Jumat, 05 Desember 2008

Meningitis

Etiologi
Meningitis pyogenic akut merupakan suatu respon inflamasi terhadap infeksi bakteria yang mengenai pria dan arakhnoid. Tiga organisme utama yang dapat menyebabkan meningitis pyogenic adalah Diplococcus pneumonia, Neisseria meningitis dan Haemophilus influenzae . Insiden dari type bakteri penyebab bervariasi menurut umur penderita. Pada Neonatal (0-2 bula) bakteri peneybab meningitis adalah Streptococcus Group B. E. Coli, Staph. Aureus, Enterobacter dan pseudomonas. Pada anak-anak sering disebabkan oleh Haemophilus influenzae, N. Meningitidis dan S. pneumoniae. Pada dewasa muda (6-20 tahun) yaitu N. meningitidis. S. pneumonia dan H. influenzae. Sedangkan pada dewasa (>20 tahun) adalah S. pneumonia, N. Meningitidis, Sterptococcus dan Staphylococcus. (Japardi, 2002)

Patogenesis
Mekanisme dari invasi bakteri kedalam ruang subaracnoid masih belum diketahui. Salah satu faktor yang berperan mungkin adalah jumlah/konsentrasi bakteri dalam darah. Virulensi kuman mungkin merupakan faktor yang penting didalam invasi bakteri kedalam CNS. Pelepasan lipopolisakarida dari N. Meningitidis merupakan salah satu faktor yang menentukan patogenitas organisme ini. Setelah terjadi invasi kedalam ruang subarakhnoid, bakteriemia sekunder dapat terjadi sebagai akibat dari proses supurative lokal dalam CNS. (Japardi, 2002)

Manifestasi Klinik
Gejala dari meningococcal meningitis tidak berbeda dengan meningitis yang disebabkan oleh bakteri pyogenik lainnya. Gejala dapat berupa febris, nyeri kepala, kaku kuduk, mual, muntah, penurunan kesadaran sampai koma. Komplikasi dari CNS berupa transient palsy dari N.IV, VI, VII dan VIII. Biasanya didapatkan riwayat infeksi saluran nafas bagian atas dalam dua atau tiga hari sebelum onset penyakit, gejala dapat didahului oleh muntah dan diare. Exanthema, walaupun tidak selalu didapatkan, merupakan cardinal sign didalam membedakan etiologi antara meningococcus dengan yang lainnya. Lesi yang paling sering berupa petechial atau purpura, masimg-masing lesi berukuran antara 1 sampai 15 mm. Hal ini biasanya didahului oleh suatu makular rash, adpat pula timbul lesi makulopapular. Pada infeksi yang berat dapat berkembang menjadi suatu lesi ekimosis dan bila lesi sangat besar dan ulseratif, mungkin memerlukan suatu skin graft setelah infeksi teratasi. Pasien meningitis dengan DIC dan shock labih sering disertai dengan skin rash berupa purpura/ekimosis. Lesi kulit ini timbul 5-9 hari setelah onset infeksi berupa lingkaran berwarna gelap dengan bagian tepi yang lepuh/lecet sebesar 1-2 cm, dalam 24 jam terbentuk bulla yang steril yang akan menjadi ulcerasi dan akan sembuh dengan cepat. Pada pasien didapatkan satu atau lebij lesi yang sering terjadi pada daerah dorsum dari tangan, atau pada kaki dandaerah deltoid. Secara histologis lesi setril ini adalah suatu alergic vasculitis, yang menurut whittle dkk (1973) merupakan deposit kompleks antigen antibodi. Adanya suatu DIC harus dipertimbangkan bida terdapat ekimosis atau hemorrhagic bullae yang besar. (Japardi, 2002)
Meningococcmia kronis merupakan varian yang jarang berupa febris yang rekuren, rash, migratory arthralgia, myalgia dan toksisitas yang minimal. Rash biasanya berupa makulopapular terutama pada ekstremitas, tetapi dapat pula berbentuk nodular dan petekhial. Pada biopsi didapatkan lesi yang amat berbeda dari meningococcemia akut, berupa infiltrat mononuklear perivaskuler serta thrombosis vaskuler, nekrosis dan infiltrat granulosit. (Japardi, 2002)
Manifestasi cardial merupakan manifestasi klinis yang jarang ditemukan pada infeksi meningococcus, meningococcus kadang-kadang menyebabkan endokarditis, pericarditis baik serous atau purulen dapat timbul dengan atau tanpa gejala sistemik. Myocarditis didapatkan pada 78% dari kasus meningococcus yang fatal. Arthritis didapatkan hampir 10-20% pasien dengan infeksi meningococcus, biasanya timbul 1-10 hari setelah onset dari gejala bakteriemia dan berlangsung sekitar 1 minggu. (Japardi, 2002)

Pemeriksaan Penunjang
Gambaran laboratorium dari infeksi meningococcus adalah seperti umunya infeksi pyogenic berupa peningkatan jumlah leukosit sebesar 10.000 sampai 30.000/mm3dan eritrosit sedimentation. Pada urine dapat ditemukan albuminuria, casts dan sel darah merah. Pada kebanyakan kasus, meningococcus dapat dikultur dari nasofaring, dari darah ditemukan lebih dari 50% dari kasus pada stadium awal, serta dari lesi kulit dan CSF. CSF kultur menjadi steril pada 90-100% kasus yang diobati dengan antimikrobal terapi yang apropiate, meskipun tidak terdapat perubahan yang signifikan dari gambaran CSF. Pada pasien meningitis, pemeriksaan CSF ditemukan pleositosis dan purulen. Walaupun pada fase awal dapat predominan lymphocytic, dlam waktu yang singkat menjadi granulocytic. Jumlah sel bervariasi dari 100 sampai 40.000 sel/ul. Tekanan CSF meningkat biasanya antara 200 dan 500 mm H2O. protein sedikit meningkat dan kadar glukosa rendah biasanya dibawah 20 md/dl. Pemeriksaan gram stain dari CSF dan lesi petechial, menunjukkan diplococcus gram negatif. Diagnosa pasti didapatkan dari kultur CSF, cairan sendi, tenggorokan dan sputum. Kultur dapat positif pada 90% kasus yang tidak diobati. Counter Immuno elektrophoresis (CIE) dapat mendeteksi sirculating meningococcal antigen atau respon antibodi. Pada kasus dengan gambaran CSF yang khas tapi gram stain negatif, dapat dilakukan pemeriksaan latex aglutination test untuk antigen bakteri. Sensitivitas dari test ini sekitar 50-100% dengan spesifisitas yang tinggi. Bagaimanapun test yang negatif belum menyingkirkan diagnosa meningitis yang disebabkan oleh meningococcus. Polymerase chain reaction dapat digunakanuntuk pemeriksaan DNA dari pasien dengan meningitis meningococcus dengan sensitivitas dan spesifisitas. (Japardi, 2002)

Penatalaksanaan
Terapi antibiotik diberikan secepatnya setelah didapatkan hasil kultur. Pada orang dewasa, Benzyl penicillin G dengan dosis 1-2 juta unit diberikan secara intravena setiap 2 jam. Pada anak dengan berat badan 10-20 kg. Diberikan 8 juta unit/hari,anak dengan berat badan kurang dari 10 kg diberikan 4 juta unit/hari. Ampicillin dapat ditambahkan dengan dosis 300-400 mg/KgBB/hari untuk dewasa dan 100-200 mg/KgBB/ untuk anak-anak. Untuk pasien yang alergi terhadap penicillin, dapat dibrikan sampai 5 hari bebas panas. Terapi suportive seperti memelihara status hidrasi danoksigenasi harus diperhatikan untuk keberhasilan terapi. Untuk DIC, beberapa penulis merekomendasikan pemberian heparin 5000-10.000 unit diberikan dengan pemberian cepat secara intravena dan dipertahankan pada dosis yang cukup untuk memperpanjang clotting time danpartial thromboplastin time menjadi 2 atau 3 kali harga normal. Untuk mengontrol kejang diberikan anticonvulsan. Pada udem cerebri dapat diberikan osmotik diuretik atau corticosteroid, tetapi hanya bila didapatkan tanda awal dari impending herniasi. (Japardi, 2002)


0 comments: