Epilepsi adalah suatu penyakit pada seseorang yang mengalami kejang rekuren non metabolik yang disebabkan oleh suatu proses kronik yang mendasarinya. Kelainan epilepsi cukup sering dijumpai. Dari berbagai hasil penelitian didapatkan bahwa di antara 1000 orang penduduk didapatkan 5-20 orang penderita epilepsi. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai prevalensi epilepsi di Indonesia. Di beberapa tempat di dunia ini telah dilakukan penelitian mengenai epilepsi, dari penelitian-penelitian ini didapat kesan bahwa prevalensi epilepsi lebih tinggi di negara berkembang di banding negara industri. Diduga faktor-faktor yang turut berperan, misalnya: perawatan saat ibu hamil, keadaan waktu melahirkan, trauma lahir, kekurangan gizi, dan penyakit infeksi. Epilepsi dapat diklasifikasikan sebagai idiopatik atau simtomatik. Pada epilepsi idiopatik atau esensial, tidak dapat dibuktikan adanya lesi sentral. Pada epilepsi simtomatik atau sekunder, suatu kelainan otak menimbulkan timbulnya respon kejang. (Lumbantobing, 1998; Wilson, 2005)
READ MORE -
Epilepsi
Jumat, 05 Desember 2008
Kejang
Kejang merupakan keadaan dimana terjadinya proses pelepasan muatan parenkimia yang berlebihan dari suatu populasi neuron karena kondisi patologis tertentu sehingga mengganggu fungsi normal otak. Kejang diklasifikasikan menjadi dua yaitu parsial dan generalisata. Kejang parsial ditandai dengan utuhnya kesadaran walaupun masih mungkin berubah dan fokus di salah satu sisi tetapi dapat menyebar ke bagian lain. Kejang generalisata ditandai dengan hilangnya kesadaran, tidak ada awitan fokal, bilateral dan simetrik, serta tidak adanya aura. Kejang parsial dibagi lagi menjadi kejang parsial sederhana dan kompleks. Parsial sederhana sifat kesadaran utuh, dapat bersifat motorik dan sensorik, dan biasanya berlangsung kurang dari 1 menit. Kompleks memiliki sifat adanya perubahan kesadaran yang disertai gejala motorik, sensorik, dan otomatisme serta biasanya berlangsung 1-3 menit. Kejang generalisata dibagi menjadi: (1) Tonik-Klonik, terjadi tonik-klonik otot, inkontinensia urin dan alvi, menggigit lidah, fase pascaiktus; (2) Absence, terjadi tatapan kosong, kepala sedikit lunglai, kelopak mata bergetar, berlangsung beberapa detik; (3) Mioklonik, kontraksi mirip syok mendadak yang terbatas di beberapa otot atau tungkai cenderung singkat; (4) Atonik, hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lenyapnya postur tubuh; (5) Klonik, gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal atau multipel di lengan, tungkai, atau torso; (6) Tonik, terjadi peningkatan secara mendadak tonus otot. (Dorland. 2006; Wilson, 2005; Mardjono, 2005)
READ MORE -
Kejang
Syncope (pingsan)
Pada serangan sinkop didapatkan penurunan kesadaran atau kehilangan kesadaran yang berlangsung sepintas. Sinkop dapat didefinisikan sebagai menghilangnya kesadaran sepintas yang disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ke otak. Pada serangan sinkop terjadi penurunan hebat dari tekanan darah. Hal ini menyebabkan aliran darah ke otak berkurang. Serangan sinkop dapat dihentikan bila penderita merebahkan kepalanya, lebih rendah dari letak jantung, atau bila ia segera berbaring.
Pada sinkop, sebelum kesadaran menghilang, didapatkan gejala pendahuluan berupa rasa lemah, penglihatan kunang-kunang, kabur, dan gelap, kepala terasa ringan, keringat dingin, merasa tidak enak di perut, merasa pengap, dan tampak pucat. Jarang sekali sinkop terjadi tanpa gejala pendahuluan. Bila sekiranya terjadi penurunan kesadaran tanpa gejala pendahuluan maka kemungkinan sinkop harus disanksikan. Serangan sinkop umumnya mempunyai pencetus. Pencetus ini misalnya: berdiri lama, berada di ruangan yang pengap, panas, dan sesak; mengalami gangguan emosi; mengalami keadaan yang sedih; oleh rasa nyeri; melihat darah maupun melihat sesuatu yang dianggap mengerikan.
Bila sinkop berlangsung lama, dapat terjadi kejang klonik pada ekstremitas dan penderitanya mengompol. Namun, hal ini jarang sekali terjadi (Lumbantobing, 1998).
READ MORE -
Syncope (pingsan)
Pada sinkop, sebelum kesadaran menghilang, didapatkan gejala pendahuluan berupa rasa lemah, penglihatan kunang-kunang, kabur, dan gelap, kepala terasa ringan, keringat dingin, merasa tidak enak di perut, merasa pengap, dan tampak pucat. Jarang sekali sinkop terjadi tanpa gejala pendahuluan. Bila sekiranya terjadi penurunan kesadaran tanpa gejala pendahuluan maka kemungkinan sinkop harus disanksikan. Serangan sinkop umumnya mempunyai pencetus. Pencetus ini misalnya: berdiri lama, berada di ruangan yang pengap, panas, dan sesak; mengalami gangguan emosi; mengalami keadaan yang sedih; oleh rasa nyeri; melihat darah maupun melihat sesuatu yang dianggap mengerikan.
Bila sinkop berlangsung lama, dapat terjadi kejang klonik pada ekstremitas dan penderitanya mengompol. Namun, hal ini jarang sekali terjadi (Lumbantobing, 1998).
Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf serta Mekanisme Penghantaran Impuls
Sistem saraf terdiri atas sel-sel saraf (neuron) dan sel-sel penyokong (neuroglia dan Sel Schwann). Kedua sel tersebut demikian erat berikatan dan terintegrasi satu sama lain sehingga bersama-sama berfungsi sebagai satu unit. Sistem saraf dibagi menjadi sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan medula spinalis. Sistem saraf tepi terdiri dari neuron aferen dan eferen sistem saraf somatis dan neuron sistem saraf autonom (viseral). Otak dibagi menjadi telensefalon, diensefalon, mesensefalon, metensefalon, dan mielensefalon. Medula spinalis merupakan suatu struktur lanjutan tunggal yang memanjang dari medula oblongata melalui foramen magnum dan terus ke bawah melalui kolumna vertebralis sampai setinggi vertebra lumbal 1-2. Secara anatomis sistem saraf tepi dibagi menjadi 31 pasang saraf spinal dan 12 pasang saraf kranial. Suplai darah pada sistem saraf pusat dijamin oleh dua pasang arteria yaitu arteria vertebralis dan arteria karotis interna, yang cabang-cabangnya akan beranastomose membentuk sirkulus arteriosus serebri Wilisi. Aliran venanya melalui sinus dura matris dan kembali ke sirkulasi umum melalui vena jugularis interna. (Wilson. 2005, Budianto. 2005, Guyton. 1997)
Membran plasma dan selubung sel membentuk membran semipermeabel yang memungkinkan difusi ion-ion tertentu melalui membran ini, tetapi menghambat ion lainnya. Dalam keadaan istirahat (keadaan tidak terstimulasi), ion-ion K+ berdifusi dari sitoplasma menuju cairan jaringan melalui membran plasma. Permeabilitas membran terhadap ion K+ jauh lebih besar daripada permeabilitas terhadap Na+ sehingga aliran keluar (efluks) pasif ion K+ jauh lebih besar daripada aliran masuk (influks) Na+. Keadaan ini memngakibatkan perbedaan potensial tetap sekitar -80mV yang dapat diukur di sepanjang membran plasma karena bagian dalam membran lebih negatif daripada bagian luar. Potensial ini dikenal sebagai potensial istirahat (resting potential). (Snell. 2007)
Bila sel saraf dirangsang oleh listrik, mekanik, atau zat kimia, terjadi perubahan yang cepat pada permeabilitas membran terhadap ion Na+ dan ion Na+ berdifusi melalui membran plasma dari jaringan ke sitoplasma. Keadaan tersebut menyebabkan membran mengalami depolarisasi. Influks cepat ion Na+ yang diikuti oleh perubahan polaritas disebut potensial aksi, besarnya sekitar +40mV. Potensial aksi ini sangat singkat karena hanya berlangsung selama sekitar 5msec. Peningkatan permeabilitas membran terhadap ion Na+ segera menghilang dan diikuti oleh peningkatan permeabilitas terhadap ion K+ sehingga ion K+ mulai mengalir dari sitoplasma sel dan mengmbalikan potensial area sel setempat ke potensial istirahat. Potensial aksi akan menyebar dan dihantarkan sebagai impuls saraf. Begitu impuls menyebar di daerah plasma membran tertentu potensial aksi lain tidak dapat segera dibangkitkan. Durasi keadaan yang tidak dapat dirangsang ini disebut periode refrakter. Stimulus inhibisi diperkirakan menimbulkan efek dengan menyebabkan influks ion Cl- melalui membran plasma ke dalam neuron sehingga menimbulkan hiperpolarisasi dan mengurangi eksitasi sel. (Snell. 2007)
READ MORE -
Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf serta Mekanisme Penghantaran Impuls
Membran plasma dan selubung sel membentuk membran semipermeabel yang memungkinkan difusi ion-ion tertentu melalui membran ini, tetapi menghambat ion lainnya. Dalam keadaan istirahat (keadaan tidak terstimulasi), ion-ion K+ berdifusi dari sitoplasma menuju cairan jaringan melalui membran plasma. Permeabilitas membran terhadap ion K+ jauh lebih besar daripada permeabilitas terhadap Na+ sehingga aliran keluar (efluks) pasif ion K+ jauh lebih besar daripada aliran masuk (influks) Na+. Keadaan ini memngakibatkan perbedaan potensial tetap sekitar -80mV yang dapat diukur di sepanjang membran plasma karena bagian dalam membran lebih negatif daripada bagian luar. Potensial ini dikenal sebagai potensial istirahat (resting potential). (Snell. 2007)
Bila sel saraf dirangsang oleh listrik, mekanik, atau zat kimia, terjadi perubahan yang cepat pada permeabilitas membran terhadap ion Na+ dan ion Na+ berdifusi melalui membran plasma dari jaringan ke sitoplasma. Keadaan tersebut menyebabkan membran mengalami depolarisasi. Influks cepat ion Na+ yang diikuti oleh perubahan polaritas disebut potensial aksi, besarnya sekitar +40mV. Potensial aksi ini sangat singkat karena hanya berlangsung selama sekitar 5msec. Peningkatan permeabilitas membran terhadap ion Na+ segera menghilang dan diikuti oleh peningkatan permeabilitas terhadap ion K+ sehingga ion K+ mulai mengalir dari sitoplasma sel dan mengmbalikan potensial area sel setempat ke potensial istirahat. Potensial aksi akan menyebar dan dihantarkan sebagai impuls saraf. Begitu impuls menyebar di daerah plasma membran tertentu potensial aksi lain tidak dapat segera dibangkitkan. Durasi keadaan yang tidak dapat dirangsang ini disebut periode refrakter. Stimulus inhibisi diperkirakan menimbulkan efek dengan menyebabkan influks ion Cl- melalui membran plasma ke dalam neuron sehingga menimbulkan hiperpolarisasi dan mengurangi eksitasi sel. (Snell. 2007)
Stroke hemoragik
Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15% sampai 20% dari semua stroke, dapat terjadi apabila lesi vaskular untraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang sub araknoid atau langsung ke dalam jaringan otak. Biasanya stroke hemoragik secara cepat menyebabkan krusakkan fungsi otak dan kehilangan kesadaran. Namun apabila perdarahan berlangsung lambat, pasien kemungkinan besar mengalami nyeri kepala hebat, yang merupakan skenario khas perdarahan subaraknoid (PSA). Tindakan pencegahan utama untuk perdarahan otak adalah mencegah cedera kepala dan mengendalikan tekanan darah. (Wilson. 2005)
READ MORE -
Stroke hemoragik
Stroke iskemik
Stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat, berlangsung lebih dari 24 jam, atau berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab lain selain daripada gangguan vaskular. Stroke iskemik dapat terjadi ketika pasokan darah ke otak berkurang. Stroke iskemik dijumpai dalan 4 bentuk klinis: (1)TIA (Transient Ischemic Attack) yang akan menghilang dalam waktu 24 jam;(2)RIND (Reversible Ischemic Neurological Defisit) gejala muncul dalam waktu lebih lama dari 24 jam tetapi tidak samapai seminggu; (3)Stroke progresif yang dengan gejala neurologik makin lama makin berat; (4)Stroke komplet saat gejala klinis sudah menetap. Manifestasi klinis utama ialah timbulnya defisit neurologik secara mendadak/sub akut, didahului gejala prodomal, terjadi pada waktu istirahat atau bangun pagi dan kesadaran tidak menurun. Biasanya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun. Pada pungsi lumbal lqs jernih, tekanan normal, dan eritrosit kuran dari 500. (Harsono. 2007)
READ MORE -
Stroke iskemik
Stroke iskemik
Stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat, berlangsung lebih dari 24 jam, atau berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab lain selain daripada gangguan vaskular. Stroke iskemik dapat terjadi ketika pasokan darah ke otak berkurang. Stroke iskemik dijumpai dalan 4 bentuk klinis: (1)TIA (Transient Ischemic Attack) yang akan menghilang dalam waktu 24 jam;(2)RIND (Reversible Ischemic Neurological Defisit) gejala muncul dalam waktu lebih lama dari 24 jam tetapi tidak samapai seminggu; (3)Stroke progresif yang dengan gejala neurologik makin lama makin berat; (4)Stroke komplet saat gejala klinis sudah menetap. Manifestasi klinis utama ialah timbulnya defisit neurologik secara mendadak/sub akut, didahului gejala prodomal, terjadi pada waktu istirahat atau bangun pagi dan kesadaran tidak menurun. Biasanya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun. Pada pungsi lumbal lqs jernih, tekanan normal, dan eritrosit kuran dari 500. (Harsono. 2007)
READ MORE -
Stroke iskemik
Demensia
Demensia adalah hilangnya fungsi kognisi secara multidimensional dan terus menerus, disebabkan oleh kerusakan organik sistem saraf pusat, tidak disertai oleh penurunan kesadaran akut seperti pada delirium. Gambaran klinik yang muncul antar lain gangguan memori, afasia, apraksia, agnosia. Jenis-jenis demensia antara lain demensia akibat Alzheimer, demensia vaskular, demensia karena kondisi medik umum lainnya. Untuk menegakkan diagnosis dapat mengunakan pemriksaan memori, kemampuan berbahasa, apraksia, daya abstraksi dan mental state examination. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah diagnosis demensia tidak boleh ditegakkan apabila defisit kognitif muncul secara eksklusif pada saat terjadi delirium. Untuk demensia tidak ada terapi spesifik atau drug of choice. Terapi demensia bukan sekedar pemberian obat-obatan . Pihak keluarga harus diberi penyuluhan tentang situasi demensia; dengan demikian keluarga dapat merawat penderita dengan tepat. (Harsono. 2007)
READ MORE -
Demensia
Hemiplegia akibat lesi di korteks motorik primer
Hemiplegia (hemiparesis) adalah kerusakan pada seluruh korteks piramidalis sesisi menimbulkan kelumpuhan UMN (Upper Motor Neuron) pada belahan tubuh sisi kontralateral. Pada tahap pertama hemiparesis karena lesi kontralateral sesisi, otot-otot wajah yang berada di atas fisura palpebrale masih dapat digerakkan secara wajar. Pada tahap ini lidah menunjukkan kelumpuhan pada sisi kontralateral. Pada penyumbatan cabang kortikal a.cerebri media terjadi kelumpuhan pada bagian bawah wajah sisi kontralateral, lidah belahan kontralateral, dan otot-otot leher sisi kontralateral. Jika terjadi tumor di sekitar falx cerebri menekan pada kedua sisi korteks piramidalis, maka kedua daerah somatotropik kedua tungkai bisa mengalami gangguan, sehingga terjadi kelumpuhan UMN pada kedua tungkai (paraplegia). Lesi yang merusak korteks piramidalis jarang terbatas pada area 4 saja, melainkan melibatkan daerah di depan dan di belakangnya. Dalam hal itu gejala pengiringnya bisa berupa hipestesia atau gangguan berbahasa. (Mardjono. 2003)
READ MORE -
Hemiplegia akibat lesi di korteks motorik primer
Anatomi dan fisiologi sistem saraf
Sistem saraf terdiri atas sel-sel saraf (neuron) dan sel-sel penyokong (neuroglia dan Sel Schwann). Kedua sel tersebut demikian erat berikatan dan terintegrasi satu sama lain sehingga bersama-sama berfungsi sebagai satu unit. Sistem saraf dibagi menjadi sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan medula spinalis. Sistem saraf tepi terdiri dari neuron aferen dan eferen sistem saraf somatis dan neuron sistem saraf autonom (viseral). Otak dibagi menjadi telensefalon, diensefalon, mesensefalon, metensefalon, dan mielensefalon. Medula spinalis merupakan suatu struktur lanjutan tunggal yang memanjang dari medula oblongata melalui foramen magnum dan terus ke bawah melalui kolumna vertebralis sampai setinggi vertebra lumbal 1-2. Secara anatomis sistem saraf tepi dibagi menjadi 31 pasang saraf spinal dan 12 pasang saraf kranial. Suplai darah pada sistem saraf pusat dijamin oleh dua pasang arteria yaitu arteria vertebralis dan arteria karotis interna, yang cabang-cabangnya akan beranastomose membentuk sirkulus arteriosus serebri Wilisi. Aliran venanya melalui sinus dura matris dan kembali ke sirkulasi umum melalui vena jugularis interna. (Wilson. 2005, Budianto. 2005, Guyton. 1997)
READ MORE -
Anatomi dan fisiologi sistem saraf
Tetraplegia akibat lesi di medula spinalis
Tiap lesi di medula spinalis yang merusak daerah jaras kortikospinal lateral menimbulkan kelumpuhan UMN pada otot bagian tubuh yang terletak di bawah tingkat lesi. Lesi yang memotong melintang (transversal) medula spinalis pada tingkat servikal misalnya C.5, mengakibatkan kelumpuhan UMN pad otot-otot tubuh yang berada di bawah C.5, yaitu sebagian dari otot-otot kedua lengan yang berasal dari miotoma C.6-C.8, lalu otot thoraks dan abdomen serta segenap muskulatur kedua tungkai. Kelumpuhan semacam ini disebut tetraplegia. Tetraplegia dapat disebabkan oleh infeksi (mielitis tranversa). Satu sampai dua segmen medula spinalis dapat terusak sekaligus. Infeksi langsung dapat terjadi melalui emboli septik, luka terbuka dari tulang belakang, penjalaran osteomielitis, atau perluasan proses meningitis piogenik. (Mardjono. 2003)
READ MORE -
Tetraplegia akibat lesi di medula spinalis
HIV AIDS
Etiologi
Virus HIV termasuk Retrovirus yang sangat mudah mengalami mutasi sehingga sulit untuk menemukan obat yang dapat membunuh virus tersebut. Daya penularan pengidap HIV tergantung pada sejumlah virus yang ada didalam darahnya, semakin tinggi/semakin banyak virus dalam darahnya semakin tinggi daya penularannya sehingga penyakitnya juga semakin parah. Virus HIV atau virus AIDS, sebagaimana Virus lainnya sebenarnya sangat lemah dan mudah mati di luar tubuh. Virus akan mati bila dipanaskan sampai temperatur 60° selama 30 menit, dan lebih cepat dengan mendidihkan air. Seperti kebanyakan virus lain, virus AIDS ini dapat dihancurkan dengan detergen yang dikonsentrasikan dan dapat dinonaktifkan dengan radiasi yang digunakan untuk mensterilkan peralatan medis atau peralatan lain. (Zulkifli. 2004)
Patogenesis
Supaya terjadi infeksi, virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah putih yang disebut limfosit. Materi genetik virus dimasukkan ke dalam DNA sel yang terinfeksi. Di dalam sel, virus berkembangbiak dan pada akhirnya menghancurkan sel serta melepaskan partikel virus yang baru. Partikel virus yang baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya. Virus menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang disebut CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. Sel-sel yang memiliki reseptor CD4 biasanya disebut sel CD4+ atau limfositpenolong. Limfosit T penolong berfungsi mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya pada sistem kekebalan (misalnya limfosit B, makrofag dan limfosit T sitotoksik), yang kesemuanya membantu menghancurkan sel-sel ganas dan organisme asing. Infeksi HIV menyebabkan hancurnya limfosit T penolong, sehingga terjadi kelemahan sistem tubuh dalam melindungi dirinya terhadap infeksi dan kanker.
Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T penolong melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau tahun:
1. Seseorang yang sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV, jumlahnya menurun sebanyak 40-50%. Selama bulan-bulan ini penderita bisa menularkan HIV kepada orang lain karena banyak partikel virus yang terdapat di dalam darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus, tetapi tubuh tidak mampu meredakan infeksi.
2. Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus di dalam darah mencapai kadar yang stabil, yang berlainan pada setiap penderita. Perusakan sel CD4+ dan penularan penyakit kepada orang lain terus berlanjut.
Kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang rendah membantu dokter dalam menentukan orang-orang yang beresiko tinggi menderita AIDS.
3. 1-2 tahun sebelum terjadinya AIDS, jumlah limfosit CD4+ biasanya menurun drastis. Jika kadarnya mencapai 200 sel/mL darah, maka penderita menjadi rentan terhadap infeksi.
Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B (limfosit yang menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan produksi antibodi yang berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk melawan HIV dan infeksi yang dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak banyak membantu dalam melawan berbagai infeksi oportunistik pada AIDS. Pada saat yang bersamaan, penghancuran limfosit CD4+ oleh virus menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam mengenali organisme dan sasaran baru yang harus diserang. (Anonim, 2007)
Manifestasi Klinik
Masa Inkubasi penyakit ini belum diketahui secara pasti. Dalam beberapa literatur di katakan bahwa melalui transfusi darah masa inkubasi kira-kira 4,5 tahun, sedangkan pada penderita homoseksual 2 -5 tahun, pada anak- anak rata – rata 21 bulan dan pada orang dewasa 60 bulan. (Zulkifli, 2004)
Dari 6700 laki -laki hokoseksual / biseksual si San Francisco dilakukan studi Cohort, 36% dari infekssi HIV setelah 88 bulan menjaddi penderita AIDS, sedangkan 20% sama sekali tidak ada timbul gejala AIDS.Gejala penderita AIDS dapat timbul dari ringan sampai berat, bahan di Amerika Serikat ditemukan ratusan ribu orang yang dalam darahnya mengandung virus HIV tanpa gejala klinis. (Zulkifli, 2004)
Ada terdapat 5 stadium penyakit AIDS, yaitu:
1. Gejala awal stadium infeksi yaitu :
• Demam
• Kelemahan
• Nyeri sendi I
• Nyeri tenggorok
• Pembesaran kelenjaran getah bening
2. Stadium tanpa gejala
Stadium dimana penderita nampak sehat, namun dapat merupakan sumber penularan infeksi HIV.
3. Gejala stadium ARC
• Demam lebih dari 38°C secara berkala atau terus.
• Menurunnya berat badan lebih dari 10% dalam waktu 3 bulan.
• Pembesaran kelenjar getah bening.
• Diare mencret yang berkala atau terus menerus dalam waktu yang lama tanpa sebab yang jelas.
• Kelemahan tubuh yang menurunkan aktifitas fisik.
• Keringat malam.
4. Gejala AIDS
• Gejala klinis utama yaitu terdapatnya kanker kulit yang disebut Sarkoma Kaposi (kanker pembuluh darah kapiler) juga adanya kanker kelenjar getah bening.
• Terdapat infeksi penyakit penyerta misalnya pneomonia, pneu-mocystis,TBC, serta penyakit infeksi lainnya seperti teksoplasmosis.
5. Gejala gangguan susunan saraf
• Lupa ingatan
• Kesadaran menurun
• Perubahan Kepribadian
• Gejala–gejala peradangan otak atau selaput otak
• Kelumpuhan
(Zulkifli, 2004)
Beberapa infeksi oportunistik dan kanker merupakan ciri khas dari munculnya AIDS:
1. Thrush.
Pertumbuhan berlebihan jamur Candida di dalam mulut, vagina atau kerongkongan, biasanya merupakan infeksi yang pertama muncul.
Infeksi jamur vagina berulang yang sulit diobati seringkali merupakan gejala dini HIV pada wanita. Tapi infeksi seperti ini juga bisa terjadi pada wanita sehat akibat berbagai faktor seperti pil KB, antibiotik dan perubahan hormonal.
2. Pneumonia pneumokistik.
Pneumonia karena jamur Pneumocystis carinii merupakan infeksi oportunistik yang sering berulang pada penderita AIDS.
Infeksi ini seringkali merupakan infeksi oportunistik serius yang pertama kali muncul dan sebelum ditemukan cara pengobatan dan pencegahannya, merupakan penyebab tersering dari kematian pada penderita infeksi HIV
3. Toksoplasmosis.
Infeksi kronis oleh Toxoplasma sering terjadi sejak masa kanak-kanak, tapi gejala hanya timbul pada sekelompok kecil penderita AIDS.
Jika terjadi pengaktivan kembali, maka Toxoplasma bisa menyebabkan infeksi hebat, terutama di otak.
4. Tuberkulosis.
Tuberkulosis pada penderita infeksi HIV, lebih sering terjadi dan bersifat lebih mematikan.
Mikobakterium jenis lain yaitu Mycobacterium avium, merupakan penyebab dari timbulnya demam, penurunan berat badan dan diare pada penderita tuberkulosa stadium lanjut.
Tuberkulosis bisa diobati dan dicegah dengan obat-obat anti tuberkulosa yang biasa digunakan.
5. Infeksi saluran pencernaan.
Infeksi saluran pencernaan oleh parasit Cryptosporidium sering ditemukan pada penderita AIDS. Parasit ini mungkin didapat dari makanan atau air yang tercemar.
Gejalanya berupa diare hebat, nyeri perut dan penurunan berat badan.
6. Leukoensefalopati multifokal progresif.
Leukoensefalopati multifokal progresif merupakan suatu infeksi virus di otak yang bisa mempengaruhi fungsi neurologis penderita.
Gejala awal biasanya berupa hilangnya kekuatan lengan atau tungkai dan hilangnya koordinasi atau keseimbangan.
Dalam beberapa hari atau minggu, penderita tidak mampu berjalan dan berdiri dan biasanya beberapa bulan kemudian penderita akan meninggal.
7. Infeksi oleh sitomegalovirus.
Infeksi ulangan cenderung terjadi pada stadium lanjut dan seringkali menyerang retina mata, menyebabkan kebutaan.
Pengobatan dengan obat anti-virus bisa mengendalikan sitomegalovirus.
8. Sarkoma Kaposi.
Sarkoma Kaposi adalah suatu tumor yang tidak nyeri, berwarna merah sampai ungu, berupa bercak-bercak yang menonjol di kulit.
Tumor ini terutama sering ditemukan pada pria homoseksual.
9. Kanker.
Bisa juga terjadi kanker kelenjar getah bening (limfoma) yang mula-mula muncul di otak atau organ-organ dalam.
Wanita penderita AIDS cenderung terkena kanker serviks.
Pria homoseksual juga mudah terkena kanker rektum. (Anonim, 2007)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang relatif sederhana dan akurat adalah pemeriksaan darah yang disebut tes ELISA. Dengan pemeriksaan ini dapat dideteksi adanya antibodi terhadap HIV, hasil tes secara rutin diperkuat dengan tes yang lebih akurat. Ada suatu periode (beberapa minggu atau lebih setelah terinfeksi HI) dimana antibodi belum positif. Pada periode ini dilakukan pemeriksaan yang sangat sensitif untuk mendeteksi virus, yaitu antigen P24 . Antigen P24 belakangan ini digunakan untuk menyaringan darah yang disumbangkan untuk keperluan transfusi. Jika hasil tes ELISA menunjukkan adanya infeksi HIV, maka pada contoh darah yang sama dilakukan tes ELISA ulangan untuk memastikannya. Jika hasil tes ELISA yang kedua juga positif, maka langkah berikutnya adalah memperkuat diagnosis dengan tes darah yang lebih akurat dan lebih mahal, yaitu tes apusan Western. Tes ini juga bisam enentukan adanya antibodi terhadap HIV, tetapi lebih spesifik daripada ELISA. Jika hasil tes Western juga positif, maka dapat dipastikan orang tersebut terinfeksi HIV. (Anonim, 2007)
Penatalaksanaan
Pada saat ini sudah banyak obat yang bisa digunakan untuk menangani infeksi HIV:
1. Nucleoside reverse transcriptase inhibitor
- AZT (zidovudin)
- ddI (didanosin)
- ddC (zalsitabin)
- d4T (stavudin)
- 3TC (lamivudin)
- Abakavir
2. Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor
- Nevirapin
- Delavirdin
- Efavirenz
3. Protease inhibitor
- Saquinavir
- Ritonavir
- Indinavir
- Nelfinavir.
Semua obat-obatan tersebut ditujukan untuk mencegah reproduksi virus sehingga memperlambat progresivitas penyakit. HIV akan segera membentuk resistensi terhadap obat-obatan tersebut bila digunakan secara tunggal. Pengobatan paling efektif adalah kombinasi antara 2 obat atau lebih, Kombinasi obat bisa memperlambat timbulnya AIDS pada penderita HIV positif dan memperpanjang harapan hidup. Dokter kadang sulit menentukan kapan dimulainya pemberian obat-obatan ini. Tapi penderita dengan kadar virus yang tinggi dalam darah harus segera diobati walaupun kadar CD4+nya masih tinggi dan penderita tidak menunjukkan gejala apapun. AZT, ddI, d4T dan ddC menyebabkan efek samping seperti nyeri abdomen, mual dan sakit kepala (terutama AZT). Penggunaan AZT terus menerus bisa merusak sumsum tulang dan menyebabkan anemia. ddI, ddC dan d4T bisa merusak saraf-saraf perifer. ddI bisa merusak pankreas. Dalam kelompok nucleoside, 3TC tampaknya mempunyai efek samping yang paling ringan. Ketiga protease inhibitor menyebabkan efek samping mual dan muntah, diare dan gangguan perut. Indinavir menyebabkan kenaikan ringan kadar enzim hati, bersifat reversibel dan tidak menimbulkan gejala, juga menyebabkan nyeri punggung hebat (kolik renalis) yang serupa dengan nyeri yang ditimbulkan batu ginjal.Ritonavir dengan pengaruhnya pada hati menyebabkan naik atau turunnya kadar obat lain dalam darah. Kelompok protease inhibitor banyak menyebabkan perubahan metabolisme tubuh seperti peningkatan kadar gula darah dan kadar lemak, serta perubahan distribusi lemak tubuh (protease paunch). (Anonim, 2007)
Penderita AIDS diberi obat-obatan untuk mencegah infeksi oportunistik. Penderita dengan kadar limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mL darah mendapatkan kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol untuk mencegah pneumonia pneumokistik dan infeksi toksoplasma ke otak. Penderita dengan limfosit CD4+ kurang dari 100 sel/mL darah mendapatkan azitromisin seminggu sekali atau klaritromisin atau rifabutin setiap hari untuk mencegah infeksi Mycobacterium avium. Penderita yang bisa sembuh dari meningitis kriptokokal atau terinfeksi candida mendapatkan flukonazol jangka panjang. Penderita dengan infeksi herpes simpleks berulang mungkin memerlukan pengobatan asiklovir jangka panjang. (Anonim, 2007)
READ MORE -
HIV AIDS
Virus HIV termasuk Retrovirus yang sangat mudah mengalami mutasi sehingga sulit untuk menemukan obat yang dapat membunuh virus tersebut. Daya penularan pengidap HIV tergantung pada sejumlah virus yang ada didalam darahnya, semakin tinggi/semakin banyak virus dalam darahnya semakin tinggi daya penularannya sehingga penyakitnya juga semakin parah. Virus HIV atau virus AIDS, sebagaimana Virus lainnya sebenarnya sangat lemah dan mudah mati di luar tubuh. Virus akan mati bila dipanaskan sampai temperatur 60° selama 30 menit, dan lebih cepat dengan mendidihkan air. Seperti kebanyakan virus lain, virus AIDS ini dapat dihancurkan dengan detergen yang dikonsentrasikan dan dapat dinonaktifkan dengan radiasi yang digunakan untuk mensterilkan peralatan medis atau peralatan lain. (Zulkifli. 2004)
Patogenesis
Supaya terjadi infeksi, virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah putih yang disebut limfosit. Materi genetik virus dimasukkan ke dalam DNA sel yang terinfeksi. Di dalam sel, virus berkembangbiak dan pada akhirnya menghancurkan sel serta melepaskan partikel virus yang baru. Partikel virus yang baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya. Virus menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang disebut CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. Sel-sel yang memiliki reseptor CD4 biasanya disebut sel CD4+ atau limfositpenolong. Limfosit T penolong berfungsi mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya pada sistem kekebalan (misalnya limfosit B, makrofag dan limfosit T sitotoksik), yang kesemuanya membantu menghancurkan sel-sel ganas dan organisme asing. Infeksi HIV menyebabkan hancurnya limfosit T penolong, sehingga terjadi kelemahan sistem tubuh dalam melindungi dirinya terhadap infeksi dan kanker.
Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T penolong melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau tahun:
1. Seseorang yang sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV, jumlahnya menurun sebanyak 40-50%. Selama bulan-bulan ini penderita bisa menularkan HIV kepada orang lain karena banyak partikel virus yang terdapat di dalam darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus, tetapi tubuh tidak mampu meredakan infeksi.
2. Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus di dalam darah mencapai kadar yang stabil, yang berlainan pada setiap penderita. Perusakan sel CD4+ dan penularan penyakit kepada orang lain terus berlanjut.
Kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang rendah membantu dokter dalam menentukan orang-orang yang beresiko tinggi menderita AIDS.
3. 1-2 tahun sebelum terjadinya AIDS, jumlah limfosit CD4+ biasanya menurun drastis. Jika kadarnya mencapai 200 sel/mL darah, maka penderita menjadi rentan terhadap infeksi.
Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B (limfosit yang menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan produksi antibodi yang berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk melawan HIV dan infeksi yang dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak banyak membantu dalam melawan berbagai infeksi oportunistik pada AIDS. Pada saat yang bersamaan, penghancuran limfosit CD4+ oleh virus menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam mengenali organisme dan sasaran baru yang harus diserang. (Anonim, 2007)
Manifestasi Klinik
Masa Inkubasi penyakit ini belum diketahui secara pasti. Dalam beberapa literatur di katakan bahwa melalui transfusi darah masa inkubasi kira-kira 4,5 tahun, sedangkan pada penderita homoseksual 2 -5 tahun, pada anak- anak rata – rata 21 bulan dan pada orang dewasa 60 bulan. (Zulkifli, 2004)
Dari 6700 laki -laki hokoseksual / biseksual si San Francisco dilakukan studi Cohort, 36% dari infekssi HIV setelah 88 bulan menjaddi penderita AIDS, sedangkan 20% sama sekali tidak ada timbul gejala AIDS.Gejala penderita AIDS dapat timbul dari ringan sampai berat, bahan di Amerika Serikat ditemukan ratusan ribu orang yang dalam darahnya mengandung virus HIV tanpa gejala klinis. (Zulkifli, 2004)
Ada terdapat 5 stadium penyakit AIDS, yaitu:
1. Gejala awal stadium infeksi yaitu :
• Demam
• Kelemahan
• Nyeri sendi I
• Nyeri tenggorok
• Pembesaran kelenjaran getah bening
2. Stadium tanpa gejala
Stadium dimana penderita nampak sehat, namun dapat merupakan sumber penularan infeksi HIV.
3. Gejala stadium ARC
• Demam lebih dari 38°C secara berkala atau terus.
• Menurunnya berat badan lebih dari 10% dalam waktu 3 bulan.
• Pembesaran kelenjar getah bening.
• Diare mencret yang berkala atau terus menerus dalam waktu yang lama tanpa sebab yang jelas.
• Kelemahan tubuh yang menurunkan aktifitas fisik.
• Keringat malam.
4. Gejala AIDS
• Gejala klinis utama yaitu terdapatnya kanker kulit yang disebut Sarkoma Kaposi (kanker pembuluh darah kapiler) juga adanya kanker kelenjar getah bening.
• Terdapat infeksi penyakit penyerta misalnya pneomonia, pneu-mocystis,TBC, serta penyakit infeksi lainnya seperti teksoplasmosis.
5. Gejala gangguan susunan saraf
• Lupa ingatan
• Kesadaran menurun
• Perubahan Kepribadian
• Gejala–gejala peradangan otak atau selaput otak
• Kelumpuhan
(Zulkifli, 2004)
Beberapa infeksi oportunistik dan kanker merupakan ciri khas dari munculnya AIDS:
1. Thrush.
Pertumbuhan berlebihan jamur Candida di dalam mulut, vagina atau kerongkongan, biasanya merupakan infeksi yang pertama muncul.
Infeksi jamur vagina berulang yang sulit diobati seringkali merupakan gejala dini HIV pada wanita. Tapi infeksi seperti ini juga bisa terjadi pada wanita sehat akibat berbagai faktor seperti pil KB, antibiotik dan perubahan hormonal.
2. Pneumonia pneumokistik.
Pneumonia karena jamur Pneumocystis carinii merupakan infeksi oportunistik yang sering berulang pada penderita AIDS.
Infeksi ini seringkali merupakan infeksi oportunistik serius yang pertama kali muncul dan sebelum ditemukan cara pengobatan dan pencegahannya, merupakan penyebab tersering dari kematian pada penderita infeksi HIV
3. Toksoplasmosis.
Infeksi kronis oleh Toxoplasma sering terjadi sejak masa kanak-kanak, tapi gejala hanya timbul pada sekelompok kecil penderita AIDS.
Jika terjadi pengaktivan kembali, maka Toxoplasma bisa menyebabkan infeksi hebat, terutama di otak.
4. Tuberkulosis.
Tuberkulosis pada penderita infeksi HIV, lebih sering terjadi dan bersifat lebih mematikan.
Mikobakterium jenis lain yaitu Mycobacterium avium, merupakan penyebab dari timbulnya demam, penurunan berat badan dan diare pada penderita tuberkulosa stadium lanjut.
Tuberkulosis bisa diobati dan dicegah dengan obat-obat anti tuberkulosa yang biasa digunakan.
5. Infeksi saluran pencernaan.
Infeksi saluran pencernaan oleh parasit Cryptosporidium sering ditemukan pada penderita AIDS. Parasit ini mungkin didapat dari makanan atau air yang tercemar.
Gejalanya berupa diare hebat, nyeri perut dan penurunan berat badan.
6. Leukoensefalopati multifokal progresif.
Leukoensefalopati multifokal progresif merupakan suatu infeksi virus di otak yang bisa mempengaruhi fungsi neurologis penderita.
Gejala awal biasanya berupa hilangnya kekuatan lengan atau tungkai dan hilangnya koordinasi atau keseimbangan.
Dalam beberapa hari atau minggu, penderita tidak mampu berjalan dan berdiri dan biasanya beberapa bulan kemudian penderita akan meninggal.
7. Infeksi oleh sitomegalovirus.
Infeksi ulangan cenderung terjadi pada stadium lanjut dan seringkali menyerang retina mata, menyebabkan kebutaan.
Pengobatan dengan obat anti-virus bisa mengendalikan sitomegalovirus.
8. Sarkoma Kaposi.
Sarkoma Kaposi adalah suatu tumor yang tidak nyeri, berwarna merah sampai ungu, berupa bercak-bercak yang menonjol di kulit.
Tumor ini terutama sering ditemukan pada pria homoseksual.
9. Kanker.
Bisa juga terjadi kanker kelenjar getah bening (limfoma) yang mula-mula muncul di otak atau organ-organ dalam.
Wanita penderita AIDS cenderung terkena kanker serviks.
Pria homoseksual juga mudah terkena kanker rektum. (Anonim, 2007)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang relatif sederhana dan akurat adalah pemeriksaan darah yang disebut tes ELISA. Dengan pemeriksaan ini dapat dideteksi adanya antibodi terhadap HIV, hasil tes secara rutin diperkuat dengan tes yang lebih akurat. Ada suatu periode (beberapa minggu atau lebih setelah terinfeksi HI) dimana antibodi belum positif. Pada periode ini dilakukan pemeriksaan yang sangat sensitif untuk mendeteksi virus, yaitu antigen P24 . Antigen P24 belakangan ini digunakan untuk menyaringan darah yang disumbangkan untuk keperluan transfusi. Jika hasil tes ELISA menunjukkan adanya infeksi HIV, maka pada contoh darah yang sama dilakukan tes ELISA ulangan untuk memastikannya. Jika hasil tes ELISA yang kedua juga positif, maka langkah berikutnya adalah memperkuat diagnosis dengan tes darah yang lebih akurat dan lebih mahal, yaitu tes apusan Western. Tes ini juga bisam enentukan adanya antibodi terhadap HIV, tetapi lebih spesifik daripada ELISA. Jika hasil tes Western juga positif, maka dapat dipastikan orang tersebut terinfeksi HIV. (Anonim, 2007)
Penatalaksanaan
Pada saat ini sudah banyak obat yang bisa digunakan untuk menangani infeksi HIV:
1. Nucleoside reverse transcriptase inhibitor
- AZT (zidovudin)
- ddI (didanosin)
- ddC (zalsitabin)
- d4T (stavudin)
- 3TC (lamivudin)
- Abakavir
2. Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor
- Nevirapin
- Delavirdin
- Efavirenz
3. Protease inhibitor
- Saquinavir
- Ritonavir
- Indinavir
- Nelfinavir.
Semua obat-obatan tersebut ditujukan untuk mencegah reproduksi virus sehingga memperlambat progresivitas penyakit. HIV akan segera membentuk resistensi terhadap obat-obatan tersebut bila digunakan secara tunggal. Pengobatan paling efektif adalah kombinasi antara 2 obat atau lebih, Kombinasi obat bisa memperlambat timbulnya AIDS pada penderita HIV positif dan memperpanjang harapan hidup. Dokter kadang sulit menentukan kapan dimulainya pemberian obat-obatan ini. Tapi penderita dengan kadar virus yang tinggi dalam darah harus segera diobati walaupun kadar CD4+nya masih tinggi dan penderita tidak menunjukkan gejala apapun. AZT, ddI, d4T dan ddC menyebabkan efek samping seperti nyeri abdomen, mual dan sakit kepala (terutama AZT). Penggunaan AZT terus menerus bisa merusak sumsum tulang dan menyebabkan anemia. ddI, ddC dan d4T bisa merusak saraf-saraf perifer. ddI bisa merusak pankreas. Dalam kelompok nucleoside, 3TC tampaknya mempunyai efek samping yang paling ringan. Ketiga protease inhibitor menyebabkan efek samping mual dan muntah, diare dan gangguan perut. Indinavir menyebabkan kenaikan ringan kadar enzim hati, bersifat reversibel dan tidak menimbulkan gejala, juga menyebabkan nyeri punggung hebat (kolik renalis) yang serupa dengan nyeri yang ditimbulkan batu ginjal.Ritonavir dengan pengaruhnya pada hati menyebabkan naik atau turunnya kadar obat lain dalam darah. Kelompok protease inhibitor banyak menyebabkan perubahan metabolisme tubuh seperti peningkatan kadar gula darah dan kadar lemak, serta perubahan distribusi lemak tubuh (protease paunch). (Anonim, 2007)
Penderita AIDS diberi obat-obatan untuk mencegah infeksi oportunistik. Penderita dengan kadar limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mL darah mendapatkan kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol untuk mencegah pneumonia pneumokistik dan infeksi toksoplasma ke otak. Penderita dengan limfosit CD4+ kurang dari 100 sel/mL darah mendapatkan azitromisin seminggu sekali atau klaritromisin atau rifabutin setiap hari untuk mencegah infeksi Mycobacterium avium. Penderita yang bisa sembuh dari meningitis kriptokokal atau terinfeksi candida mendapatkan flukonazol jangka panjang. Penderita dengan infeksi herpes simpleks berulang mungkin memerlukan pengobatan asiklovir jangka panjang. (Anonim, 2007)
Reaksi Peradangan Lokal dan Sistemik
Bila sel-sel atau jaringan-jaringan tubuh mengalami cedera, jaringan hidup di sekitarnya akan membuat suatu respons mencolok yang disebut peradangan. Peradangan merupakan suatu fenomena yang menguntungkan dan defensif, yang menghasilkan netralisasi dan eliminasi agen penyerang, penghancuran zat nekrotik, dan terbentuknya keadaan yang diperlukan untuk perbaikan dan pemulihan. Peradangan ini dapat terjadi secara lokal ataupun sistemik. Peradangan sistemik terjadi jika sistem imunitas tubuh tidak mampu untuk menahan agen penyerang. Mekanisme dari peradangan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama-tama reaksi yang akan muncul adalah respon imun nonspesifik. Basofil atau lebih tepatnya sel mast yang berada di jaringanlah yang mengetahui masuknya suatu agen penyerang. Basofil atau mastosit akan mengeluarkan faktor-faktor untuk memanggil leukosit jenis lain. Contohnya faktor kemotaktik eosinofil untuk memanggil eosinofil. Basofil juga melepaskan mediator kimiawi seperti bradikinin untuk melebarkan pembuluh darah agar teman-temannya dapat masuk. Setelah itu tugas diambil alih oleh netrofil. Netrofil dapat memfagosit benda asing dengan cepat namun kekurangannya hanya dapat sekali pakai. Netrofil akan mati setelah memfagosit. Pertahanan selanjutnya adalah makrofag. Makrofag berasal dari monosit yang sudah teraktivasi. Makrofag dapat memakan lebih banyak dan berkali-kali namun sayang aktifasinya lambat. Jika respon imun nonspesifik ini tidak berhasil maka respon imun spesifik akan bekerja. Makrofag akan berubah fungsi sebagai Antigen Presenting Cell (APC) yang memperlihatkan serpihan antigen penyerang dengan membawanya di Major Histocompatability Complex (disingkat MHC, pada manusia disebut Human Leukocyte Antigen [HLA]) tipe II. MHC II akan berikatan dengan Limfosit T helper (CD4) pada bagian T Cell Receptor (TCR). Sel T helper akan memproduksi mediator kimiawi seperti interleukin 2,4,5 yang digunakan untuk pematangan sel B pembentuk antibodi, interferon gamma untuk memanggil makrofag lain, interleukin 2 juga digunakan untuk mengaktifkan sel T lain sperti T sitotoksik (CD8) yang dapat membunuh dengan menggunakan enzim perforase yang dapat melubangi membran sel target. Jadi dapat dikatakan bahwa sel T helper adalah jenderal dar sistem imun. Makrofag sebagai APC juga akan mengeluarkan interleukin 1 sebagai respon atas keluarnya mediator kimiawi T helper. Menurut penelitian interleukin 1 dapat mengaktivasi prostatglandin yang kemudian berdampak pada pengaturan suhu tubuh. Hal inilah yang menyebabkan adanya demam pada sebagian besar proses inflamasi. Setelah dirangsang pematangannya oleh sel T helper, sel B berkembang menjadi imunoglobluin (antibodi) yang akan bertugas menetralisir agen penyerang. Adanya kompleks antigen-antibodi akan memicu sistem komplemen tipe klasik yang bertugas untuk menjaga respon imun tetap terus berlanjut sampai agen penyerang mati. Contohnya C3b yang mengakibatkan opsonisasi yaitu penempelan beberapa kompleks antigen antibodi untuk bersama-sama dikeluarkan atau dihancurkan. Komplemen C5b6789 berfungsi sebagai zat pelisis membran sel target bersama-sama dengan sel T sitotoksik. Semua hal itu membutuhkan kerjasama yang baik antar semua komponen sistem imun. (Boedina, 2003; Guyton 1997; Wilson, 2005)
Respon tersebut dapat terjadi secara sistemik. Respons sistemik pejamu terhadap infeksi dimana patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi disebut sepsis. Patofisiologi syok sepsis tidak terlepas dari patofisiologi sepsis itu sendiri dimana endotoksin (lipopolisakarida) yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses inflamasi yang melibatkan berbagai mediator inflamasi yaitu: sitokin, neutrofil, komplemen, NO, dan berbagai mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis merupakan proses homeostasis dimana terjadi keseimbangan antara ploses inflamasi dan antiinflamasi. Kemampuan homeostasis pada proses inflamasi ini terkait dengan faktor suseptibilitas individu terhadap proses inflamasi tersebut. Bilamana terjadi proses inflamasi yang melebihi kemampuan homeostatis, maka akan terjadi proses inflamasi yang maladaptif, sehingga terjadi berbagai proses inflamasi yang bersifat destruktif. Keadaan tersebut akan menimbulkan gangguan pada tingkat selular pada berbagai organ. (Chen, 2007)
READ MORE -
Reaksi Peradangan Lokal dan Sistemik
Respon tersebut dapat terjadi secara sistemik. Respons sistemik pejamu terhadap infeksi dimana patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi disebut sepsis. Patofisiologi syok sepsis tidak terlepas dari patofisiologi sepsis itu sendiri dimana endotoksin (lipopolisakarida) yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses inflamasi yang melibatkan berbagai mediator inflamasi yaitu: sitokin, neutrofil, komplemen, NO, dan berbagai mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis merupakan proses homeostasis dimana terjadi keseimbangan antara ploses inflamasi dan antiinflamasi. Kemampuan homeostasis pada proses inflamasi ini terkait dengan faktor suseptibilitas individu terhadap proses inflamasi tersebut. Bilamana terjadi proses inflamasi yang melebihi kemampuan homeostatis, maka akan terjadi proses inflamasi yang maladaptif, sehingga terjadi berbagai proses inflamasi yang bersifat destruktif. Keadaan tersebut akan menimbulkan gangguan pada tingkat selular pada berbagai organ. (Chen, 2007)
Meningitis
Etiologi
Meningitis pyogenic akut merupakan suatu respon inflamasi terhadap infeksi bakteria yang mengenai pria dan arakhnoid. Tiga organisme utama yang dapat menyebabkan meningitis pyogenic adalah Diplococcus pneumonia, Neisseria meningitis dan Haemophilus influenzae . Insiden dari type bakteri penyebab bervariasi menurut umur penderita. Pada Neonatal (0-2 bula) bakteri peneybab meningitis adalah Streptococcus Group B. E. Coli, Staph. Aureus, Enterobacter dan pseudomonas. Pada anak-anak sering disebabkan oleh Haemophilus influenzae, N. Meningitidis dan S. pneumoniae. Pada dewasa muda (6-20 tahun) yaitu N. meningitidis. S. pneumonia dan H. influenzae. Sedangkan pada dewasa (>20 tahun) adalah S. pneumonia, N. Meningitidis, Sterptococcus dan Staphylococcus. (Japardi, 2002)
Patogenesis
Mekanisme dari invasi bakteri kedalam ruang subaracnoid masih belum diketahui. Salah satu faktor yang berperan mungkin adalah jumlah/konsentrasi bakteri dalam darah. Virulensi kuman mungkin merupakan faktor yang penting didalam invasi bakteri kedalam CNS. Pelepasan lipopolisakarida dari N. Meningitidis merupakan salah satu faktor yang menentukan patogenitas organisme ini. Setelah terjadi invasi kedalam ruang subarakhnoid, bakteriemia sekunder dapat terjadi sebagai akibat dari proses supurative lokal dalam CNS. (Japardi, 2002)
Manifestasi Klinik
Gejala dari meningococcal meningitis tidak berbeda dengan meningitis yang disebabkan oleh bakteri pyogenik lainnya. Gejala dapat berupa febris, nyeri kepala, kaku kuduk, mual, muntah, penurunan kesadaran sampai koma. Komplikasi dari CNS berupa transient palsy dari N.IV, VI, VII dan VIII. Biasanya didapatkan riwayat infeksi saluran nafas bagian atas dalam dua atau tiga hari sebelum onset penyakit, gejala dapat didahului oleh muntah dan diare. Exanthema, walaupun tidak selalu didapatkan, merupakan cardinal sign didalam membedakan etiologi antara meningococcus dengan yang lainnya. Lesi yang paling sering berupa petechial atau purpura, masimg-masing lesi berukuran antara 1 sampai 15 mm. Hal ini biasanya didahului oleh suatu makular rash, adpat pula timbul lesi makulopapular. Pada infeksi yang berat dapat berkembang menjadi suatu lesi ekimosis dan bila lesi sangat besar dan ulseratif, mungkin memerlukan suatu skin graft setelah infeksi teratasi. Pasien meningitis dengan DIC dan shock labih sering disertai dengan skin rash berupa purpura/ekimosis. Lesi kulit ini timbul 5-9 hari setelah onset infeksi berupa lingkaran berwarna gelap dengan bagian tepi yang lepuh/lecet sebesar 1-2 cm, dalam 24 jam terbentuk bulla yang steril yang akan menjadi ulcerasi dan akan sembuh dengan cepat. Pada pasien didapatkan satu atau lebij lesi yang sering terjadi pada daerah dorsum dari tangan, atau pada kaki dandaerah deltoid. Secara histologis lesi setril ini adalah suatu alergic vasculitis, yang menurut whittle dkk (1973) merupakan deposit kompleks antigen antibodi. Adanya suatu DIC harus dipertimbangkan bida terdapat ekimosis atau hemorrhagic bullae yang besar. (Japardi, 2002)
Meningococcmia kronis merupakan varian yang jarang berupa febris yang rekuren, rash, migratory arthralgia, myalgia dan toksisitas yang minimal. Rash biasanya berupa makulopapular terutama pada ekstremitas, tetapi dapat pula berbentuk nodular dan petekhial. Pada biopsi didapatkan lesi yang amat berbeda dari meningococcemia akut, berupa infiltrat mononuklear perivaskuler serta thrombosis vaskuler, nekrosis dan infiltrat granulosit. (Japardi, 2002)
Manifestasi cardial merupakan manifestasi klinis yang jarang ditemukan pada infeksi meningococcus, meningococcus kadang-kadang menyebabkan endokarditis, pericarditis baik serous atau purulen dapat timbul dengan atau tanpa gejala sistemik. Myocarditis didapatkan pada 78% dari kasus meningococcus yang fatal. Arthritis didapatkan hampir 10-20% pasien dengan infeksi meningococcus, biasanya timbul 1-10 hari setelah onset dari gejala bakteriemia dan berlangsung sekitar 1 minggu. (Japardi, 2002)
Pemeriksaan Penunjang
Gambaran laboratorium dari infeksi meningococcus adalah seperti umunya infeksi pyogenic berupa peningkatan jumlah leukosit sebesar 10.000 sampai 30.000/mm3dan eritrosit sedimentation. Pada urine dapat ditemukan albuminuria, casts dan sel darah merah. Pada kebanyakan kasus, meningococcus dapat dikultur dari nasofaring, dari darah ditemukan lebih dari 50% dari kasus pada stadium awal, serta dari lesi kulit dan CSF. CSF kultur menjadi steril pada 90-100% kasus yang diobati dengan antimikrobal terapi yang apropiate, meskipun tidak terdapat perubahan yang signifikan dari gambaran CSF. Pada pasien meningitis, pemeriksaan CSF ditemukan pleositosis dan purulen. Walaupun pada fase awal dapat predominan lymphocytic, dlam waktu yang singkat menjadi granulocytic. Jumlah sel bervariasi dari 100 sampai 40.000 sel/ul. Tekanan CSF meningkat biasanya antara 200 dan 500 mm H2O. protein sedikit meningkat dan kadar glukosa rendah biasanya dibawah 20 md/dl. Pemeriksaan gram stain dari CSF dan lesi petechial, menunjukkan diplococcus gram negatif. Diagnosa pasti didapatkan dari kultur CSF, cairan sendi, tenggorokan dan sputum. Kultur dapat positif pada 90% kasus yang tidak diobati. Counter Immuno elektrophoresis (CIE) dapat mendeteksi sirculating meningococcal antigen atau respon antibodi. Pada kasus dengan gambaran CSF yang khas tapi gram stain negatif, dapat dilakukan pemeriksaan latex aglutination test untuk antigen bakteri. Sensitivitas dari test ini sekitar 50-100% dengan spesifisitas yang tinggi. Bagaimanapun test yang negatif belum menyingkirkan diagnosa meningitis yang disebabkan oleh meningococcus. Polymerase chain reaction dapat digunakanuntuk pemeriksaan DNA dari pasien dengan meningitis meningococcus dengan sensitivitas dan spesifisitas. (Japardi, 2002)
Penatalaksanaan
Terapi antibiotik diberikan secepatnya setelah didapatkan hasil kultur. Pada orang dewasa, Benzyl penicillin G dengan dosis 1-2 juta unit diberikan secara intravena setiap 2 jam. Pada anak dengan berat badan 10-20 kg. Diberikan 8 juta unit/hari,anak dengan berat badan kurang dari 10 kg diberikan 4 juta unit/hari. Ampicillin dapat ditambahkan dengan dosis 300-400 mg/KgBB/hari untuk dewasa dan 100-200 mg/KgBB/ untuk anak-anak. Untuk pasien yang alergi terhadap penicillin, dapat dibrikan sampai 5 hari bebas panas. Terapi suportive seperti memelihara status hidrasi danoksigenasi harus diperhatikan untuk keberhasilan terapi. Untuk DIC, beberapa penulis merekomendasikan pemberian heparin 5000-10.000 unit diberikan dengan pemberian cepat secara intravena dan dipertahankan pada dosis yang cukup untuk memperpanjang clotting time danpartial thromboplastin time menjadi 2 atau 3 kali harga normal. Untuk mengontrol kejang diberikan anticonvulsan. Pada udem cerebri dapat diberikan osmotik diuretik atau corticosteroid, tetapi hanya bila didapatkan tanda awal dari impending herniasi. (Japardi, 2002)
READ MORE -
Meningitis
Meningitis pyogenic akut merupakan suatu respon inflamasi terhadap infeksi bakteria yang mengenai pria dan arakhnoid. Tiga organisme utama yang dapat menyebabkan meningitis pyogenic adalah Diplococcus pneumonia, Neisseria meningitis dan Haemophilus influenzae . Insiden dari type bakteri penyebab bervariasi menurut umur penderita. Pada Neonatal (0-2 bula) bakteri peneybab meningitis adalah Streptococcus Group B. E. Coli, Staph. Aureus, Enterobacter dan pseudomonas. Pada anak-anak sering disebabkan oleh Haemophilus influenzae, N. Meningitidis dan S. pneumoniae. Pada dewasa muda (6-20 tahun) yaitu N. meningitidis. S. pneumonia dan H. influenzae. Sedangkan pada dewasa (>20 tahun) adalah S. pneumonia, N. Meningitidis, Sterptococcus dan Staphylococcus. (Japardi, 2002)
Patogenesis
Mekanisme dari invasi bakteri kedalam ruang subaracnoid masih belum diketahui. Salah satu faktor yang berperan mungkin adalah jumlah/konsentrasi bakteri dalam darah. Virulensi kuman mungkin merupakan faktor yang penting didalam invasi bakteri kedalam CNS. Pelepasan lipopolisakarida dari N. Meningitidis merupakan salah satu faktor yang menentukan patogenitas organisme ini. Setelah terjadi invasi kedalam ruang subarakhnoid, bakteriemia sekunder dapat terjadi sebagai akibat dari proses supurative lokal dalam CNS. (Japardi, 2002)
Manifestasi Klinik
Gejala dari meningococcal meningitis tidak berbeda dengan meningitis yang disebabkan oleh bakteri pyogenik lainnya. Gejala dapat berupa febris, nyeri kepala, kaku kuduk, mual, muntah, penurunan kesadaran sampai koma. Komplikasi dari CNS berupa transient palsy dari N.IV, VI, VII dan VIII. Biasanya didapatkan riwayat infeksi saluran nafas bagian atas dalam dua atau tiga hari sebelum onset penyakit, gejala dapat didahului oleh muntah dan diare. Exanthema, walaupun tidak selalu didapatkan, merupakan cardinal sign didalam membedakan etiologi antara meningococcus dengan yang lainnya. Lesi yang paling sering berupa petechial atau purpura, masimg-masing lesi berukuran antara 1 sampai 15 mm. Hal ini biasanya didahului oleh suatu makular rash, adpat pula timbul lesi makulopapular. Pada infeksi yang berat dapat berkembang menjadi suatu lesi ekimosis dan bila lesi sangat besar dan ulseratif, mungkin memerlukan suatu skin graft setelah infeksi teratasi. Pasien meningitis dengan DIC dan shock labih sering disertai dengan skin rash berupa purpura/ekimosis. Lesi kulit ini timbul 5-9 hari setelah onset infeksi berupa lingkaran berwarna gelap dengan bagian tepi yang lepuh/lecet sebesar 1-2 cm, dalam 24 jam terbentuk bulla yang steril yang akan menjadi ulcerasi dan akan sembuh dengan cepat. Pada pasien didapatkan satu atau lebij lesi yang sering terjadi pada daerah dorsum dari tangan, atau pada kaki dandaerah deltoid. Secara histologis lesi setril ini adalah suatu alergic vasculitis, yang menurut whittle dkk (1973) merupakan deposit kompleks antigen antibodi. Adanya suatu DIC harus dipertimbangkan bida terdapat ekimosis atau hemorrhagic bullae yang besar. (Japardi, 2002)
Meningococcmia kronis merupakan varian yang jarang berupa febris yang rekuren, rash, migratory arthralgia, myalgia dan toksisitas yang minimal. Rash biasanya berupa makulopapular terutama pada ekstremitas, tetapi dapat pula berbentuk nodular dan petekhial. Pada biopsi didapatkan lesi yang amat berbeda dari meningococcemia akut, berupa infiltrat mononuklear perivaskuler serta thrombosis vaskuler, nekrosis dan infiltrat granulosit. (Japardi, 2002)
Manifestasi cardial merupakan manifestasi klinis yang jarang ditemukan pada infeksi meningococcus, meningococcus kadang-kadang menyebabkan endokarditis, pericarditis baik serous atau purulen dapat timbul dengan atau tanpa gejala sistemik. Myocarditis didapatkan pada 78% dari kasus meningococcus yang fatal. Arthritis didapatkan hampir 10-20% pasien dengan infeksi meningococcus, biasanya timbul 1-10 hari setelah onset dari gejala bakteriemia dan berlangsung sekitar 1 minggu. (Japardi, 2002)
Pemeriksaan Penunjang
Gambaran laboratorium dari infeksi meningococcus adalah seperti umunya infeksi pyogenic berupa peningkatan jumlah leukosit sebesar 10.000 sampai 30.000/mm3dan eritrosit sedimentation. Pada urine dapat ditemukan albuminuria, casts dan sel darah merah. Pada kebanyakan kasus, meningococcus dapat dikultur dari nasofaring, dari darah ditemukan lebih dari 50% dari kasus pada stadium awal, serta dari lesi kulit dan CSF. CSF kultur menjadi steril pada 90-100% kasus yang diobati dengan antimikrobal terapi yang apropiate, meskipun tidak terdapat perubahan yang signifikan dari gambaran CSF. Pada pasien meningitis, pemeriksaan CSF ditemukan pleositosis dan purulen. Walaupun pada fase awal dapat predominan lymphocytic, dlam waktu yang singkat menjadi granulocytic. Jumlah sel bervariasi dari 100 sampai 40.000 sel/ul. Tekanan CSF meningkat biasanya antara 200 dan 500 mm H2O. protein sedikit meningkat dan kadar glukosa rendah biasanya dibawah 20 md/dl. Pemeriksaan gram stain dari CSF dan lesi petechial, menunjukkan diplococcus gram negatif. Diagnosa pasti didapatkan dari kultur CSF, cairan sendi, tenggorokan dan sputum. Kultur dapat positif pada 90% kasus yang tidak diobati. Counter Immuno elektrophoresis (CIE) dapat mendeteksi sirculating meningococcal antigen atau respon antibodi. Pada kasus dengan gambaran CSF yang khas tapi gram stain negatif, dapat dilakukan pemeriksaan latex aglutination test untuk antigen bakteri. Sensitivitas dari test ini sekitar 50-100% dengan spesifisitas yang tinggi. Bagaimanapun test yang negatif belum menyingkirkan diagnosa meningitis yang disebabkan oleh meningococcus. Polymerase chain reaction dapat digunakanuntuk pemeriksaan DNA dari pasien dengan meningitis meningococcus dengan sensitivitas dan spesifisitas. (Japardi, 2002)
Penatalaksanaan
Terapi antibiotik diberikan secepatnya setelah didapatkan hasil kultur. Pada orang dewasa, Benzyl penicillin G dengan dosis 1-2 juta unit diberikan secara intravena setiap 2 jam. Pada anak dengan berat badan 10-20 kg. Diberikan 8 juta unit/hari,anak dengan berat badan kurang dari 10 kg diberikan 4 juta unit/hari. Ampicillin dapat ditambahkan dengan dosis 300-400 mg/KgBB/hari untuk dewasa dan 100-200 mg/KgBB/ untuk anak-anak. Untuk pasien yang alergi terhadap penicillin, dapat dibrikan sampai 5 hari bebas panas. Terapi suportive seperti memelihara status hidrasi danoksigenasi harus diperhatikan untuk keberhasilan terapi. Untuk DIC, beberapa penulis merekomendasikan pemberian heparin 5000-10.000 unit diberikan dengan pemberian cepat secara intravena dan dipertahankan pada dosis yang cukup untuk memperpanjang clotting time danpartial thromboplastin time menjadi 2 atau 3 kali harga normal. Untuk mengontrol kejang diberikan anticonvulsan. Pada udem cerebri dapat diberikan osmotik diuretik atau corticosteroid, tetapi hanya bila didapatkan tanda awal dari impending herniasi. (Japardi, 2002)
Diare Berlendir dan Berdarah
Seorang pria, petani, berusia 43 tahun, datang dengan keluhan sakit perut dan diare lendir, kadang berdarah, selama + 1 bulan. Pasien juga mengeluh cepat lelah setelah beraktivitas, sering berkunang-kunang dan dada berdebar-debar, serta kadang tubuh merasa gatal. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan tepi mulut pecah-pecah dan konjungtiva pucat. Nyeri tekan lepas daerah Mc Burney (-). Dari auskultasi, didapatkan takikardia, bising sistolik, dan ronki basah basal paru. Kondisi rumah pasien berlantai tanah, sumber air minum (sumur) berjarak 2 meter dari jumbleng atau sumuran terbuka (tempat BAB tradisional). Beberapa tetangganya juga memiliki keluhan yang sama (diare). Dari pemeriksaan laboratorium, didapatkan anemia berat dan eosinofilia. Pada pemeriksaan mikroskopis tinja, didapatkan telur cacing, protozoa, dan bakteri.
Diare dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti karena faktor makanan, faktor psikologis, dan juga dapat disebabkan oleh parasit. Anamnesis seharusnya menggali tentang segala informasi yang dapat menguatkan diagnosis kita. Pekerjaan pasien yang sebagai petani tentunya memberikan gambaran bagi kita, bisa saja pasien ini terinfeksi oleh parasit cacing. Karena kebanyakan cacing yang parasit habitatnya di tempat yang lembab seperti persawahan dan perkebunan. Seperti Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Taenia saginata, Taenia solium, Strongyolides stercoralis, dan berbagai macam protozoa dan bakteri.
Diare yang disertai lendir dan darah menandakan kalau di dalam saluran pencernaan, terutama di usus, terjadi suatu trauma atau semacamnya. Biasanya diare yang kronik dan disertai lendir darah disebabkan karena adanya suatu infeksi parasit pada saluran pencernaan penderita. Bisa disebabkan oleh golongan protozoa seperti Entamoeba histolytica, cacing seperti golongan cacing tambang dan Strongyloides.
Hasil dari pemeriksaan mikroskopis ternyata didapatkan telur cacing, protozoa, dan bakteri. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa diare berlendir dan kadang berdarah disebabkan karena ada infeksi parasit, kemungkinan cacing. Hipotesis sementara adalah cacing tambang karena kebanyakan kasus dengan diare berdarah diakibatkan oleh cacing ini. Pada infeksi cacing tambang, kehilangan darah yang terjadi adalah 0,03-0,05 ml darah/cacing/hari pada N. americanus dan 0,16-0,34 ml darah /cacing/hari pada A. duodenale. Anemia biasa terjadi 10-20 minggu setelah infeksi dan membutuhkan lebih dari 500 cacing untuk menimbulkan gejala anemia. (Pohan, 2007; Soedarmo dkk, 2002). Ada juga teori yang menyatakan bahwa anemia disebabkan bukan karena cacing itu sendiri, tetapi karena luka yang ditimbulkan oleh cacing tersebut ketika mengaitkan dirinya di mukosa usus.
Diare dengan disertai darah yang cukup banyak dapat mengakibatkan anemia berat pada penderita. Manifestasi dari anemia pun akan timbul, mulai dari cepat lelah ketika beraktivitas, sering berkunang-kunang, dan konjungtiva pucat.
Dari hasil pemeriksaan fisik pasien juga ditemukan ronki basah basal paru. Ronki adalah bunyi akibat turbulensi udara di sekitar mukus/debris daerah lain. Ronki tersebut bisa terjadi di alveolus yang mengindikasikan bahwa ada cairan dalam ruangan tersebut (Ronki basah basal paru). Apabila di apex terindikasi TBC, sedangkan bila di basal terindikasi bahwa terdapat akumulasi cairan dan sel-sel radang. Pemeriksaannya dengan cara pasien ekspirasi sampai pasien batuk setelah itu pasien inspirasi dan didengarkan oleh stetoskop. Ronki basal tersebut juga mengindikasikan bahwa terdapat potensi gagal jantung.
Pemeriksaan Mc Burney sign ditujukan untuk mengetahui apakah pasien menderita Appendiksitis yang bisa juga disebabkan oleh adanya Ascaris lumbricoides. Dari hasil pemeriksaan didapatkan Mc Burney sign negatif. Hal ini menunjukkan tidak ada infeksi Ascaris lumbricoides pada appendiks. Gatal yang terjadi pada pasien mungkin disebabkan oleh Ancylostoma duodenale. Cacing ini dapat merangsang reaksi alergi pada tubuh dengan menghasilkan antigen.
Pada kasus ini Ancylostoma, Ascaris, dan Strongyloides adalah kemungkinan terbesar agen infeksius karena jika dilihat pada kasus bahwa lingkungan tempat bapak tersebut tinggal adalah habitat yang cocok untuk ketiga cacing tersebut. Pada kasus juga terdapat bahwa terdapat tetangga yang mempunyai tanda dan gejala yang sama, hal ini berkaitan dengan penyebaran dari cacing tersebut yang melalui tanah dan feses yang terinfeksi oleh telur dari cacing tersebut Selain itu daur hidup dari Ancylostoma dan Ascaris serta Strongyloides yang pada saat larva dapat mengikuti aliran darah dan cairan limfe sehingga dapat meyebar ke bagian tubuh lain seperti paru-paru, jantung, atau bahkan otak. Penyebaran dalam tubuh manusia tersebut dapat bermanifestasi anemia, ronki basah basal paru, dan lain sebagainya.
Diagnosis pasti dari penyakit ini sebenarnya adalah mengecek morfologi dari parasit yang ditemukan dalam tinja. Hipotesis sementara bahwa pasien menderita necatoriasis/ankilostomiasis masih dapat dipertahankan.
Apabila diagnosis sudah dapat dipastikan dan ternyata memang benar disebabkan oleh cacing tambang, maka pengobatan yang dapat diberikan adalah Albendazole, Mebendazole, Tetrakloretilen (drug of choice), befanium hidroksinaftat, atau pirantel pamoat.
READ MORE -
Diare Berlendir dan Berdarah
Diare dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti karena faktor makanan, faktor psikologis, dan juga dapat disebabkan oleh parasit. Anamnesis seharusnya menggali tentang segala informasi yang dapat menguatkan diagnosis kita. Pekerjaan pasien yang sebagai petani tentunya memberikan gambaran bagi kita, bisa saja pasien ini terinfeksi oleh parasit cacing. Karena kebanyakan cacing yang parasit habitatnya di tempat yang lembab seperti persawahan dan perkebunan. Seperti Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Taenia saginata, Taenia solium, Strongyolides stercoralis, dan berbagai macam protozoa dan bakteri.
Diare yang disertai lendir dan darah menandakan kalau di dalam saluran pencernaan, terutama di usus, terjadi suatu trauma atau semacamnya. Biasanya diare yang kronik dan disertai lendir darah disebabkan karena adanya suatu infeksi parasit pada saluran pencernaan penderita. Bisa disebabkan oleh golongan protozoa seperti Entamoeba histolytica, cacing seperti golongan cacing tambang dan Strongyloides.
Hasil dari pemeriksaan mikroskopis ternyata didapatkan telur cacing, protozoa, dan bakteri. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa diare berlendir dan kadang berdarah disebabkan karena ada infeksi parasit, kemungkinan cacing. Hipotesis sementara adalah cacing tambang karena kebanyakan kasus dengan diare berdarah diakibatkan oleh cacing ini. Pada infeksi cacing tambang, kehilangan darah yang terjadi adalah 0,03-0,05 ml darah/cacing/hari pada N. americanus dan 0,16-0,34 ml darah /cacing/hari pada A. duodenale. Anemia biasa terjadi 10-20 minggu setelah infeksi dan membutuhkan lebih dari 500 cacing untuk menimbulkan gejala anemia. (Pohan, 2007; Soedarmo dkk, 2002). Ada juga teori yang menyatakan bahwa anemia disebabkan bukan karena cacing itu sendiri, tetapi karena luka yang ditimbulkan oleh cacing tersebut ketika mengaitkan dirinya di mukosa usus.
Diare dengan disertai darah yang cukup banyak dapat mengakibatkan anemia berat pada penderita. Manifestasi dari anemia pun akan timbul, mulai dari cepat lelah ketika beraktivitas, sering berkunang-kunang, dan konjungtiva pucat.
Dari hasil pemeriksaan fisik pasien juga ditemukan ronki basah basal paru. Ronki adalah bunyi akibat turbulensi udara di sekitar mukus/debris daerah lain. Ronki tersebut bisa terjadi di alveolus yang mengindikasikan bahwa ada cairan dalam ruangan tersebut (Ronki basah basal paru). Apabila di apex terindikasi TBC, sedangkan bila di basal terindikasi bahwa terdapat akumulasi cairan dan sel-sel radang. Pemeriksaannya dengan cara pasien ekspirasi sampai pasien batuk setelah itu pasien inspirasi dan didengarkan oleh stetoskop. Ronki basal tersebut juga mengindikasikan bahwa terdapat potensi gagal jantung.
Pemeriksaan Mc Burney sign ditujukan untuk mengetahui apakah pasien menderita Appendiksitis yang bisa juga disebabkan oleh adanya Ascaris lumbricoides. Dari hasil pemeriksaan didapatkan Mc Burney sign negatif. Hal ini menunjukkan tidak ada infeksi Ascaris lumbricoides pada appendiks. Gatal yang terjadi pada pasien mungkin disebabkan oleh Ancylostoma duodenale. Cacing ini dapat merangsang reaksi alergi pada tubuh dengan menghasilkan antigen.
Pada kasus ini Ancylostoma, Ascaris, dan Strongyloides adalah kemungkinan terbesar agen infeksius karena jika dilihat pada kasus bahwa lingkungan tempat bapak tersebut tinggal adalah habitat yang cocok untuk ketiga cacing tersebut. Pada kasus juga terdapat bahwa terdapat tetangga yang mempunyai tanda dan gejala yang sama, hal ini berkaitan dengan penyebaran dari cacing tersebut yang melalui tanah dan feses yang terinfeksi oleh telur dari cacing tersebut Selain itu daur hidup dari Ancylostoma dan Ascaris serta Strongyloides yang pada saat larva dapat mengikuti aliran darah dan cairan limfe sehingga dapat meyebar ke bagian tubuh lain seperti paru-paru, jantung, atau bahkan otak. Penyebaran dalam tubuh manusia tersebut dapat bermanifestasi anemia, ronki basah basal paru, dan lain sebagainya.
Diagnosis pasti dari penyakit ini sebenarnya adalah mengecek morfologi dari parasit yang ditemukan dalam tinja. Hipotesis sementara bahwa pasien menderita necatoriasis/ankilostomiasis masih dapat dipertahankan.
Apabila diagnosis sudah dapat dipastikan dan ternyata memang benar disebabkan oleh cacing tambang, maka pengobatan yang dapat diberikan adalah Albendazole, Mebendazole, Tetrakloretilen (drug of choice), befanium hidroksinaftat, atau pirantel pamoat.
Diare
Diare adalah buang air besar dengan tinja berbentuk cair atau setengah padat, kandungan air pada tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 gram atau 200ml/24 jam (Dorland, 2002). Definisi lain memakai frekuensi dalam mendefinisikan yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari dan buang air tersebut dapat/tanpa disertai lendir atau darah (Pohan, 2006).
READ MORE -
Diare
Pada umumnya, diare akut disebabkan oleh infeksi atau toksin bakteri. Etiologi dari diare akut antara lain virus, protozoa (Giardia lamblia, E. hystolitica), bakteri (S. aureus, C. perfringens, E. coli, V. cholera, C. difficile, Shigella, Salmonella sp, Yersinia), iskemia intestinal, inflammatory bowel disease, dan kolitis radiasi. Diare yang terjadi tanpa kerusakan mukosa usus (non-inflammatory) dan disebabkan oleh toksin bakteri (terutama E. coli) biasanya mempunyai gejala diare dengan feses benar-benar cair, tidak ada darah, nyeri perut terutama daerah umbilikus (karena kelainan terutama daerah usus halus), kembung, mual, dan muntah. Diare dalam bentuk bercampur darah, lendir, dan disertai demam biasanya disebabkan oleh kerusakan mukosa ususyang ditimbulkan oleh invasi Shigella, Salmonella, atau amebiasis. Daerah yang terkena adalah kolon. Umumnya, diare akut dapat sembuh sendiri dalam 5 hari dengan pengobatan sederhana yang disertai rehidrasi. (Djojoningrat, 2006)
Etiologi diare kronik dapat dikelompokkan dalam 6 kategori patogenesis terjadinya, yaitu diare osmotik (disebabkan oleh osmolalitas intralumen usus yang lebih tinggi dari dalam serum), diare sekretorik (disebabkan oleh sekresi intestinal yang berlebihan dan berkurangnya absorbsi yang menyebabkan diare yang cair dan banyak), diare karena gangguan motilitas (disebabkan oleh transit usus yang cepat atau justru karena terjadinya stasis yang menimbulkan perkembangan bakteri intralumen yang berlebihan), diare inflamatorik (disebabkan oleh faktor inflamasi seperti inflammatory bowel disease), malabsorbsi, dan infeksi kronik (oleh G. lamblia, E. hystolitica, nematoda usus, atau pada keadaan immunocompromized). Diare osmotik terjadi pada intoleransi laktosa, obat laksatif (laktulosa, magnesium sulfat), dan obat (antasid). Diare sekretorik pada umumnya disebabkan oleh tumor endokrin, malabsorbsi garam empedu, dan laksatif katartik. Malabsorbsi dapat terjadi akibat penyakit usus halus, reseksi sebagian usus, obstruksi limfatik, defisiensi enzim pankreas, dan pertumbuhan bakteri yang berlebihan (Djojoningrat, 2006).
Etiologi diare kronik dapat dikelompokkan dalam 6 kategori patogenesis terjadinya, yaitu diare osmotik (disebabkan oleh osmolalitas intralumen usus yang lebih tinggi dari dalam serum), diare sekretorik (disebabkan oleh sekresi intestinal yang berlebihan dan berkurangnya absorbsi yang menyebabkan diare yang cair dan banyak), diare karena gangguan motilitas (disebabkan oleh transit usus yang cepat atau justru karena terjadinya stasis yang menimbulkan perkembangan bakteri intralumen yang berlebihan), diare inflamatorik (disebabkan oleh faktor inflamasi seperti inflammatory bowel disease), malabsorbsi, dan infeksi kronik (oleh G. lamblia, E. hystolitica, nematoda usus, atau pada keadaan immunocompromized). Diare osmotik terjadi pada intoleransi laktosa, obat laksatif (laktulosa, magnesium sulfat), dan obat (antasid). Diare sekretorik pada umumnya disebabkan oleh tumor endokrin, malabsorbsi garam empedu, dan laksatif katartik. Malabsorbsi dapat terjadi akibat penyakit usus halus, reseksi sebagian usus, obstruksi limfatik, defisiensi enzim pankreas, dan pertumbuhan bakteri yang berlebihan (Djojoningrat, 2006).
Miastenia Gravis
Definisi
Miastenia gravis adalah gangguan fungsi neuromuskular yang diduga disebabkan oleh adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin pada persambungan neuromuskular; ciri-cirinya meliputi kelelahan dan kehabisan tenaga pada system muskular dengan kecenderungan berfluktuasi dalam keparahan, tanpa gangguan sensorik atau atrofi (Dorland, 2006).
Klasifikasi miastenia gravis
Dapat dibagi menjadi 5:
1. Kelompok I: Miastenia okular
Hanya menyerang otot-otot okular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak ada kasus kematian.
2. Kelompok IIA: Miastenia umum ringan
Awitan lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. System pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik. Angka kematian rendah.
3. Kelompok IIB: Miastenia umum sedang
Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala okular, lalu berlanjut semakin berat dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar. Disartria, disfagia dan sukar mengunyah lebih nyata dibanding miastenia gravis umum ringan. Otot-otot pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan, aktivitas pasien terbatas, angka kematian rendah.
4. Kelompok III: Miastenia berat akut
Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot pernapasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Respon terhadap obat buruk. Insiden krisis miastenik, kolinergik maupun krisis ganbungan keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi.
5. Kelompok IV: Miastenia berat lanjut
Timbul paling sedikit dua tahun sesudah awitan gejala-gejala kelompok I atau II. Miastenia gravis berkembang secara perlahan-lahan atau secara tiba-tiba. Respon terhadap obat dan prognosis buruk.
Tanda Khas Miastenia Gravis
• Kelemahan otot voluntar berfluktuasi, terutama otot wajah dan otot ekstraokular
• Kelemahan otot meningkat dengan aktivitas
• Kekuatan otot meningkat setelah istirahat
• Kekuatan otot meningkat sebagai respon terhadap pengobatan (antiasetil-kolinesterase) (Kumar, 2006).
Diagnosis Miastenia Gravis
• Anamnesis
• Pemeriksaan fisik: meliputi pemeriksaan muscle test
Muscle Grading Chart
Musle Gradation Description
5-normal ROM lengkap melawan gravitasi dengan tahanan penuh
4-baik ROM lengkap melawan gravitasi dengan tahanan sedang
3-sedang ROM penuh melawan gravitasi
2-lemah ROM penuh, dieliminir oleh gravitasi
1-batas Kontraksi ringan, tanpa gerak sendi
0-nol Tanpa kontraksi
(Rachmah, 2008).
• Pemeriksaan penunjang:
- Tes antikolinesterase: digunakan edrofonium (tensilon), suatu antikolinesterase kerja pendek, yang diberikan intravena dalam beberapa detik dan efeknya akan berakhir dalam beberapa menit.
- Elektromiografi: akan tampak gambaran frekuensi yang rendah (2-4 Hz); stimulasi berulang akan menghasilkan penurunan amplitudo dari evoked motot responses.
- Antibodi AChR: hasil positif bersifat diagnostik; walaupun demikian hasil positif tidak berkolerasi dengan derajat penyakit.
- CT-scan atau MRI: untuk melihat adanya timoma (Setiohadi, 2006).
Penatalakasanaan
1. Terapi medikamentosa
• Terapi antikolinesterase
Neostigmin bekerja dengan cara memperpanjang kerja dari asetilkolin, yang merupakan senyawa alami di dalam tubuh. Neostigmin menghambat aksi dari enzim asetilkolinesterase. Neostigmin menyebabkan perlambatan detak jantung, oleh karena itu sering dikombinasi dengan obat parasimpatolitik seperti atropine atau glycopyrrolate.
Pyridostigmin adalah parasimpatomimetik dan merupakan penghambat reversible kolinesterase. Dengan bentuk kuartener amin, pyridostigmin kurang diserap oleh usus dan tidak dapat melewati sawar darah otak. Pyridostigmin digunakan untuk mengobati otot yang lemah pada penderita miastenia gravis dan menghilangkan keracunan karena obat jenis kurare.
• Imunosupresi:
Terapi steroid glukokortikoid, jika digunakan secara tepat, menyebabkan perbaikan pada kelemahan miastenik pada sebagian besar pasien. Pasien dengan terapi glukokortikoid jangka panjang harus diikuti dengan hati-hati untuk mencegah atau mengobati efek samping yang buruk.
Obat imunosupresif lain azatioprin, siklosporin atau kadang-kadang siklofosfamid efektif pada banyak pasien, baik sendiri atau kombinasi dengan terapi glukokortikoid.
• Plasmaferesis: plasma yang mengandung antibody yang patogenik, dipisahkan secara mekanis dari sel darah, yang dikembalikan kepada pasien dalam suatu medium yang cocok. Plasmaferesis menyebabkan pengurangan jangka pendek dalam antibodi AChR, dengan perbaikan klinis pada banyak pasien.
2. Pembedahan
Timektomi: operasi ini menawarkan kemungkinan manfaat jangka panjang. Pada beberapa kasus mengurangi atau menghentikan kebutuhan akan terapi medis yang berkelanjutan. (Drachman, 2007)
READ MORE -
Miastenia Gravis
Miastenia gravis adalah gangguan fungsi neuromuskular yang diduga disebabkan oleh adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin pada persambungan neuromuskular; ciri-cirinya meliputi kelelahan dan kehabisan tenaga pada system muskular dengan kecenderungan berfluktuasi dalam keparahan, tanpa gangguan sensorik atau atrofi (Dorland, 2006).
Klasifikasi miastenia gravis
Dapat dibagi menjadi 5:
1. Kelompok I: Miastenia okular
Hanya menyerang otot-otot okular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak ada kasus kematian.
2. Kelompok IIA: Miastenia umum ringan
Awitan lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. System pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik. Angka kematian rendah.
3. Kelompok IIB: Miastenia umum sedang
Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala okular, lalu berlanjut semakin berat dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar. Disartria, disfagia dan sukar mengunyah lebih nyata dibanding miastenia gravis umum ringan. Otot-otot pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan, aktivitas pasien terbatas, angka kematian rendah.
4. Kelompok III: Miastenia berat akut
Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot pernapasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Respon terhadap obat buruk. Insiden krisis miastenik, kolinergik maupun krisis ganbungan keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi.
5. Kelompok IV: Miastenia berat lanjut
Timbul paling sedikit dua tahun sesudah awitan gejala-gejala kelompok I atau II. Miastenia gravis berkembang secara perlahan-lahan atau secara tiba-tiba. Respon terhadap obat dan prognosis buruk.
Tanda Khas Miastenia Gravis
• Kelemahan otot voluntar berfluktuasi, terutama otot wajah dan otot ekstraokular
• Kelemahan otot meningkat dengan aktivitas
• Kekuatan otot meningkat setelah istirahat
• Kekuatan otot meningkat sebagai respon terhadap pengobatan (antiasetil-kolinesterase) (Kumar, 2006).
Diagnosis Miastenia Gravis
• Anamnesis
• Pemeriksaan fisik: meliputi pemeriksaan muscle test
Muscle Grading Chart
Musle Gradation Description
5-normal ROM lengkap melawan gravitasi dengan tahanan penuh
4-baik ROM lengkap melawan gravitasi dengan tahanan sedang
3-sedang ROM penuh melawan gravitasi
2-lemah ROM penuh, dieliminir oleh gravitasi
1-batas Kontraksi ringan, tanpa gerak sendi
0-nol Tanpa kontraksi
(Rachmah, 2008).
• Pemeriksaan penunjang:
- Tes antikolinesterase: digunakan edrofonium (tensilon), suatu antikolinesterase kerja pendek, yang diberikan intravena dalam beberapa detik dan efeknya akan berakhir dalam beberapa menit.
- Elektromiografi: akan tampak gambaran frekuensi yang rendah (2-4 Hz); stimulasi berulang akan menghasilkan penurunan amplitudo dari evoked motot responses.
- Antibodi AChR: hasil positif bersifat diagnostik; walaupun demikian hasil positif tidak berkolerasi dengan derajat penyakit.
- CT-scan atau MRI: untuk melihat adanya timoma (Setiohadi, 2006).
Penatalakasanaan
1. Terapi medikamentosa
• Terapi antikolinesterase
Neostigmin bekerja dengan cara memperpanjang kerja dari asetilkolin, yang merupakan senyawa alami di dalam tubuh. Neostigmin menghambat aksi dari enzim asetilkolinesterase. Neostigmin menyebabkan perlambatan detak jantung, oleh karena itu sering dikombinasi dengan obat parasimpatolitik seperti atropine atau glycopyrrolate.
Pyridostigmin adalah parasimpatomimetik dan merupakan penghambat reversible kolinesterase. Dengan bentuk kuartener amin, pyridostigmin kurang diserap oleh usus dan tidak dapat melewati sawar darah otak. Pyridostigmin digunakan untuk mengobati otot yang lemah pada penderita miastenia gravis dan menghilangkan keracunan karena obat jenis kurare.
• Imunosupresi:
Terapi steroid glukokortikoid, jika digunakan secara tepat, menyebabkan perbaikan pada kelemahan miastenik pada sebagian besar pasien. Pasien dengan terapi glukokortikoid jangka panjang harus diikuti dengan hati-hati untuk mencegah atau mengobati efek samping yang buruk.
Obat imunosupresif lain azatioprin, siklosporin atau kadang-kadang siklofosfamid efektif pada banyak pasien, baik sendiri atau kombinasi dengan terapi glukokortikoid.
• Plasmaferesis: plasma yang mengandung antibody yang patogenik, dipisahkan secara mekanis dari sel darah, yang dikembalikan kepada pasien dalam suatu medium yang cocok. Plasmaferesis menyebabkan pengurangan jangka pendek dalam antibodi AChR, dengan perbaikan klinis pada banyak pasien.
2. Pembedahan
Timektomi: operasi ini menawarkan kemungkinan manfaat jangka panjang. Pada beberapa kasus mengurangi atau menghentikan kebutuhan akan terapi medis yang berkelanjutan. (Drachman, 2007)
Langganan:
Postingan (Atom)