanya intepretasi oleh belahan otak kanan yang didedikasikan untuk merepresentasi dunia viusal.
1.    Pendahuluan
Ide yang menyatakan bahwa kedua belahan otak manusia berbeda dalam fungsi psikologikal telah menjadi tema sentral dalam ilmu cognitive neuroscience. Walaupun konsep tersebut telah muncul semenjak zaman Yunani kuno ( Lokhorst, 1982), tetapi semua belum jelas sampai penelitian klinis yang dilakukan oleh Dax dan Broca pada abat ke 19 yang memberikan pengertian mengenai asimetri dalam hubungan pentingnya dengan penelitian mengenai fungsi otak. Laporan ini, bersamaa dengan Wernicke, menguatkan gagasan bahwa belahan kiri otak memiliki peran spesial dalam rangka produksi dan pemahaman dari bahasa. Hal ini juga merupakan asal dari gagasan bahwa belahan kiri, pada sebagian besar orang, merupkana belahan otak yang dominan, dan otak kanan berperan dalam fungsi sekunder.
Dalam waktu yang sama saat Broca dan Wernicke membuat ilustrasi mengenai pentingnya belahan kiri otak dalam produksi dan pemahaman bahasa, John Hughlings Jackson (1874,1876) mendiskripsikan pasien yang menderita “kehilangan atau defek memori untuk orang, benda, dan tempat.” Dia menamakan defisit ini “impersepsi”, dan mengasosiakannya dengan kerusakan yang dialami belahan otak kanan. Laporan Jackson mnantang pandanmgan mengenai dominasi otak kanan, dan menyimpulkan bahwa kedua belahan otak memproses kemampuan masing-masing. Jackson mendapatkan bahwa lobus frontalis kiri berkembang lebih dulu dibanding yang kanan, dan lobus psoterior berkembang lebih dulu dibanding hemisfer kanan. Dia juga mendapatkan bahwa fungsi psikologikal berkembang ke arah lateral menuju belahan kiri yang sering diasosiasikan dengan lobus frontalis, dan fungsi persepsi menuju belahan kanan yang diasosiasikan dengan regio posterior otak. Berdasarkan hal tersebut, Jackson menyimpulkan “ Tempat yang penting dari belahan otak kiri adalah lobus posterior dan dari belahan otak kanan adalah lobus posterior.
Penelitian observasional ini menjadi dasar dari pandangan yang populer dalam bertahun-tahun mengenai organisasi dari belahan otak yaitu belahan kiri mengontrol bahasa, dan belahan kanan bertanggung jawab atas persepsi visuospasial. Walaupun pendapat ini memiliki kebenaran, penelitian terhadap pasien dengan callosotomy (atau otak terbelah) menunjukkan bahwa hal ini sangat disederhanakan. Belahan memiliki kemampuan unutuk memahami beberapa bahasa terbatas dan belahan kiri juga memiliki kemampuan terhadap kemampuan visuospasial yang mendukung tugas-tugas seperti membaca, mengenali objek, dan kemampuan tersebut baik. Walaupun begitu dikotomi ini terus memotivasi penelitian dalam cognitive neuroscience.

2.    Otak yang terbelah
Operasi callostomi melibatkan pemotongan dari corpus callosum , dan dalam beberapa kasus lain, sebagai terapi pada epilepsi yang tidak dapat ditangani dengan obat. Sebagai hasil belahan otak terisolasi secara efektif pada level kortikal (dengan koneksi subkortikal yang masih intak). Sebagai tambahan untuk keuntungan klinis, prosedur ini menawarkan kesempatan perdana untuk “menginterogasi” masing-masing belahan otak dalam isolasi, karena informasi yang ada pada satu belahan otak tidak sama pada belahan lainnya.
Penelitian sistematis pertama pada pasien dengan otak terbelah pada tahun 1960 secara dramatis mengkonfirmasi dominasi belahan otak kiri dalam mengontrol bahasa. Pasien dengan ketidakmampuan untuk mendeskripsikan rangsangan visual oleh otak kiri memindahkannya ke otak kanan. Belahan otak kanan mampu memproses rangsangan dengan menggunakan tangan kiri untuk menunjuk beberapa benda. Penelitian lebih lanjut mengenai hal ini juga mengkonfirmasikan bahwa rangsangan yang dapat diterjemahkan oleh belahan otak kanan terbatas pada rangsangan secara verbal, sedangkan belahan kiri dapat memprosesnya dengan mudah. Walaupun begitu belahan otak kanan yang terisolasi, dapat mengerti kata tertulis dan mengikuti instruksi verbal yang sederhana. Penelitian yang lebih mendetail selanjutnya mendemonstrasikan bahwa belahan otak kiri pada pasien dengan otak terbelah mampu memproduksi dan menganalisis semua aspek dalam berbahasa. Di sisi lain walaupun belahan otak kanan sering mengetahui arti dari kata-kata, belahan tersebut jarang menunjukkan bukti atas tata bahasa dan peraturannya (Gazzaniga, 2000)
Dominasi dari belahan otak kiri untuk kemampuan linguistik membuka aspek lain dalam fungsi kognitif. Setelah dilakukan operasi, IQ dalam hal verbal tidak terpengaruh, dan kapasitas dari pemecahan masalah dan pembuatan hipotesis juga tidak mengalami perubahan yang bermakna pada belahan otak kiri. Belahan otak kanan pada pasien tersebut mengalami penurunan dalam fungsi kognitif termasuk pemecahan masalah dan aktivitas mental lainnya (Gazzaniga, 2000).

2.1      Intepretasi oleh belahan otak kiri
Pasien dengan otak terbelah sering berpanjang lebar dalam menjelaskan pilihan yang dilakukan oleh belahan kanan. Sebagai contoh, kepada pasien J.W ditunjukkan gambar mengenai lonceng menara pada bagian visual dari otaknya. Pasien tersebut dkemudian ditanya untuk memilih diantara empat gambar dengan menunjuk menggunakan tangan kiri. Gambar-gambar tersebut merupakan gambar-gambar isntrumen musik, yang diantaranya ada bel. J.W memilih bel dan ketika ditanya alasannya memilih, dia mengatakan bahwa dia telah mendengar bunyi bel dalam perjalanan ke lab. Belahan otak kiri yang bersifat berbicara, mengamati respon yang dikontrol sedangkan belahan kanan yang “diam” mengintepretasikan dengan pengetahuan yang ada. Gazzaniga telah menyimpulkan bahwa percobaan ini menunjukkan eksistensi dari “pengintepretasi” yang mengelaborasikan informasi yang didapat untuk membuak cerita atau skema (Gazzaniga, 2000). Dia mengungkapkan mekanisme yang bertanggung jawab dalam kerjasama ini adalah adanya lateralisasi ke belahan otak kiri.
Walaupun belahan otak kiri sepertinya digunakan untuk mengintepretasikan kejadian, bagian kanan tidak menunjukkan kecenderungan yang sama. Perbedaan gaya kognitif ini dapat diamati dalam performa dari kedua belahan otak dalam menyimpan memori. Ketika diminta untuk memutuskan rangsangan yang telah diberikan dalam sebuah penelitian, belahan kiri sering salah mengenali benda yang memiliki persamaan dengan ransangan yang belum pernah ditunjukkan sebelumnya. Belahan kanan tidak sering melakukan kesalahan yang berhubungan dengan benda baru (Metcalfe, Funnel, & Gazzaniga, 1995; Phelps & Gazzaniga, 1992). Penelitian ini konsisten dengan eksistensi pengintepretasi di otak kiri yang tidak terdapat pada otak kanan. Elaborasi yang dilakukan oleh pengintepretasi ini menimbulkan efek yang mengganggu pada akurasi dalam ttugas mengenali benda, namun dapat memudahkan dalam berhadapan dengan informasi yang baru. Karena dalam pola di dunia sering dapat dilihat, kausa determinan, pengintepretasi harus menemukan pola sebab akibat dan biasanya menemukan nilai adaptasi.

2.2      Asimetris pada kemampuan visuospasial
Penelitian dengan pasien dengan otak terbelah memperkuat pendapat dari abad ke 19 mengenai belahan otak kiri dominan pada kebanyakan orang. Belahan otak kiri mengontrol percakapan dan mendominasi fungsi bahasa, memiliki kemampuan otot motorik halus, dan memiliki kemampuan kognitif yang lebih superior secara umum. Peneliti mngungkapkan bahwa belahan kiri sering memerintah bagian kanan, walaupun hal itu tidak memiliki tugas yang berkaitan dengan informasi, dan hal ini terjadi hampir sepanjang waktu. Lalu bagaimana kontribusi dari belahan kanan? Penelitian laind engan pasien dengan otak terbelah menunjukan konfirmasi yang menarik dari ide Jackson yang mengatakan bahwa persepsi visual lebih kuat pada belahan kanan.Sebagai contoh, kelompok dengan dominan tangan kanan diminta untuk menyalin gambar garis sederhana dengan menggunakan tangan kiri atau tangan kanan. Salinan yang dihasilkan oleh tangan kiri lebih baik dengan yang dihasilkan oleh tangan kanan yang dominan. Hal tersebut sama dengan, pengguna tangan kiri memiliki performa lebih baik dibandingkan kanan ketika diberikan tugas yang mengharuskan pasien untuk menyusun balok sesuai warna yang sudah ada. Penemuan ini menunjukkan bahwa kemampuan visuospasial belahan otak kanan  kemungkinan lebih baik daripada kiri walaupun mekanisme bagaimana terjadinya hal tersebut belum jelas.
Penelitian terbaru lainnya mengenai asimetrisnya kemampuan visuospasial pada pasien dengan otak terbelah, menunjukkan belahan kanan lebih baik dari kiri dalam berbagai macam tugas visual. Belahan kanan lebih baik dalam mendeteksi pakah dua gambar identik atau terbalik. Selain itu belahan kanan juga memiliki kemampuan yang lebih baik dalam diskriminasi spasial seperti meeteksi peredaan kecl pada oriestasi garis. Penelitian ini dan penelitian–penelitian lainya mengundang spekulasi bahwa belahan kiri lebih dikhususkan untuk mengidentifikasi informasi, dengan kekurangan dari presisi spasial. Corballis, Funnel dan Gazzaniga (1999b) menguji hipotesis ini dengan cara bertanya pada pasien dengan otak terbelah untuk melakukan kemampuan spasial atau untuk mengidentifikasi menggunakan rangsangan yang sama. Ketika memerlukan sebuah identifikasi, kedua belahan otak menunjukkan aktivitas yang sama. Pada masalah spasial, belahan kanan menunjukkan kemampuan lebih baik daripada kiri. Hal ini menunjukkan perbedaan (asimetri) dari visuospasial poeses tidak terjadi pada rangsangan tingkat rendah tetapi dalam tugas yang menggunakan penggunaan informasi.

2.3      Arsitektur dari Sistem Visual
Untuk mengerti bagaimana mekanisme asimetri perseptual, merupakan hal berharga untuk diingat bahwa organisasi dari sistem visual di otak menawarkan petunjuk mengenai dimana ketidaksimetrisan tersebut dapat muncul. Ilmuwan sering menemukan hal ini muncul dalam penglihatan level rendah dan tinggi, walaupun batasan antara keduanya sering kabur. Pemetaan ini menunjukkan arsitektur dari korteks dari sistem penglihatan di lobus occipital, temporal dan parietal. Proses visual berlangsung secara hirarki dari primer (V1) pada occipital melalui kaskade area visual. Neuron pada level rendah atau awal area visual memiliki daerah penerimaan yang kecil yang dapat merespon stimulasi dalam area sempit yang kontralateral dengan daerah penglihatan dan perlahan-lahan bertambah sesuai dengan hirarkinya (Zeki, 1978). Proses yang terjadi pada area ini kemungkinan didedikasikan untuk ektraksi kemampuan gambaran retina. Area visual awal mengelola organisasi retina, sehingga kompleks korteks dapat merespon area yang tepat dalam lapang pandang. Pada lebel proses bisual yang lebih tinggi, organisasi retina menurun, dan meuron merespon dengan meningkatkan aspek abstrak dari rangsangan visual. Neuron pada area dengan level yang lebih tinggi responsif terhadap stimulasi baik kontralateral maupun ipsilateral dari lapang pandang. Representasi dari ruang ipsilateral ini bergantung pada koneksi komisura diantara keduanya. Lesi pada komisura akan menghilangkan responipsilateral dari neuron tetapi tetap meninggalkan respon kontralateral.
Arsitektur dari sistem visual terdapat pada level awal dari pemprosesan kemampuan visual bersifat unik antara kedua belahan otal. Masing-masing belahan otak menunjukkan bagian kontralateral dari lapang pandangnya. Pada level yang lebih tinggi ada perbedaan antara satu dan lainnya. Hal ini menunjukkan bwaha asimetris dari proses visual sering muncul pada tahap akhir sistemvisual, dalam area yang membutuhkan daerah reseptor bilateral. Walaupun asimetris yang terjadi lebih awal bukan merupakan sebuah hal yang mustahil, mereka akan menghasilkan satu lapang pandang yang sama. Asimetris terjadi pada area dengan area reseptif bilateral sebagai kompensasi hilangnya representasi oleh belahan yang berlawanan.

2.4      Persepsi visual sebagai sebuah proses kecerdasan
Fungsi dari sistem penglihtan adalah untuk merepresentasikan benda dan permukaan sehingga memungkinkan untuk berinteraksi dengannya, serta melewatinya, dalam dunia ini. Sistem visual menghadapi tantangan serius dalam merepresentasikan dunia yang tiga dimensi berdasarkan gambaran dua dimensi oleh retina. Karena ada kemungkinan tak terbatas dari konfigurasi tiga dimensi yang dapat dihasilkan dari gambar retina, persepsi visual merupakan sebuah proses yang sangat sulit. Problem ini menjadi masalah nomer satu dalam penelitian mengenai persepsi atau sampai hal ini dijabarkan dalam teori Berkeley yang berjudul New Theory of Vision (Berkeley, 1709/1963). Untuk mempertahankan tradisi empiris, von Helmholtz (1906/1962) mengajukan persepsi visual dilakukan oleh interfensi tanpa sadar oleh informasi pada gambar retina. Oleh karena itu persepsi merupakan sebuah kecerdasan, dimana butuh banyak pengalaman  dan tujuan yang dihasilkan oleh gambara retina. Pandangan ini membuat dasar dari ide dunia persepsi merupakan sebuah konstruksi internal yang dibentuk oleh gambaran retina. Hoffman (1998), salah satu juara moderen dari pandangan ini mendeskripsikan penglihatan merupakan sebuah proses kecerdasan yang harus memecahkan masalah dimana sistem visual membuat representasi dari gambaran retina. Representasi ini telah diuji dan diperbaharui saat penerima memindai lapang pandang dan berinteraksi dengan lingkungan.
Penglihatan level rendah dapat dinyatakan sebagai pemberian data skala besar. Oleh karena itu, respon neuron dalam area visual awal didasarkan oleh stimulasi yang jatuh pada bagian penerima-walaupun umpan balik dari area lebih tinggi juga melibatkan proses ini. Pada level yang lebih tinggi respon yang muncul entah bagaimana menjadi lebih abstrak dan telah terpengaruh oleh tujuan, pengalaman, dan ekspektasi dari si penglihat. Hal ini membuat sangat masuk akal untuk menyatakan bahwa aspek tersebut sangat berkaitan dengan kecerdasan, atau konstruktif, yang terjadi pada proses yang lebih tinggi. Ada bukti-bukti yang menunjukkan walapun aktivitas pada area visual awal penting untuk kewaspadaan perseptual dari stimuli visual, itu tidak cukup untuk mempertahuan persepsi sadar dari rangsangan Lebih lanjut kemungkinan pengamat bergantung pada representasi level tinggi untuk melakukan pencarian visual. Penuman ini mengimplikasikan bahwa pengamat tidak memiliki akses pada area visual rendah.

2.5      Adakah intepretasi oleh belahan otak kanan ?
Alasan yang muncul menimbulkan dua kesimpulan : (1) Aspek dari proses visual dapat dikatakan sebuah kecerdasan dan merupakan sebuah proses tingkat tinggi, dan (2) Proses penglihatan tingkat tinggi lebih sering mengalami lateralisasi dibandingkan yang rendah. Oleh karena itu, sangat masuk akan untuk mengatakan asimetri dari belahan otak dari proses visual merupakan asimetri dari kecerdasan visual. Seperti pada belahan otak kiri yang dapat dideskripsikan lebih memiliki kognitif dibandingkan kanan, belahan kanan dapat dikatakan lebih memiliki kecerdasan persepsi dari kiri. Dari sudut pandang ini, fungsi yang spesial dari belahan kanan dapat dikatakan sebagai pengintrpretasi berdasarkan pemecahan ambiguitas pada penglihatan visual. Dua contoh terbaru mengai hal ini, yang pertama adalah Corbalis, Fedrich, Sharpley, dan Gazzaniga (1999a) yang meneliti legkapnya persepsi bentuk baik melalui modal ataupun amodalpada pasien dengan otak terbelah. Gambar Ia menunjukkan “Kanizsa Square” dimana sebagian besar melihat adanya kotak putih dalam 4 lingkaran hitam. Proses ini dinamakan “modal completion”, karena kontur dari kotak dapat dilihat mata. Hal ini merupakan bukti bahwa ini diselesaikan pada proses visual awal, dan kedua belahan otak mampu menyelesaikan tugas ini dengan baik. Gambar Ib menunjukkan kotak yang dapat diberi nama metode “amodal completion”. Mayoritas orang meilht sebuah kotak yang ditutupi oleh permukaan dengan empat buah lubang. Kotur kotak tersebut tidak dapat dilihat tetapi dapat disimpulkan

Contoh lain adalah penelitian mengenai garis ilusi pada pasien dengan otak terbelah. Adanya ilusi pergerakan garis terjadi ketika garis dipresntasikan secara instan pada tampilan visual, tetapi muncul dari awal sampai akhir dan sedang digambar. Manifestasi dari ilusi dapat dipengaruhi oleh manupulasi baik level rendah maupun tinggi dari konfigurasi stimulus. Dengan media yang sama garis digambarkan diantara dua titik dan dengan warna yang berbeda atau lebar yang berbeda, persamaan antar warna atau lebar akan menyebabkan ilusi. Manifestasi dari ilusi pada kedua belahan otak dapat diakibatkan oleh titik yang berkedip (manipulasi level rendah), tetapi belahan kanan lebih terganggu dengan persamaan lebar ataupun warna (manipulasi lebel tinggi). Hasil ini dapat menyimpulkan adanya perbedaan mekanisme yang dapat berkontribusi dalam ilusi gerak dan mekanisme tersebut memiliki peran untuk memutuskan asal dari pergerakan.

3.    Kesimpulan
Walaupun telah lama diketahui bahwa belahan otak kanan memiliki kemampuan visuospasial yang lebih baik dibandingkan sebelah kiri pada kebanyakan orang, penyebab terjadinya asimetri ini masih belum jelas. Hal ini karena belahan kiri dominan untuk mengontrol bahasa dan perbuatan, yang sering dipandang memiliki kognitif yang lebih baik daripada sebelah kanan, belahan ini juga sering disebut sebagai mayoritas atau belahan yang dominan, dengan belahan kanan diasosiasikan sebagai minoritas dan berperan sebagai penunjang. Konseptualisasi ini melupakan dasar dari masih ambigunya proses terjadinya persepsi visual, dan butuh pengetahuan yang dalam untuk membuat represesentasi yang tepat mengenai dunia dari informasi yang diberikan oleh gambaran retina. Pada penelitian ini saya berargumentasi bahwa belahan otak kanan dapat dideskripsikan memiliki kecerdasan visual yang lebih tinggi dari sebelah kiri, dan sata menyimpulkan bahwa adanya pengintepretasian oleh belahan kanan sebagai penyeimbang dari kapasitas pemahaman yang lebih besar oleh belahan kiri dalam aspek kognitif yang lainnya.

READ MORE - Proses Visuospasial dan Intepretasi oleh Belahan Otak Kanan

Korteks Visual Primer (V1)


Dari nukleus genikulatus lateralis (NGL), neuron mengirim sinyal ke korteks visual primer, kadang-kadang disebut V1 karena daerah ini adalah daerah korteks visual pertama. Sekitar 90 persen dari output dari proyek retina pertama NGL dan kemudian seterusnya sampai dengan V1. NGL kiri memproyeksikan ke V1 di belahan otak kiri; NGL kanan ke V1 kanan (Gambar 67). Dalam V1, input tata ruang dari retina masih dipertahankan. V1 kiri menerima seperangkat  masukan terarur dari belahan kiri dari kedua retina, melalui thalamus. Bagian foveal dari bidang visual direpresentasikan di bagian posterior dari lobus oksipital, dekat kutub oksipital dan bagian yang lebih perifer dari bidang visual direpresentasikan lebih anterior. V1 kiri mengandung peta retinotopik dari bidang visual kanan secara keseluruhan, sementara V1 kanan berisi peta keseluruhan bidang visual kiri. Organisasi retinotopik sangat lazim di daerah visual awal (V1 melalui V4), di mana neuron memiliki daerah reseptif kecil, tetapi menjadi lemah dan kurang teratur di daerah visual yang lebih tinggi di luar lobus oksipital.
Neuron pada V1 sensitif terhadap keseluruhan fitur visual, dimana hal ini tidak terlihat di NGL. Salah satu fitur visual yang paling penting adalah orientasi (Hubel dan Wiesel, 1962, 1968). Beberapa neuron V1 memberikan respon terbaik untuk garis vertikal, beberapa untuk garis miring 20-derajat, yang lain garis horizontal dan sebagainya. Bagaimana neuron ini mememiliki sifat atau bidang reseptif yang baru ? Gambar 6.8 menunjukkan contoh dari sebuah model untuk selektivitas orientasi pada V1. Jika neuron V1 menerima masukan rangsang dari tiga neuron NGL yang sejajar dengan bidang reseptif pusat, maka neuron V1 akan memberikan respon terbaik untuk garis berorientasi cocok. Sebagai contoh, jika sebuah batang vertikal disajikan, neuron yang ditunjukkan pada gambar akan memberikan respon terkuat, karena seluruh wilayah rangsang akan terangsang, sedangkan daerah penghambatan tidak akan dirangsang. Jika batang itu dimiringkan sehingga menjauh dari keadaan vertikal, neuron akan merespon lebih lemah karena bagian dari daerah penghambatan sekarang akan dirangsang, dan bagian dari pusat rangsangan tidak dirangsang. Akhirnya jika sebuah batang horisontal disajikan, neuron tidak dapat menyala sama sekali, karena proporsi dari daerah penerima dan penghambat akan sama dalam menerima rangsangan, yang menyebabkan keseimbangan dalam kekuatan input rangsang dan penghambatan masuk. Konfigurasi penerima dan penghambat pada bidang reseptif dapat menjelaskan selektivitas orientasi neuron V1.
Neuron V1 juga sensitif terhadap banyak fitur visual lain diluar orientasi (Hubel dan Wiesel, 1998). Beberapa neuron merespon terbaik untuk arah tertentu gerakan, seperti gerakan ke atas, gerakan ke kiri atau gerakan ke bawah. Neuron lainnya merespon terbaik untuk warna tertentu atau perbedaan warna (misalnya merah vs hijau, kuning vs biru), meskipun beberapa tipe dasar neuron sensitif warna juga dapat ditemukan di retina dan NGL. Akhirnya, beberapa neuron merespon terbaik untuk disparitas binokular tertentu (Barlow et al, 1967; Cumniing, 2002)  yang mengacu pada tingkat keselarasan antara gambar di kedua mata. Perpindahan kecil antara gambar di kedua mata memungkinkan kita untuk melihat lebih mendalam dan secara stereotipi ketika kita melihat objek dengan kedua mata terbuka. (Coba tutup satu mata, menjulurkan lengan dengan panjang penuh dan mencoba cepat untuk memindahkan dua jari telunjuk untuk bertemu satu sama lain. Sekarang coba ini lagi dengan kedua mata terbuka, jika Anda memiliki visi binokular normal, ini akan jauh lebih mudah dilakukan dengan kedua mata terbuka karena Anda dapat lebih menilai jarak dua jari Anda.) Lihat Gambar 6.9 untuk melihat skema jalur dalam sistem penglihatan binokular.
Jadi bagaimana neuron V1 menanggapi desain sebuah rumah? Sebuah neuron V1 yang diatur dalam garis miring 45-derajat dan memiliki daerah reseptif dalam posisi di sepanjang atap dapat merespon dengan baik untuk atap yang  miring. Sebuah neuron V1 yang dapat merespon dengan baik untuk vertikal akan membantu memberikan sinyal mengenai kehadiran dinding vertikal dan neuron horizontal akan merespon langit-langit atau lantai rumah. Dalam hal ini dapat segera terlihat bahwa neuron V1 melakukan hal yang lebih dari menanggapi hal  sederhana seperti cahaya, sebagaimana yang dilakukan NGL. Neuron V1 memberikan representasi neural dari orientasi fitur visual yang terdiri dari kontur dan bentuk objek. Gambar 6.10 memberikan ringkasan dari hirarki pemprosesan visual. Dari NGL, V1, V4 ke korteks temporal ventral. Kita dapat melihat bahwa neuron secara bertahap merespon rangsangan yang lebih kompleks dari satu daerah ke yang berikutnya
Singkatnya V1 berperan penting dalam menganalisis fitur visual pada detail tingkat lanjut. Neuron ini memiliki bidang reseptif kecil yang sensitif terhadap orientasi, gerak warna, atau disparitas binokular. Setelah sinyal visual dianalisis di V1, mereka dikirim ke wilayah visual yang lebih tinggi untuk diproses lebih lanjut.
READ MORE - Korteks Visual Primer (V1)

Tidur pada Pasien Bipolar Eutimik


Meskipun sistem klasifikasi modern mampu menggambarkan kriteria diagnostik untuk bipolar mania dan depresi, mereka gagal untuk secara akurat menangkap patologi keadan eutimik. Gangguan bipolar ditandai sebagian oleh frekuensi tinggi gejala interepisode subsindromal (98). Jadi, tidak mengherankan bahwa tidur pada pasien bipolar dapat terus diganggu selama periode eutimik.
Beberapa penelitian telah mengevaluasi anomali polisomnografik pada pasien bipolar eutimik. Knowles dkk. (99), menggunakan polisomnografi untuk mengikuti 10 pasien remisi bipolar selama 5 malam, dan tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara pasien bipolar eutimik dan kontrol  dengan usia yang sesuai kecuali untuk kejadiannya sedikit lebih sering pada mantan bipolar. Sitaram dkk. (100) ditemukan densitas REM dan persentase tidur REM meningkat relatif pada populasi pasien remisi bipolar terhadap subjek perbandingan yang sehat, serta sensitivitas meningkat menjadi latensi REM sehingga mengurangi efek arecoline (agonis asetilkolin).
Baru-baru ini, Millar et al. (101), dengan menggunakan buku harian tidur dan actigraphy, membandingkan tidur 19 pasien remisi bipolar I dan 19 orang sehat dengan usia dan gender serupa sebagai subjek perbandingan dan menemukan bahwa pasien remisi bipolar memiliki latency lebih besar dalam onset tidur, durasi tidur meningkat, dan variabilitas dari pola tidur pasien dari hari ke hari.
Jones et al. (102), menggunakan actigraphy untuk membandingkan pola aktivitas sirkadian pasien bipolar dan subjek perbandingan yang sehat, menemukan variabilitas yang lebih besar dari pola aktivitas dari hari ke hari pada pasien bipolar, tetapi tidak ada perbedaan signifikan dalam parameter tidur (misalnya, onset latensi tidur) antara dua kelompok. Subyek penelitian diminta untuk merekam tidur mereka dan mendapatkan waktu bangun tidur, dan parameter tidur sisanya dihitung dari tindakan actigraphic, yang mungkin meremehkan latensi tidur dan bangun setelah onset tidur dan melebih-lebihkkan efisiensi tidur (102). Akhirnya, penelitian baru-baru ini oleh Harvey et al. (103) memeriksa data tidur dan actigraphy dari pasien bipolar eutimik, pasien dengan insomnia, dan subyek dengan tidur yang cukup menemukan bahwa 70% dari pasien bipolar eutimik dipamerkan gangguan tidur klinis signifikan. Dibandingkan dengan kelompok lain, pasien bipolar dikirim mengalami penurunan efisiensi tidur yang signifikan, meningkatkan kecemasan dan ketakutan tentang kurang tidur, penurunan tingkat aktivitas siang hari, dan kecenderungan untuk menolak tidur, dengan tingkat kepercayaan disfungsional tentang tidur dibandingkan dengan pasien nonbipolar dengan insomnia .
Jadi, meskipun jumlah penelitian masih terbatas dan menghasilkan hasil yang bertentangan, pasien bipolar tampaknya menunjukkan gangguan tidur pada periode eutimik. Pengamatan dalam studi ini menguatkan gagasan bahwa tidur terganggu dapat mewakili kerentanan untuk kambuh menjadi fase patologis penyakit. Meskipun hipotesis ini belum terbukti, mengingat informasi yang sebelumnya disajikan menghubungkan kedua mania dan tidur pada bipolar bipolar, gangguan tidur dapat menjadi sasaran terapi yang potensial dalam pengelolaan klinis dari pasien bipolar selama periode eutimik.
READ MORE - Tidur pada Pasien Bipolar Eutimik

Tidur dalam Bipolar Fase Depresi


Perbedaan dalam tidur di depresi bipolar dan unipolar bisa diigunakan secara klinis, misalnya, dalam membedakan antara episode depresi unipolar dan bipolar. Sayangnya, dalam studi obyektif mengenai kualitas tidur (menggunakan polysomnography, misalnya) dalam depresi bipolar umumnya ditemukan kelainan yang serupa dalam depresi unipolar dan bipolar, meskipun data yang terbatas menunjukkan bahwa pasien bipolar mungkin terbangun pagi lebih awal dan lebih besar kerapatan total REM dibandingkan dengan subjek unipolar ketika faktor lain seperti usia, jenis kelamin, dan keparahan gejala dibuat homogen (70). Beberapa dokter percaya bahwa hipersomnia, daripada insomnia, lebih menunjukkan gangguan bipolar daripada depresi unipolar (71, 72). Namun, perbandingan dari hipersomnolen antara depresi bipolar dengan narkolepsi, menggunakan Multiple Sleep Latency Test, yang merupakan ukuran yang obyektif terhadap rasa kantuk yang berlebihan, tidak menemukan bukti adanya kantuk di siang hari yang berlebihan dalam depresi bipolar, yang menunjukkan bahwa hipersomnolen bipolar lebih tepat dikatakan sebagai akibat dari anergia / kelelahan dibandingkan dengan kantuk yang berlebihan sejati yang muncul pada gangguan tidur primer (73).
Seperti telah dibahas sebelumnya, penggunaan penggunaan metode pengurangan tidur sebagai antidepresan sangat meningkatkan pemahaman kita tentang hubungan antara tidur dan mania. Saat ini ada sedikit kecenderungan dalam menggunakan metode pengurangan tidur untuk mengobati depresi, baik unipolar atau bipolar, kemungkinan besar karena adanya kecenderungan kekambuhan setelah tidur pemulihan dan dominasi daerah lain dalam penelitian gangguan mood, seperti farmakoterapi neurokimia, dan genetika (74). Namun, ada korelasi yang menarik antara tidur dan depresi bipolar dalam diskusi lebih lanjut.
Meskipun Wu dan Bunney (34) tidak menemukan perbedaan dalam respon kurang tidur di antara depresi bipolar dan depresi unipolar saat mengadakan review pada literatur yang lebih tua, beberapa penelitian kecil yang lebih baru menunjukkan bahwa pasien bipolar dapat merespon kurang tidur lebih baik. Szuba dkk. (75), dalam sebuah penelitian prospektif dengan jumlah sampel kecil dari 37 pasien dengan depresi unipolar, bipolar I, ataupun bipolar II, menemukan bahwa delapan dari sembilan (89%) subjek bipolar I memberikan respon positif dengan metode kurang tidur parsial, dibandingkan dengan sembilan dari 24 (38% ) subjek unipolar. Barbini dkk. (76), menggunakan protokol pengurangan total tidur berulang dalam penelitian prospektif dengan jumlah sampel lebih besar dari 51 pasien, menemukan bahwa meskipun semua pasien mengalami perbaikan dalam gejala depresi, orang-orang dengan gangguan bipolar I (N= 17), gangguan bipolar II (N = 8) , dan gangguan unipolar episode pertama (N = 9) memiliki respons lebih baik yang signifikan dalam keadaan kurang tidur total dibandingkan pasien unipolar dengan riwayat episode depresi sebelumnya. Dari serangkaian kasus kecil yang meneliti mengenai peran dari kurang tidur selama fase depresi dalam metode bersepeda cepat selama tiga fase pada pasien bipolar, ditemukan respon yang sedikit membaik dengan kurang tidur pada awal episode depresi tetapi respon perbaikan yang lebih kuat muncul pada episode depresi yag telah berkembang, hal ini menunjukkan kemungkinan bahwa substrat neurobiologis yang mendasari depresi bipolar dapat berubah selama perjalanan penyakit, membuat pengobatan pada fase depresi lebih direkomendasikan menggunakan metode pengurangan tidur (77).
Meskipun pengurangan tidur mungkin sebuah terapi depresi yang manjur dalam depresi bipolar, penggunaan klinisnya sebagai terapi tunggal dibatasi oleh kambuhnya depresi setelah tidur pemulihan. Berbagai pendekatan farmakologis telah dipelajari sebagai strategi potensi augmentasi untuk meningkatkan atau memperpanjang efek antidepresan dari pengurangan tidur. Banyak laporan menunjukkan bahwa lithium, andalan pengobatan gangguan bipolar, dapat meningkatkan respon kurang tidur dan mempertahankan remisi pada pasien depresi baik unipolar dan bipolar (78-81).
Ada bukti bahwa pasien depresi bipolar yang homozigot untuk varian panjang polimorfisme fungsional di daerah hulu kontrol transkripsi dari urutan pengkodean transporter serotonin 5-HT-TLPR lebih mungkin untuk menanggapi kurang tidur dibandingkan mereka yang heterozygotic atau homozygotic untuk varian pendek (82). Smeraldi dkk. (83) menunjukkan bahwa pindolol, agen pemblokir 5-HT1A/beta-adrenoreceptor, secara signifikan meningkatkan tingkat respons dari pasien bipolar depresi terhadap kekurangan tidur total dibandingkan dengan plasebo (75% [15/20] vs 15% [3 / 20] ) dan bahwa respon lengkap bisa dipertahankan hanya dengan garam lithium di 65% kasus.
Selain pendekatan farmakologis, manipulasi dari sistem sirkadian juga telah digunakan untuk mempertahankan efek antidepresan dari kurang tidur pada pasien bipolar. Cahaya terang di pagi hari telah diketahui dapat mempertahankan respon antidepresan dengan pengurangan tidur pada pasien bipolar dan dapat mengurangi waktu rawat inap (84-86). Selanjutnya, fase lanjut (misalnya, memindahkan periode tidur beberapa jam lebih awal dari biasanya) periode tidur setelah kurang tidur telah terbukti untuk mempertahankan efek antidepresan dari kurang tidur pada subjek baik pada depresi unipolar maupun bipolar (87-90).
Telah disarankan bahwa faktor genetik dapat memberikan kerentanan khronobiologikal yang mendasari depresi, termasuk depresi bipolar (18). Polimorfisme dalam gen terkait dengan mekanisme sirkadian telah dikaitkan dengan kambuhnya depresi (misalnya, gen CLOCK), serta respon membaik dari kurang tidur dan kemanjuran pengobatan jangka panjang lithium (gen coding untuk glikogen sintase kinase 3-p, GSK3-p) pada pasien bipolar (91-93). Meskipun mekanisme penggunaan lithium yang mengakibatkan stabilisasi suasana masih belum jelas, akhir-akhir ini muncul ketertarikan pada efek dalam sistem sirkadian melalui interaksi dengan GSK3-J3 (94, 95). Secara teoritis desinkronisasi fase sirkadian internal dan lingkungan melalui polimorfisme genetik dapat meningkatkan risiko depresi pada beberapa pasien bipolar. Hal ini masih bersifat spekulatif pada saat ini, meskipun, dan penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memajukan hipotesis tersebut.
Meskipun data menunjukkan bahwa kurang tidur dalam pengobatan depresi bipolar dapat berkhasiat, pada pedoman praktek APA mengenai pengobatan gangguan bipolar (96)  hal ini didaftar sebagai sebuah pendekatan baru. Hal ini sesuai dengan data yang terbatas yang diberikan dalam hal perbandingannya dengan perawatan konvensional, kekhawatiran tentang perubahan pasien menjadi mania, kesulitan logistik dari kurang tidur pada unit rawat inap psikiatri, dan kembalinya gejala depresi setelah tidur pemulihan. Namun, karena kurang tidur adalah metode tercepat dikenal mengurangi gejala depresi, dan karena data terakhir menunjukkan bahwa penggunaan pengobatan adjunctive tertentu dapat memperpanjang respon antidepresan, beberapa dokter telah menyerukan minat baru dalam studi kurang tidur sebagai terapi somatik (97).
READ MORE - Tidur dalam Bipolar Fase Depresi