Jumat, 27 Juni 2008

Tetanus

Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif berbentuk batang, Clostridium tetani. Bakteri ini menghasilkan toksin tetanospamin dan tetanolisin. Tetanolisin merusak jaringan yang masih hidup dan mengoptimalkan kondisi untuk multiplikasi bakteri dan tetanospamin yang menghasilkan sindrom tetanus. Toksin dalam jumlah sangat kecil bisa mematikan bagi manusia. Bakteri ini memiliki banyak tipe yang dibedakan oleh antigen flagel. Bakteri ini tidak bersifat invasif. Bakteri ini menghasilkan spora. Spora yang dihasilkan tidak berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket tenis atau paha ayam. Spora dapat bertahan bertshun-tahun pada lingkungan tertentu, tahan sinar matahari, resisten terhadap berbagai macam desinfektan serta pendidihan selama 20 menit. (Rahim, 1994; Brooks, 2005; Ismanoe, 2007)

Patogenesis
Tetanospamin berikatan dengan reseptor di membran prasinaps pada motor neuron. Kemudian bergerak ke hulu melalui sistem transpor aksonal retrograd menuju cell bodies neuron-neuron tersebut hingga medula spinalis dan batang otak.Toksin berdifusi ke terminal dari sel inhibitor, termasuk interneuron glisinergik dan neuron yang mensekresi asam aminobutirat dari batang otak. Toksin menurunkan sinaptobrevin, yaitu protein yang berperan mengikat vesikel neurotansmiter pada membran parasinaps. Pengeluaran glisin inhibitor dan asam aminobutirat gama diblok dan motor neuron tidak dihambat. Hiperrefleksia, spasmeotot dan paralisis spastik terjadi. (Brooks, 2005)

Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik yang muncul dapat diklasifikasi beratnya menurut Abblet menjadi :
1. Derajat I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.
2. Derajat II (sedang)
Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme singkat ringan sampai sedang, gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan lebih dari 30, disfagia ringan.
3. Derajat III (berat)
Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme refleks berkepanjangan, frekuensi pernafasan lebih dari 40, serangan apneua, disfagia berat, dan takikardi >120.
4. Derajat IV (sangat berat)
Derajat tiga dengan gangguan otonomik berat menggunakan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia terjadi berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap.
(Ismanoe, 2007)

Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis tetanus mutlak didasarkan gejala klinis. Tetanus tidaklah mungkin apabila terdapat riwayat serial vaksinasi yang telah diberikan secara lengkap dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan. Sekret luka hendaknya dikultur pada kasus yang dicurigai tetanus. Jumlah leukosit kemungkinan meningkat. (Ismanoe, 2007)

Penatalaksanaan
Strategi terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan: organisme yang terdapat dalam tubuh hendaknya dihancurkan untuk mencegah pelepasan toksin lebih lanjut; toksin yang terdapat dalam tubuh, di luar sistem saraf pusat hendaknya dinetralisasi; dan efek dari toksin yang telah terikat pada sistem saraf pusat diminimasi. (Ismanoe, 2007)


READ MORE - Tetanus

Pneumonia

Etiologi
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup broniolus respiratorius, dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Pneumonia dibagi menjadi Pneumonia Nosokomila (PN), yaitu pneumonia yang terjadi di rumah sakit dan Pneumonia Komunitas (PK). Pada PK biasanya yang menginefeksi adalah Str. pneumoniae, M. pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, H. influenzae, S. aureus, Ps. aeruginosa, Branhamella catarrhalis, dll. Pada PN yang sering menjadi patogen adalah S. aureus, Ps. aeruginosa, dan Acinobacter spp. (Nrooks, 2005; Dahlan, 2007)
Pada kesempatan kali ini penulis akan menitikberatkan mengenai Branhamella catarrhalis yang sekarang bernama Moraxella catarrhalis yang sebelumnya bernama Neisseria catarrhalis. M. catarrhalis adalah bakteri gram negatif yang berbentuk coccus, termasuk dalam famili Neisseriaceae. Bakteri ini bersifat nonmotil, tidak meragikan, dan oksidase positif. Bakteri ini merupakan flora normal pada anak-anak usia sekolah, tapi akibat adanya perubahan seperti gangguan kekebalan dan penyakit kronik, polusi lingkungan, dan penggunaan antibiotik yang tidak tepat sehingga terjadi perubahan karakteristik kuman. (Brooks, 2005; Dahlan, 2007)

Patogenesis
Patogenesis peumonia terjadi akibat proses infeksi bila patogen yang masuk saluran nafas bagian bawah tersebut mengalami kolonisasi setelah dapat melewati hambatan mekanisme inang berupa daya tahan mekanik (epitel cilia dan mukus), humoral (antibodi dan komplemen), dan selular. Kolonisasi terjadi akibat adanya berbagai faktor inang dan terapi yang telah dilakukan yaitu adanya penyakit penyerta yang berat, tindakan bedah, pemberian antibiotik, obat-obatan lain dan tindakan invasif pada saluran pernafasan. Mekanisme lain adalah pasasi bakteri pencernaan ke paru, penyebaran hematogen, dan akibat intubasi. (Dahlan, 2007)




Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik yang dapat muncul batuk kering, kesulitan bernafas, dan gangguan lain (seperti nyeri kepala, mialgia, rasa lelah, tenggorokan kering, nausea, vomitus, dan diare). Terkadang muncul demam disertai menggigil. (Braundwald, 2001)

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan radiologis, pemeriksaan laboratorium hitung leukosit karena pneumonia erat kaitannya dengan sistem imun, pemeriksaan bakteriologis yaitu kultur kuman dan pewarnaan, serta pemeriksaan khusus berupa titer antibodi dan analisis gas darah untuk menentukan tingkat hipoksia dan kebutuhan oksigen. (Dahlan, 2007)

Penatalaksanaan
Pada prinsipnya terapi untama pneumonia adalah pemberian antibiotik (AB) tertentu terhadap kuman tertentu pada sesuatu tipe dari ISNBA (Infeksi Saluran Nafas Bawah Akut) baik pneumonia ataupun bentuk lain, dan AB ini dimaksudkan sebagai terapi kausal terhadap kuman penyebab termaksud. (Dahlan, 2007 )


READ MORE - Pneumonia

Mata Kuning

Pada skenario kali ini disebutkan seorang penderita (20 tahun) dengan keluhan utama mata berwarna kuning sejak satu minggu. Pada anamnesis diketahui keluhan ini disertai febris sejak 10 hari, tidak sampai menggigil, nausea dan vomitus, teman kosnya juga menderita keluhan yang sama. Penderita sering makan di warung dekat kosnya. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan sklera ikterik, hepatomegali, nyeri tekan regio hipokondria kanan, murphy sign (-). Hasil pemeriksaan lab didapatkan leukopenia, hiperbilirubinemia, peningkatan enzim hepar, HbsAg (-), Anti HAV (+), darah tebal tipis malaria (-), serologi untuk Salmonella thypii, Leptospirosis, dan Dengue Hemoragic Fever (-).

Dari hasil anamnesis pasien diagnosis dapat menjurus ke beberapa penyakit seperti: hepatitis A, hepatitis B, malaria, DHF, leoptospirosis, dan demam tifoid.. Selanjutnya hasil pemeriksaan fisik pasien didapatkan sklera ikterik, hepatomegali, nyeri tekan regio hipokondria kanan. Hal ini menunjukkan adanya gangguan pada hepar pasien tapi belum dapat membantu untuk menegakkan diagnosis. Kemudian dari hasil pemeriksaan lab didapatkan leukopenia, hiperbilirubinemia, peningkatan enzim hepar, HbsAg (-), Anti HAV (+), darah tebal tipis malaria (-), serologi untuk Salmonella thypii, Leptospirosis, dan Dengue Hemoragic Fever (-). Dari hasil itu penulis dapat mendiagnosis pasien menderita Hepatitis A.
Hepatitis A disebabkan oleh virus HAV (Hepatitis A Virus). Virus ini adalah anggota terpisah dari famili picornavirus. HAV merupakan partikel bulat 27-32 nm dengan simetri kubus, mengandung genom RNA untai tunggal yang lurus beryukuran 7,5 kb. HAV memiliki sifat stabil pada pemberian ether 20%, asam (pH 1,0 selama 2 jam), dan panas (60ºC selama 1 jam). Virus dapat dihancurkan dengan merebus dalam air selama 5 menit, dengan pemanasan kering (180ºC selama 1 jam), radiasi ultraviolet, formalin, dan klorin. Memanaskan makanan pada suhu > 85ºC selama 1 menit sangat penting untuk inaktivasi HAV. Adanya virus ini menunjukkan ketidakhigienisan dari suatu tempat. Hal ini mendukung pernyataan pasien bahwa ia dan temannya sering makan di warung. Dapat disimpulkan warung tersebut kurang higienis.
Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya, suatu infeksi dapat mengakibatkan reaksi peradangan yang dapat menaikkan suhu tubuh seperti gejala febris yang dikeluhkan pada kasus ini. Sklera ikterik timbul akibat terjadinya hiperbilirubinemia yang terjadi akibat adanya kerusakan pada hati, sehingga hati tidak dapat mengekskresikan bilirubin secara normal. Nausea dan vomitus disebabkan karena adanya rangsangan pada hepar. Seperti telah diketahui bahwa bila dinding sel hepar terangsang oleh adanya toksik, maka nervus vagus akan terangsang dan menghasilkan neurotransmitter seperti serotonin. Serotonin inilah yang dapat merangsang pusat vomit, lalu pusat vomit akan merangsang otot-otot lambung sehingga terjadilah vomitus.
Adanya hiperbilirubinemia dan peningkatan enzim hepar mengindikasikan kerusakan hepar. Hal ini terjadi diakibatkan karena adanya reaksi imun dari tubuh terhadap virus yang dipacu oleh replikasi virus di hati. Replikasi virus hepatitis A termasuk ke dalam jalur lisis. Pertama-tama virus akan menempel di reseptor permukaan sitoplasma, RNA virus masuk, pada saat yang sama kapsid yang tertinggal di luar sel akan hilang, di dalam sel RNA virus akan melakukan translasi, hasil dari translasi terbagi dua yaitu kapsid baru dan protein prekusor untuk replikasi DNA inang, DNA sel inang yang sudah dilekati oleh protein prekusor virus melakukan replikasi membentuk DNA sesuai dengan keinginan virus, DNA virus baru terbentuk, kapsid yang sudah terbentuk dirakit dengan DNA virus menjadi sebuah virion baru, virus baru yang sudah matang keluar dan mengakibatkan sel lisis oleh sel-sel fagosit. Lisis menyebar sampai bagian hati yang disebut saluran bilier dan mengakibatkan hiperbilirubin dan peningkatan enzim hepar. Hepatomegali juga merupakan sebuah respon tubuh terhadap HAV. Lisisnya jaringan hati memicu hati untuk berproliferasi sehingga terkadang kecepatan lisis lebih lambat daripada kecepatan proliferasi sehingga menimbulkan pembengkakan hati.
Penulis telah dapat mendiagnosis penyakit yang diderita. Langkah selanjutnya penatalaksanaan. Jika pasien mengalami dehidrasi berat dapat dirujuk untuk rawat inap. Tidak ada terapi medicamentosa untuk hepatitis A karena pasien bisa sembuh sendiri. Pemeriksaan bilirubin pada minggu kedua dan ketiga untuk pemantauan. Pembatasan aktivitas fisik juga diperlukan agar tidak membebani hati. Terkahir adalah melakukan diet mengandung zat hepatotoksin. Prognosis untuk hepatitis A pada anak-anak adalah baik tapi bila terjadi pada orang dewasa bisa lebih buruk, namun tetap baik. Hepatitis A dapat dicegah dengan melakukan imunisasi hepatitis A.


READ MORE - Mata Kuning

Hepatitis B

Etiologi
Hepatitis B adalah virus yang menyerang hati, masuk melalui darah ataupun cairan tubuh dari seseorang yang terinfeksi seperti halnya virus HIV. Hepatitis B hampir 100 kali lebih infeksius dibandingkan dengan virus HIV. Virus ini tersebar luas di seluruh dunia dengan angka kejadian yang berbeda-beda. Angka kejadian di Indonesia mencapai 4%-30% pada orang normal, sedangkan pada penyakit hati menahun dapat ditemukan angka kejadian 20%-40%. Apabila seseorang terinfeksi dengan virus ini maka gejalanya dapat sangat ringan sampai berat sekali. Pada orang dewasa dengan infeksi akut biasanya jelas dan akan sembuh sempurna pada sebagian besar (90%) pasien. Akan tetapi pada anak-anak terutama balita, sebagian besar dari mereka penyakitnya akan berlanjut menjadi menahun (Akbar, 2006).

Patogenesis
Virus hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari peredaran darah partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus. Sellanjutnya sel-sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh, partikel HBsAg bentuk bualt dan tubuler, dan HbeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. VHB merangsang respons imun tubuh, yang pertama kali datang adalah respon imun nonspesifik yang diikuti oleh respon imun spesifik. (Soewignjo, 2007)



Manifestasi Klinik
Pada kebanyakan orang terutama anak-anak apabila terinfeksi hepatitis B tidak menimbulkan gejala. Gejala baru timbul apabila seseorang telah terinfeksi selama 6 minggu. Gejala yang timbul dapat berupa kehilangan nafsu makan, mual, muntah-muntah, lemas, merasa lelah, nyeri perut terutama di sekitar hati, urin berwarna gelap, kulit menjadi kuning, dan juga terlihat terutama pada mata, serta kadangkadang pula disertai nyeri otot dan tulang-tulang (Akbar, 2006).

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan serologi untuk mencari HBS Ag, anti HBS, HBE Ag, anti HBE. Pemeriksaan yang tidak kalah pentingnya adalah secara virologi yaitu menemukan HBV DNA. (Brooks, 2005)

Penatalaksanaan
Pada saat ini dikenal dua kelompok terapi untuk hepatitis B kronik, yaitu:
1. Kelompok Imunomodulasi
Interferon
Timosin alfa 1
Vaksinasi terapi
2. Kelompok Terapi Antivirus
Lamivudin
Adevoir Dipivoksil
(Soewignjo, 2007)


READ MORE - Hepatitis B

Hepatitis A

Etiologi
Hepatitis A disebabkan oleh virus HAV (Hepatitis A Virus). Virus ini adalah anggota terpisah dari famili picornavirus. HAV merupakan partikel bulat 27-32 nm dengan simetri kubus, mengandung genom RNA untai tunggal yang lurus beryukuran 7,5 kb. HAV memiliki sifat stabil pada pemberian ether 20%, asam (pH 1,0 selama 2 jam), dan panas (60ºC selama 1 jam). Virus dapat dihancurkan dengan merebus dalam air selama 5 menit, dengan pemanasan kering (180ºC selama 1 jam), radiasi ultraviolet, formalin, dan klorin. Memanaskan makanan pada suhu > 85ºC selama 1 menit sangat penting untuk inaktivasi HAV. (Brooks, 2005)

Patogenesis
Secara umum hepatitis diakibatkan karena adanya reaksi imun dari tubuh terhadap virus yang dipacu oleh replikasi virus di hati. Replikasi virus hepatitis A termasuk ke dalam jalur lisis. Pertama-tama virus akan menempel di reseptor permukaan sitoplasma, RNA virus masuk, pada saat yang sama kapsid yang tertinggal di luar sel akan hilang, di dalam sel RNA virus akan melakukan translasi, hasil dari translasi terbagi dua yaitu kapsid baru dan protein prekusor untuk replikasi DNA inang, DNA sel inang yang sudah dilekati oleh protein prekusor virus melakukan replikasi membentuk DNA sesuai dengan keinginan virus, DNA virus baru terbentuk, kapsid yang sudah terbentuk dirakit dengan DNA virus menjadi sebuah virion baru, virus baru yang sudah matang keluar dan mengakibatkan sel lisis oleh sel-sel fagosit. (Brooks, 2005)

Manifestasi Klinik
Kadang bisa saja seorang yang terinfeksi HAV tidak menunjukkan gejala yang berarti, namun walaupun ditemukan kejadian seperti ini feses dari orang tersebut tetaplah infeksius. Gejala yang biasanya diderita adalah: meriang / tidak enak badan, nausea, vomiting, dan diare, kehilangan nafsu makna sehingga berat badan turun, ikterik, kulit gatal, sakit di bagian abdominal. (Magee, 2008)
Masa infeksi biasanya berakhir dalam dua bulan, tetapi kadang-kadang menjadi lebih lama pada sebagian orang. Sekali terinfeksi dan tubuh dapat mengalahkan virus maka tubuh akan memiliki kekebalan. (Magee, 2008)

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis penyakit hepatitis A adalah tes ELISA selain itu dapat dilakukan uji serologis untuk menentukan anti-HAV. Tes lain yang dapat dilakukan adalah PCR yang kemudian hasilnya dapat dielektroforesis. (Brooks, 2005; Sanityoso, 2007)

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk hepatitis A :
1. Dehidrasi berat  rawat inap
2. Tidak ada terapi medicamentosa karena pasien bisa sembuh sendiri.
3. Pemeriksaan bilirubin pada minggu kedua dan ketiga untuk pemantauan.
4. Pembatasan aktivitas fisik agar tidak membebani hati.
5. Diet mengandung zat hepatotoksin. (Sanityoso, 2007)


READ MORE - Hepatitis A

Dengue Hemoragik Fever (DHF) / Demam Berdarah Dengue (DBD)

Etiologi
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue Family Flaviviridae, dengan genusnya adalah Flavivirus. Virus mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Selama ini secara klinik mempunyai tingkatan manifestasi yang berbeda tergantung dari serotipe virus dengue. Morbiditas penyakit DBD menyebar di negara-negara tropis dan sub tropis. Disetiap negara penyakit DBD mempunyai manifestasi klinik yang berbeda (Anonim, 2007).

Patogenesis
Patogenesis dan Patofisiologi, patogenesis DBD tidak sepenuhnya dipahami namun terdapat 2 perubahan patofisiologi yang menyolok, yaitu meningkatnya permeabilitas kapiler yang mengakibatkan bocornya plasma, hipovolemia dan terjadinya syok. Pada DBD terdapat kejadian unik yaitu terjadinya kebocoran plasma kedalam rongga pleura dan rongga peritoneal. Kebocoran plasma terjadi singkat (24-28 jam). (Depkes RI, 2005)
Hemostatis abnormal yang disebabkan oleh vaskulopati, trombositopeni dan koagulopati, mendahului terjadinya manifestasi perdarahan. Aktivasi sistem komplemen selalu dijumpai pada pasien DBD kadar C3 dan C5 rendah, sedangkan C3a dan C5a meningkat. Mekanisme aktivasi komplemen tersebut belum diketahui. Adanya kompleks imun telah dilaporkan pada DBD. Namun demikian peran kompleks antigen-antibodi sebagai penyebab aktivasi komplemen pada DBD belum terbukti. (Depkes RI, 2005)
Selama ini diduga bahwa derajat keparahan penyakit DBD dibandingkan dengan DD dijelaskan adanya pemacuan dari multiplikasi virus di dalam makrofag oleh antibodi heterotipik sebagai akibat infesi dengue sebelumnya. Namun demikian terdapat bukti bahwa faktor virus serta responsimun cell-mediated terlibat juga dalam patogenesis DBD. (Depkes RI, 2005)

Manifestasi Klinik
Infeksi oleh virus dengue menimbulkan variasi gejala mulai sindroma virus nonspesifik sampai perdarahan yang fatal. Gejala demam dengue tergantung pada umur penderita, pada balita dan anak-anak kecil biasanya berupa demam, disertai ruam-ruam makulopapular. Pada anak-anak yang lebih besar dan dewasa, bisa dimulai dengan demam ringan, atau demam tinggi ( > 39 derajat C ) yang tiba-tiba dan berlangsung 2-7 hari, disertai sakit kepala hebat, nyeri di belakang mata, nyeri sendi dan otot, mual-muntah, dan ruam-ruam. (Suhendro, 2007)
Bintik-bintik pendarahan di kulit sering terjadi, kadang-kadang disertai bintik-bintik pendarahan dipharynx dan konjungtiva. Penderita juga sering mengeluh nyeri menelan, tidak enak di ulu hati, nyeri di tulang rusuk kanan ( costae dexter ), dan nyeri seluruh perut. Kadang-kadang demam mencapai 40-41 derajat C, dan terjadi kejang demam pada balita. (Suhendro, 2007)
DHF adalah komplikasi serius dengue yang dapat mengancam jiwa penderitanya, oleh :
1. Demam tinggi yang terjadi tiba-tiba
2. Manifestasi pendarahan
3. Nepatomegali atau pembesaran hati
4. Kadang-kadang terjadi shock manifestasi pendarahan pada DHF, dimulai dari test torniquet positif dan bintik-bintik pendarahan di kulit ( ptechiae ). Ptechiae ini bisa terjadi di seluruh anggota gerak, ketiak, wajah dan gusi, juga bisa terjadi pendarahan hidung, gusi, dan pendarahan dari saluran cerna, dan pendarahan dalam urine. (Suhendro, 2007)
Berdasarkan gejalanya DHF dikelompokan menjadi 4 tingkat :
1. Derajat I : Demam diikuti gejala spesifik, satu-satunya manifestasi pendarahan adalah test Terniquet yang positif atau mudah memar.
2. Derajat II : Gejala yang ada pada tingkat 1 ditambah dengan pendarahan spontan, pendarahan bisa terjadi di kulit atau di tempat lain.
3. Derajat III : Kegagalan sirkulasi ditandai dengan denyut nadi yang cepat dan lemah, hipotensi, suhu tubuh rendah, kulit lembab, dan penderita gelisah.
4. Derajat IV : Shock berat dengan nadi yang tidak teraba, dan tekanan darah tidak dapat di periksa, fase kritis pada penyakit ini terjadi pada akhir masa demam. (Suhendro, 2007)
Setelah demam 2-7 hari, penurunan suhu biasanya disertai dengan tanda-tanda gangguan sirkulasi darah, penderita berkeringat, gelisah, tangan dan kakinya dingin dan mengalami perubahan tekanan darah dan denyut nadi. Pada kasus yang tidak terlalu berat gejala-gejala ini hampir tidak terlihat, menandakan kebocoran plasma yang ringan. (Suhendro, 2007)

Pemeriksaan Penunjang
Parameter penunjang yang dapat diperiksa antara lain leukosit, trombosit, hematokrit, hemostasis, protein/albumin, SGOT/SGPT, ureum, kreatinin, elektrolit, golongan darah, dan imunoserologi, serta uji HI. (Suhendro, 2007)

Penatalaksanaan
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi supportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeriksaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna. (Suhendro, 2007)



READ MORE - Dengue Hemoragik Fever (DHF) / Demam Berdarah Dengue (DBD)

Leptospirosis

Etiologi
Leptospirosis adalah zoonosis yang tersebar di seluruh dunia. Ia disebabkan oleh spirocheta dari genus leptospira. Sistem klasifikasi tradisional didasarkan atas patogenitas yang membedakan antara spesies patogen yaitu Leptospira interrogans dan spesies nonpatogen yang hidup bebas, yaitu Leptospira biflexa. Leptospira berbentuk ulir yang rapat, tipis dengan panjang 5-15 mm. Leptospira dapat hidup berminggu-minggu di dalam air, khususnya pada pH basa. (Brooks, 2005)

Patogenesis
Leptospirosis merupakan salah satu penyakit spiroketa pada manusia. Spiroketemia merkembang segera setelah masuknya leptospira melalui kulit atau selaput lendir, dengan perluasan cepat keseluruh jaringan dan cairan tubuh. Sesuai dengan respon imun, spiroketemia dapat berkembang semakin lanjut atau berkurang; namun demikian, organisme dapat menetap di bagian tubuh dengan kekebalan terbatas. Pada leptospirosis, menetapnya bakteri pada ginjal dan penyimpanan bakteri dalam urin penting dalam epidemiologi. Manifestasi lanjut seperti meningitis aseptic dan iridosiklitis, diperkirakan diperantarai secara imunopatologis. Kejadian seperti ini merupakan gambaran pada setiap penyakit spiroketa (White, 1999).
Manifestasi Klinik
Manifestasi sering berupa demam, menggigil, sakit kepala, meningismus, anoreksia, mialgia conjuctival suffusion, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus, hepatomegali, ruam kulit, fotopobi. (Zein, 2007)

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium darah rutin dijumpai leukositosis, normal, atau sedikit menurun disertai gambaran neutrofilia dan LED meninggi. Pada urin dijumpai proteinuria, leukosituria, dan torak (cast). Bila organ hati terlibat, bilirubin direk meningkat tanpa peningkatan transaminase. BUN, ureum, dan kreatinin juga bisa meninggi bila ada komplikasi pada ginjal. Trombositopenia terdapat pada 50% kasus. Diagnosis pasti dengan isolasi leptospira dari cairan tubuh dan serologi. (Zein, 2007)

Penatalaksanaan
Obat microbial yang dipakai cukup banyak, meliputi: penisislin, streptomisin, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin maupun siprofloksasin. Tindakan suportif diberikan sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul. Kalau terjadi gangguan fungsi hati, diberikan diet serta perawatan untuk penyakit hati, sedangkan jika terjadi gangguan fungsi ginjal maka protein dalam diet sesuai dengan bersihan kreatinin (Zein, 2007)


READ MORE - Leptospirosis

Demam Tifoid

Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella thypi dan Salmonella parathypi. Salmonela merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang yang termasuk dalam famili Enterobacteriaceae. Salmonella memiliki karakteristik memfermentasikan glukosa dan mannose tanpa memproduksi gas, tetapi tidak memfermentasikan laktosa atau sukrose. Seperti Enterobacteriaceae yang lain Salmonella memiliki tiga macam antigen yaitu antigen O (tahan panas, terdiri dari lipopolisakarida), antigen Vi (tidak tahan panas, polisakarida), dan antigen H (dapat didenaturasi dengan panas dan alkohol). Antigen ini dapat digunakan untuk pemeriksaan penegak diagnosis. (Brooks, 2005)

Patogenesis
Bakteri Salmonella thypi dan Salmonella paratyphi masuk tubuh manusia melalui makanan dan minuman tercemar. Sebagian bakteri dimusnahkan asam lambung, sebagian lolos ke usus dan berkembang biak. Bila IgA usus kurang baik bakteri akan menembus sel epitel dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia bakteri berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit. Bakteri dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika yang kemudian masuk ke darah. Di dalam hati bakteri masuk ke kandung empedu, berkembang biak dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus. Sebagian bakteri dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk kembali ke usus dan mengulang proses yang sama. Di dalam plague Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan,reaksi hipersensitivitas tipe lambat, dan nekrosis jaringan. (Widodo, 2007)

Manifestasi Klinik
Masa tunas demam tifoid berlangsung 10-14 hari. Gejala yang timbul sangat bervariasi. Dalam minggu pertama penyakit, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistasis. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif, lidah yang khas (kotor di tengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis, roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia. (Widodo, 2007)

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah : (1) melalui spesimen baik darah ataupun tinja, hal ini disebabkan gold standart dari pemeriksan penyakit infeksi adalah menemukan agen infeksiusnya; (2) dengan menggunakan kultur salmonella; (3) tes serologis yang dibagi menjadi : Tes Aglutinasi dan Tes Widal. Tes Aglutinasi dapat digunakan untuk pengidentifikasian lebih cepat. Tes ini memiliki spesificitas dan sensitivitas yang baik. Sedangkan Tes Widal dapat digunakan untuk mengetahui keberhasilan terapi. (Brooks, 2005)

Penatalaksanaan
• Perawatan
Pasien tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi, dan pengobatan. Pasien harus istirahat berbaring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud istirahat berbaring adalah untuk mencegah komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. (Widodo, 2007)
• Diet
Pemberian makanan lunak pada pasien tifoid dimaksudkan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Namun, beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid. (Widodo, 2007)
• Obat
Obat-obat antimikreoba yang sering dipergunakan adalah: kloramfenikol, tiamfenikol, ko-trimoksazol, ampisilin dan amoksilin, dan sefalosporin generasi ketiga. Selain itu juga dapat diberikan obat-obatan simtomatik untuk menanggulangi gejala yang ada. (Widodo, 2007)


READ MORE - Demam Tifoid

Fisiologi Hepar

Hati (hepar) adalah kelenjar besar berwarna merah gelap terletak di bagian atas abdomen sisi kanan. Unit fungsional dasar hati adalah lobulus hati, yang berbentuk silindris dengan panjang beberapa milimeter dan berdiameter 0,8 sampai 2 milimeter. Hati manusia berisi 50.000 sampai 100.000 lobulus. Lobulus sendiri dibentuk terurama dari banyak lempeng sel hepar. Masing-masing lempeng hepar tebalnya satu sampai dua sel, dan diantara sel yang berdekatan terdapat kanakuli biliaris kecil yang mengalir ke duktus biliaris di dalam septum fibrosa yang memisahkan lobulus hati yang berdekatan. (Dorland, 2006; Guyton, 1998)

Fungsi dasar hati dapat dibagi menjadi (1) fungsi vaskular untuk menyimpan dan menyaring darah, (2) fungsi metabolisme yang berhubungan dengan sebagian besar sistem metabolisme tubuh, dan (3) fungsi sekresi yang berperan membentuk empedu yang mengalir melalui saluran empedu ke saluran pencernaan. Dalam fungsi vaskularnya hati adalah sebuah tempat mengalir darah yang besar. Hati juga dapat dijadikan tempat penimpanan sejumlah besar darah. Hal ini diakibatkan hati merupakan suatu organ yang dapat diperluas. Aliran limfe dari hati juga sangat tinggi karena pori dalam sinusoid hati sangat permeable. Selain itu di hati juga terdapat sel Kupffer (derivat sistem retikuloendotelial atau monosit-makrofag) yang berfungsi untuk menyaring darah. (Guyton, 1998)
Fungsi metabolisme hati dibagi menjadi metabolisme karbohidrat, lemak, protein, dan lainnya. Dalam metablosime hepar fungsi hati : (1) menyimpan glikogen; (2) me-ngubah galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa; (3) glukoneogenesis; (4) membentuk senyawa kimia penting dari hasil perantara metabolisme karbohidrat. Dalam metabolisme lemak fungsi hati : (1) kecepatan oksidasi beta asam lemak yang sangat cepat untuk mensuplai energi bagi fungsi tubuh yang lain; (2) pembentukan sebagian besar lipoprotein; (3) pembentukan sejumlah besar kolesterol dan fosfolipid, dan (4) penguraian sejumlah besar karbohidrat dan protein menjadi lemak. Dalam metabolisme protein hati berfungsi : (1) deaminasi asam amino; (2) pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari dalam tubuh; (3) pembentukan protein plasma; (4) interkonversi diantara asam amino yang berbeda. (Guyton, 1998)
Fungsi sekresi hati membentuk empedu juga sangat penting. Salah satu zat yang dieksresi ke empedu adalah pigmen bilirubin yang berwarna kuning-kehijauan. Bilirubin aadalah hasi akhir dari pemecahan hemoglobin. Bilirubin merupakan suatu alat mendiagnosis yang sangat bernilai bagi para dokter untuk mendiagnosis penyakit darah hemolitik dan berbagai tipe penyakit hati. (Guyton, 1998)


READ MORE - Fisiologi Hepar

Selasa, 03 Juni 2008

Benjolan pada Payudara

Pada kesempatan kali ini seorang wanita berusia 35 tahun mengeluh adanya benjolan pada payudara kiri sejak 4 bulan yang lalu. Adik dari ibu juga menderita tumor payudara, bahkan sampai meninggal dunia pada usia 45 tahun. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa pasien memiliki tumor payudara, namun belum dapat ditentukan jenis tumornya dan sifatnya. Mengenai kemungkinan-kemungkinan yang dapat diderita oleh pasien telah penulis jabarkan pada tinjauan pustaka.
Ketika mengahadapi pasien seperti ini pola pikir seorang dokter haruslah sesuai dengan urutan untuk menegakkan diagnosis. Langkah pertama adalah anamnesis. Tujuannya adalah untuk mengetahui keluhan atau gejala yang dialami oleh pasien. Keluhan atau gejala yang timbul ini umumnya tergantung dari lokasi tumor, stadium lanjut dari tumor, dan penyulit yang ditimbulkannya. Selain bertujuan untuk memperkirakan asal dari tumor tersebut, anamenis juga dilakukan untuk mendapatkan data-data penting dari pasien, meliputi status perkawinan, paritas, gaya hidup, riwayat menstruasi, riwayat keluarga, dan riwayat penyakit dahulu, sehingga dapat ditentukan apakah pasien memiliki faktor resiko untuk menderita kanker payudara. Langkah kedua adalah melakukan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara inspeksi dan palpasi. Pada pemeriksaan inspeksi dapat dilihat adakah bentuk yang abnormal pada semua bagian payudara mulai dari kulit sampai papila. Palpasi dapat dilakukan pada kelenjar limfonodi aksilaris terutama aksilaris yang superficial. Pemeriksaan penunjang lain yang dilakukan adalah pemeriksaan imaging. Pemeriksaan ini dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis (radiodiagnosis) dan staging dari tumor tersebut. Adapun pemeriksaan imaging yang dapat dilakukan untuk tumor payudara adalah: Mammografi, USG (Ultrasonografi, pemeriksaan dengan menggunakan gelombang udara), Rontgen toraks, bone scan, dan CT-scan (Computerized Tomography Scanning). Beberapa karakteristik dari tumor jinak dan tumor ganas yang dapat diketahui melalui pemeriksaan klinis, pemeriksaan PA, dan pemeriksaan imaging dapat dilihat pada bagian lampiran.
Pentahapan tumor adalah penentuan stadium dari tumor berdasarkan pemeriksaan-pemeriksaan yang telah dilakukan diatas, meliputi penentuan letak topografi tumor primer, eksistensinya ke organ sekitar, dan ada tidaknya metastasenya ke organ lain. Mengetahui stadium tumor sangat penting untuk menentukan tindakan terapi apa yang akan diberikan dan juga prognosis penyakit. Sistem yang umum digunakan untuk menentukan stadium dari tumor adalah sistem TNM, yang ditetapkan oleh UICC (Union Internationale Contre le Cencere). Sistem TNM ini berdasarkan pada 3 kategori, yaitu: T (Tumor primer), N (Nodul regional, metastase ke kelenjar limfe regional), dan M (Metastasis jauh). Penetapan stadium tumor berdasarkan sistem TNM adalah dapat dilihat pada bagian lampiran.

Setelah semua pemeriksaan yang diperlukan untuk diagnosis telah lengkap, dan stadium dari tumor telah ditentukan, maka diagnosis tumor tersebut selanjutnya dapat ditegakkan. Dalam penulisan penegakkan diagnosis tumor hendaknya dicantumkan data selengkap-lengkapnya, meliputi 1). Organ asal tumor (origin-nya), 2). Histopatologi, dan 3). Stadiumnya. Selain itu, sebaiknya status penampilan pasien (Performance status) juga disebutkan saat diagnosis ditegakkan, untuk tujuan persyaratan sebelum dilakukan tindakan terapi, dan untuk evaluasi perkembangan keadaan umum pasien selama dan sesudah terapi diberikan.
Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien tersebut bergantung pada jenis dan stadium dari tumor yang dideritanya. Oleh karena itu, penatalaksanaan atau terapi tersebut tidak dapat dilakukan sebelum diagnosis tumor ditegakkan dengan melaksanakan langkah-langkah pemeriksaan yang telah disebutkan diatas.


READ MORE - Benjolan pada Payudara

Neoplasma Ganas Payudara

Neoplasma ganas pada payudara sering disebut juga dengan kanker payudara, dimana keadaan ini memperlihatkan proliferasi keganasan sel epitel yang membatasi duktus atau lobus payudara. Pada awalnya hanya terdapat hiperplasia sel dengan perkembangan sel-sel yang atipikal, namun sel-sel ini kemudian berlanjut menjadi karsinoma in situ dan menginvasi stroma. Kanker membutuhkan waktu 7 tahun untuk tumbuh dari satu sel menjadi massa yang cukup besar untuk dapat dipalpasi (kira-kira berdiameter 1 cm). Pada ukuran itu, sekitar 25% kanker payudara sudah mengalami metastasis.
Penyebab kanker payudara belum dapat ditentukan namun terdapat beberapa faktor resiko yang telah ditetapkan, keduanya adalah lingkungan dan genetik. Adapun faktor resiko tersebut adalah sebagai berikut: Usia 30-50 tahun meningkat tajam; Kelompok sosial ekonomi menengah ke atas; Perempuan tidak menikah (50% lebih sering terkena payudara); Nulipara; Kehamilan pertama setelah 30 tahun; Abortus spontan sebelum kelahiran pertama; Menarke pada usia dini; Menopouse lambat setelah usia 50 tahun; Sanak famili perempuan tingkat pertama (keluarga maternal dan paternal) dengan kanker payudara: 2-3 kali terkena kanker payudara, Ibu dan saudara perempuan, atau 2 saudara perempuan terkena kanker payudara: 6 kali lebih besar terkena kanker payudara; Obesitas (setiap penambahan 10 kg): 80% lebih besar terkena kanker payudara; Penyakit payudara lain, seperti hiperplasia duktus dan lobulus dengan atipia: 8 kali lebih besar terkena payudara; Terpajan radiasi, pada perempuan muda dan anak-anak bermanifestasi setelah usia 30 tahun, periode laten minimum: 10-15 tahun; Kanker primer kedua, dengan kanker ovarium primer resiko kanker payudara 3-4 kali lebih besar, dengan kanker endometrium primer resiko kanker payudara 2 kali lebih besar, dengan kanker kolorektal resiko kanker payudara 2 kali lebih besar; Gaya hidup. (Price and Wilson, 2006 : 1303)
Pada keluarga dengan riwayat kanker payudara yang kuat, banyak perempuan memiliki mutasi dalam gen kanker payudara, yang disebut BRCA-1 (di kromosom 17q21.3) pola keturunan adalah dominan autosomal dan dapat diturunkan melalui garis maternal maupun paternal. Sindrom kanker payudara familial lainnya berkaitan dengan gen pada kromosom 13, yang disebut BRCA-2 (di kromosom 13q12-13). Kedua gen ini diperkirakan berperan penting dalam perbaikan DNA. Keduanya bekerja sebagai gen penekan tumor, karena kanker muncul jika kedua alel inaktif atau cacat – pertama disebabkan oleh mutasi sel germinativum dan kedua oleh sel somatik berikutnya. (Kumar et al, 2007 : 795; Price and Wilson, 2006 : 1303)
Selain yang menyebabkan sindrom familial di atas, perubahan genetik juga diduga berperan dalam timbulnya kanker payudara sporadik. Seperti pada sebagian besar kanker lainnya, mutasi yang memengaruhi protoonkogen dan gen penekan tumor di epitel payudara ikut serta dalam proses transformasi onkogenik. Di antara berbagai mutasi tersebut, yang paling banyak dipelajari adalah ekspresi berlebihan protoonkogen ERBB2 (HER2/NEU), yang diketahui mengalami amplifikasi pada hampir 30% kanker payudara. Gen ini adalah anggota dari famili reseptor faktor pertumbuhan epidermis, dan ekspresi berlebihannya berkaitan dengan prognosis yang buruk. Secara analog, amplifikasi gen RAS dan MYC juga dilaporkan terjadi pada sebagian kanker payudara manusia. Mutasi gen penekan tumor RB1 dan TP53 juga ditemukan. Dalam transformasi berangkai sel epitel normal menjadi sel kanker, kemungkinan besar terjadi banyak mutasi didapat. (Kumar et al, 2007 : 796)
Kanker payudara dibagi menjadi kanker yang belum menembus membran basal (noninvasif) dan kanker yang sudah menembus membran basal (invasif). Karsinoma noninvasif diklasifikasikan menjadi : karsinoma duktus in situ (DCIS; karsinoma intraduktus) dan karsinoma lobulus in situ (LCIS). Karsinoma invasif diklasifikasikan menjadi : karsinoma duktus invasif, karsinoma lobulus invasif, karsinoma medularis, karsinoma koloid (karsinoma musinosa), karsinoma tubulus, dan tipe lain. Dari tumor-tumor ini, karsinoma duktus invasif merupakan jenis yang sering terjadi, karena biasanya memiliki banyak stroma, karsinoma ini juga disebut sebagai scirrhous carcinoma. (Kumar et al, 2007 : 796-797)
Penyakit paget pada puting payudara adalah keganasan yang tumbuh keluar sepanjang duktus pada puting, yang berasal dari duktus yang lebih dalam atau kanker duktus invasif dengan rasa gatal, panas, keluarnya rabas, perdarahan, atau kombinasi diantaranya pada puting. Sel-sel ganas (sel-sel Paget) dari tumor yang lebih dalam menginvasi epidermis puting, menyebabkan krusta, dan tampak seperti eksim. Selain itu, invasi sel-sel Paget ke epidermis puting, dapat menyebabkan cairan ekstraseluler keluar menuju ke permukaan. (Kumar et al, 2007 : 1305; Price and Wilson, 2006 : 797)
Karsinoma inflamasi didefinisikan berdasarkan gambaran klinis berupa payudara yang membesar, bengkak, dan eritematosa, biasanya tanpa teraba adanya massa. Karsinoma penyebab umumnya bukan tipe khusus dan menginvasi secara difus parenkim payudara. Tersumbatnya saluran limfe dermis oleh karsinoma merupakan penyebab gambaran klinis. Peradangan sejati sebenarnya tidak ada atau minimal. Sebagian besar tumor ini telah bermetastasis jauh dan prognosis sangat buruk. (Kumar et al, 2007 : 798)
Karsinoma lobulus invasif terdiri atas sel yang secara morfologis identik dengan sel pada LCIS. Sel-sel secara sendiri-sendiri menginvasi stroma dan sering membentuk rangkaian. Kadang-kadang sel tersebut mengelilingi asinus atau duktus yang tampak normal atau karsinomatosa, menciptakan apa yang disebut sebagai mata sapi (bull’s eye). Karsinoma lobulus lebih sering bermetastasis ke cairan serebrospinal, permukaan serosa, ovarium dan uterus, serta sumsum tulang dibandingkan dengan karsinoma duktus. Karsinoma lobulus juga lebih sering bersifat multisentrik dan bilateral. Hampir semua karsinoma tipe ini mengekspresikan reseptor hormon, tetapi ekspresi ERBB2 jarang atau tidak terjadi. (Kumar et al, 2007 : 798-799)
Penyebaran kanker payudara terjadi dengan invasi langsung ke parenkim payudara, sepanjang duktus mamaria, pada kulit permukaan, dan meluas melalui jaringan limfatik payudara. Kelenjar getah bening regional yang terlinat adalah aksilaris, mamaria interna, dan kelenjar supraklavikuler. Selain itu, terdapat pula kanker payudara yang memang berawal dari jaringan limfatik, adapun jalur penyebarannya adalah deposit dan tumbuh sel kanker pada kelenjar limfe  kelenjar getah bening aksiler & supraklavikuler membesar (kel.getah bening sekitar payudara)  ke jalur limfatikus  masuk ke vena (aliran kardiovaskuler)  metastase ke organ-organ lain.


READ MORE - Neoplasma Ganas Payudara

PBL (Problem Based Learning)

Menurut Kalian PBL itu gimana?
Gimana pelaksanaannya di tempat kalian ??
READ MORE - PBL (Problem Based Learning)

Neoplasma Jinak Payudara

Neoplasma payudara atau tumor payudara adalah suatu pertumbuhan baru dan abnormal pada sel-sel di payudara yang biasa berbentuk benjolan, dimana multiplikasinya tidak terkontrol dan progresif. Adapun neoplasma payudara yang termasuk dalam keadaan jinak adalah:

• Fibroadenoma Mammae
Fibroadenoma adalah tumor jinak dari jaringan fibrosa yang berbentuk bulat, licin, berkonsistensi padat kenyal, berbatas tegak, dan mudah digerakkan. Fibroadenoma muncul sebagai nodus diskret, biasanya tunggal, dan bergaris tengah 1 hingga 10 cm. Lesi mungkin membesar pada akhir daur haid dan selama hamil. Pada pascamenopause, lesi mungkin mengecil dan mengalami kalsifikasi. Walaupun jarang, tumor mungkin dapat multipel dan bergaris tengah lebih dari 10 cm (fibroadenoma raksasa). Peningkatan mutlak atau nisbi aktivitas estrogen diperkirakan berperan dalam proses pembentukannya, dan lesi serupa mungkin muncul bersamaan dengan perubahan fibrokistik (fibroadenosis). Fibroadenoma biasanya teradi pada perempuan muda dimana insidensi puncak pada usia 30-an. Fibroadenoma hampir tidak pernah menjadi ganas. Pananganan fibriadenoma adalah melalui pembedahan pengangkatan tumor. Sistosarkoma filoides merupakan salah satu tipe dari fibriadenoma yang dapat kambuh jika tidak diangkat dengan sempurna. (Kumar et al, 2007 : 793; Newman, 2006 : 827; Price and Wilson, 2006 : 1302)
• Papiloma Intraduktus
Papiloma intraduktus adalah pertumbuhan tumor neoplastik di dalam suatu duktus. Sebagian besar lesi bersifat soliter, ditemukan di dalam sinus atauduktus laktiferosa utama. Lesi ini menimbulkan gejala klinis berupa : (1) keluarnya discharge serosa atau berdarah dari puting payudara; (2) adanya tumor subareola kecil dengan garis tengah beberapa milimeter sehingga terlalu kecil untuk dipalpasi; atau (3) retraksi puting payudara (jarang terjadi). Pada beberapa kasus, terbentuk banyak papiloma di beberapa duktus atau papilometosis intraduktus. Lesi kadang-kadang menjadi ganas, sedangkan papiloma soliter hampir selalu tetap jinak. (Kumar et al, 2007 : 794; Price and Wilson, 2006 : 1302)
• Fibrokistik Payudara
Perubahan fibrokistik adalah ragam kelainan dimana terjadi akibat dari peningkatan dan distorsi perubahan siklik payudara yang terjadi secara normal selama daur haid. Perubahan fibrokistik dibagi menjadi perubahan nonproliferatif dan perubahan proliferatif. Perubahan nonproliferatif mencakup kista dan fibrosis tanpa hiperplasia sel epitel (perubahan fibrokistik sderhana). Perubahan proliferatif mencakup serangkaian hiperplasia sel epitel duktulus atau duktus banal atau atipikal serta adenosis sklerotikans. (Kumar et al, 2007 : 789)
Perubahan nonproliferatif ditandai dengan peningkatan stroma fibrosa disertai oleh dilatasi duktus dan pembentukan kista dengan berbagai ukuran. Stroma mengelilingi semua bentuk kista biasanya terdiri atas jaringan fibrosa yang kehilangan gambaran miksomatosa. Infiltrat limfositik stroma sering ditemukan pada lesi ini dan varian lain perubahan fibrokistik. Perubahan proliferatif meliputi hiperplasia epitel dan adenosis sklerotikans. Istilah hiperplasia epitel dan perubahan fibrokistik proliferatif mencakup serangkaian lesi proliferatif di dalam duktulus, duktus terminalis, dan kadang-kadang lobulus payudara. Sebagian hiperplasia epitel ini bersifat ringan dan teratur serta tidak membawa resiko karsinoma, tetapi di sisi lain hiperplasia atipikal mamiliki resiko signifikan. Adenosis sklerotikans memiliki gambaran klinis dan morfologi mirip dengan karsinoma. Di lesi ini rampak mencolok fibrosis intralobularis serta proliferasi duktulus kecil dan asinus. Pertumbuhan berlebihan jaringan fibrosa ini mungkin menekan lumen asinus dan duktus sehingga keduanya tampak sebagai genjel-genjel sel. Adanya lapisan ganda epitel dan identifikasi elemen mioepitel menandakan bahwa kelainannya bersifat jinak. (Kumar et al, 2007 : 789-791)
Gejala-gejalanya berupa pembengkakan dan nyeri tekan pada payudara menjelang periode menstruasi. Tanda-tandanya adalah teraba massa yang bergerak bebas pada payudara, terasa granularitas pada jaringan payudara, dan kadang-kadang keluar cairan yang tidak berdarah dari puting. Banyak perempuan tidak mengeluhkan gejala dan baru mencari pemeriksaan kesehetan setelah meraba adanya massa. (Price and Wilson, 2006 : 1302)
• Tumor Phylloides
Tumor phylloides adalah fibroadenoma besar di payudara, dengan stroma serupa-sarkoma yang sangat selular. Tumor ini termasuk neoplasma jinak, namun kadangkala dapat menjadi ganas. Tumor ini bersifat agresif lokal dan dapat bermetastasis, dan diperkirakan berasal dari stroma intralobulus. Umumnya, tumor ini berdiameter 3 hingga 4 cm, namun dapat tumbuh hingga berukuran besar, mungkin masif sehingga payudara membesar. Sebagian mengalami lobulasi dan menjadi kistik. Karena pada potongan memperlihatkan celah yang mirip daun, maka tumor ini disebut tumor filoides. Perubahan yang paling merugikan adalah terjadinya peningkatan selularitas stroma disertai anaplasia dan aktivitas mitotik yang tinggi, selain itu peningkatan ukuran secara pesat, biasanya dengan invasi jaringan payudara di sekitarnya oleh stroma maligna. Sebagian besar tumor ini tetap lokalisata dan disembuhkan dengan eksisi. Lesi maligna mungkin kambuh, tetapi lesi ini juga cenderung terlokalisasikan.


READ MORE - Neoplasma Jinak Payudara

Galactocele

Galactocele adalah dilatasi suatu duktus yang tersumbat yang terbentuk selama masa laktasi atau pembesaran kistik kelenjar mammae yang mengandung air susu. Selain menyebabkan “benjolan” yang nyeri, kista mungkin pecah sehingga memicu reaksi peradangan lokal, yang dapat menyebabkan terbentuknya fokus indurasi persisten yang menimbulkan kekhawatiran keganasan beberapa tahun kemudian. (Kumar et al, 2007 : 788-789; Newman, 2006 : 891)
READ MORE - Galactocele

Abses Payudara

Abses payudara merupakan komplikasi yang terjadi akibat peradangan payudara kronik. Peradangan payudara atau yang disebut mastitis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, perembesan sekresi melalui fisura di puting, dan dermatitis yang mengenai puting. Bakteri yang sering menyebabkan terjadinya mastitis ini adalah Stafilokokus aureus atau streptokok. Mastitis sering terjadi pada pascapartum selama awal laktasi jika organisme berhasil masuk dan mencapai jaringan payudara melalui fisura pada puting. Gejala dan tanda yang sering ditimbulkan oleh abses payudara adalah tanda-tanda inflamasi pada payudara (merah, panas jika disentuh, membengkak, dan nyeri tekan), keluar nanah/pus dari puting, teraba massa, gejala sistemik berupa demam tinggi, menggigil, malaise, dan timbul limfadenopati pectoralis, axiller, parasternalis, dan subclavia. Adapun patogenesis dari abses payudara adalah: luka/lesi pada puting  organisme masuk (organisme ini biasanya dari mulut bayi)  peradangan  terjadi penyumbatan duktus  produksi susu normal  pengeluaran susu terhambat  terbetuk abses. Penanganan yang dapat dilakukan untuk mastitis adalah pemanasan lokal, antipiretik dan analgesik ringan, pengosongan payudara berkala dengan terus memberikan ASI atau memompa, dan terapi antibiotika oral. Namun jika sudah terjadi abses, perlu diberikan antibiotik intravena, aspirasi, atau insisi dan jika perlu drainase. Setiap cairan aspirasi perlu dilakukan pemeriksaan histologik untuk menyingkirkan keganasan.
READ MORE - Abses Payudara

Fisiologi dan Histologi Payudara

Payudara atau mammae terdiri dari jaringan kelenjar (glandula mamaria), fibrosa, dan lemak. Jaringan kelenjar ini dibagi menjadi pars sekretorius, yaitu tubulus dan alveolus (yang menghasilkan susu) dan pars ekskretorius atau duktus (saluran untuk mengeluarkan susu). Jaringan kelenjar membentuk 15-25 lobus yang tersusun radier di sekitar puting dan dipisahkan oleh jaringan lemak yang bervariasi jumlahnya, yang mengelilingi jaringan ikat (stroma) di antara lobus-lobus. Setiap lobus berbeda, sehingga penyakit yang menyerang satu lobus tidak menyerang lobus lainnya. Drainase dari lobus menuju sinus laktiferosa, yang kemudian bermuara ke puting. Jaringan ikat di banyak tempat akan memadat membentuk pita fibrosa yang tegak lurus terhadap substansi lemak, mengikat lapisan dalam dari fasia subkutan payudara pada kulit. Pita ini, yaitu ligamentum Cooper, merupakan ligamentum suspensorium payudara. Mammae terletak di ventral m. pectoralis major, m. serratus anterior, dan m. obliquus abdominis externus, meluas dari costae II – VI dan dari sternum sampai linea midaxillaris. Bagian posterior mammae merupakan jaringan pengikat longgar (spatium retromammae) yang memisahkan mammae dengan fascia yang menutupi m. pectoralis major dan m. serratus anterior. (Azizi dkk, 2005 : 12)
Papilla mammaria, merupakan bangunan yang menonjol di tengah-tengah permukaan glandula mamaria, terletak setinggi spatium intercostale IV, mengandung lubang-lubang kecil muara dari ductus lactiferus dan glandula mammaria yaitu apertura duktus laktiferosa. Papilla mammaria ini tersusun oleh serabut-serabut otot polos, tersusun sirkuler sedemikian rupa sehingga apabila terjadi kontraksi otot ini dapat menekan ductus lactiferus dan menyebabkan papilla mammaria tegak. Papilla mammaria dikelilingi oleh daerah gelap disebut areola glandula mammae. Areola mammae merupakan area yang hiperpigmentasi dan mengandung glandula sudorifera, glandula sebacea yang membentuk tonjolan-tonjolan kecil selama kehamilan dan glandula mammaria accesoria dengan lubang-lubang mini muara ductus lactiferus. Areola mammae kaya akan serabut sensoris dengan berbagai tipe “end-organ”, yang terletak terutama di dermis. (Azizi dkk, 2005 : 14; Hadiwidjaja, 2002 : 20-21)

READ MORE - Fisiologi dan Histologi Payudara

Perdarahan Jalan Rahim

Pada skenario kali ini disebutkan seorang penderita perempuan (40 tahun) dengan keluhan perdarahan melalui jalan lahir di luar siklus menstruasi, keputihan berbau, paritas P5A0, menikah pada usia 17 tahun, serta adanya contact bleeding. Dari gambaran gejala-gejala yang telah disebutkan diatas, terdapat beberapa kemungkinan penyakit yang mungkin diderita, namun dari gejala-gejala tersebut dapat diambil karsinoma serviks uterus sebagai hipotesis. Mengenai kemungkinan lain telah penulis jabarkan pada tinjauan pustaka.
Serviks uteri merupakan lanjutan penyempitan dari corpus uteri bagian bawah dan berlanjut sebagai serviks uteri yang menembus dinding anterior vagina dan dibagi menjadi: 1) portio supravaginalis cervicis uteri yang merupakan bagian dari serviks uteri yang berada diatas vagina; 2) portio vaginalis cervicis uteri yang merupakan bagian serviks uteri yang menjorok ke cavum vagina, pada ujungnya terdapat ostium uteri eksternum, ostium ini dibatasi oleh labium anterius dan labium posterius. Berikut akan dijelaskan patofisiologi dari gejala dan tanda yang terjadi.
Pada kasus ini pasien mengalami perdarahan melalui jalan lahir namun diluar siklus menstruasi yang disebut dengan metrorhagi. Metrorhagi ini mungkin terjadi akibat infiltrasi pembuluh darah dan juga akibat rapuhnya sel-sel pada serviks yang mengalami displasia. Keputihan adalah keluarnya cairan kental dari vagina, bisa ga-tal, panas / perih, bau, atau tidak apa-apa. Hal ini terjadi karena terganggunya flora normal dalam vagina dengan berbagai penyebab. Pada skenario, disebutkan pula bahwa pasien mengalami perdarahan setelah coitus, perdarahan ini dapat disebut dengan contact bleeding. Contact bleeding ini terjadi karena jaringan pada serviks mengalami kerapuhan sehingga apabila terpapar suatu benda akan mudah berdarah.
Pada skenario disebutkan pasien menikah pada saat berumur 17 tahun, berarti terdapat kemungkinan bahwa coitarche dilakukan pada usia yang masih sangat muda. Pada wanita dengan usia muda, jaringan pada serviks yang tersusun oleh epitel squamous dan columnar namun sel-selnya masih rentan terhadap berbagai hal, misalnya apabila pada bagian serviks tersebut tepatnya SCJ terjadi trauma yang berulang-ulang dapat menyebabkan porsio menjadi erosive yang pada akhirnya dapat berkembang menjadi invasif.
Dari anamnesis terhadap pasien tersebut didapatkan data P5A0 yang berarti telah lima kali melahirkan dan tidak pernah abortus. Lima anak merupakan jumlah kelahiran yang banyak dan pada karsinoma serviks uterus salah satu faktor pendukungnya adalah telah melahirkan banyak anak. Setiap kelahiran anak secara normal akan melewati serviks sebagai jalan lahirnya. Jika serviks dilewati oleh muatan besar berkali-kali akan membuat jaringan epitel pada serviks akan mengalami erosive sehingga lebih mudah terpapar atau terinfeksi oleh suatu karsinogen, misalnya Human Papiloma Virus. Penelitian-penelitian belakangan ini banyak yang mem-fokuskan pada Human Papiloma Virus (HPV). Pada 80% penderita karsinoma serviks uterus ditemukan virus HPV.
Pemeriksaan dan diagnosis ca servix: (1) anamnesis, (2) pemeriksaan fisik yang terdiri dari : inspeksi servix: warna epitel merah muda pucat, melihat adanya lesi  ca cervix; pap smear: penapisan perubahan neoplastik, deteksi HPV, pra ca servix; biopsy (PA); kolposkopi untuk menentukan daerah abnormal; sctiller (larutan iodium dioleskan; konisasi servix. Penatalaksanaan : stadium 0 & Ia: konisiasi, histerektomi transvagina, Ib & IIa: histerektomi radikal, limfadektomi, IIb & III: histerektomi trans-vaginal, IV a & IV b: radiasi paliatif. Prognosis untuk harapan hidup selama lima tahun : Ia: 90% keatas, Ib: 85-90%, IIa: 73%, IIb: 65-68%, III: 35-44%, IV: 10%


READ MORE - Perdarahan Jalan Rahim

Carcinoma Servix

Etiologi
Penyebab langsung dari kanker serviks belum diketahui. Ada bukti kuat kejadiannya mempunyai hubungan erat dengan sejumlah faktor ekstrinsik, diantaranya yang penting: jarang ditemukan pada perawan (virgo), insidensi lebih tinggi pada mereka yang kawin daripada yang tidak kawin, terutama pada gadis yang koitus pertama (coitarche) dialami pada usia amat muda (<16 tahun), insidensi meningkat dengan tingginya paritas, apalagi bila jarak persalinan yang terlampau dekat, mereka dari golongan sosial ekonomi rendah (hygiene seksual yang jelek), aktivitas seksual yang sering berganti-ganti pasangan (promiskuitas), jarang dijumpai pada masyarakat yang suaminya disunat (sirkumsisi), kebiasaan merokok, dan sering ditemukan pada wanita yang mengalami infeksi virus HPV (Human Papilloma Virus). Lebih dari 20 tipe HPV berbeda yang mempunyai hubungan dengan karsinoma servikal, HPV-16, 18, dan 31 mempunyai angka neoplasia intraepithelial servikal (CIN) yang lebih tinggi. Ada pula anggapan bahwa supresi imunitas berperan terhadap terjadinya penyakit ini (Prawirohardjo, 1999; Price, 2006; Raybun, 2001).

Patologi
Karsinoma serviks timbul di batas antara epitel yang mengalami ektoserviks (porsio) dan endoserviks kanalis serviks yang disebut sebagai squamo-columnar junction (SCJ). Histologik antara epitel squamous complex dari porsio dengan epitel kuboid/silindris pendek selapis bersilia dari endoserviks. Pada wanita muda SCJ ini berada di luar ostium uteri eksternum, sedang pada wanita berumur >35 tahun, SCJ berada di dalam kanalis serviks. Maka untuk melakukan Pap smear yang efektif, yang dapat mengusap zona transformasi, harus dikerjakan dengan skraper dari Ayre atau cytobrush sikat khusus. Pada awal perkembangannya kanker serviks tak memberi tanda-tanda dan keluhan. Pada pemeriksaan dengan spekulum, tampak porsio yang erosif (metaplasi squamousa) yang fisiologik atau patologik (Prawirohardjo, 1999).
Tumor dapat tumbuh: 1) eksofitik mulai dari SCJ ke arah lumen vagina sebagai masa proliferatif yang mengalami infeksi sekunder dan nekrosis; 2) endofitik mulai dari SCJ tumbuh ke dalam stroma serviks dan cenderung untuk mengadakan infiltrasi menjadi ulkus; 3) ulseratif mulai dari SCJ dan cenderung merusak struktur jaringan serviks dengan melibatkan awal fornises vagina untuk menjadi ulkus yang luas (Prawirohardjo, 1999).
Serviks yang normal, secara alami mengalami proses metaplasi (erosion) akibat saling desak mendesaknya kedua jenis epitel yang melapisinya. Dengan masuknya mutgen, porsio yang erosif (metaplasia squamosa) yang semula fisiologik dapat berubah menjadi patologik melalui tingkatan NIS-I, II, III dan KIS untuk akhirnya menjadi karsinoma invasif. Sekali menjadi invasif, proses keganasan akan berjalan terus (Prawirohardjo, 1999).
Periode laten (dari NIS-I s/d KIS) tergantung dari daya tahan tubuh penderita. Umumnya fase prainvasif berkisar antara 3-20 tahun. Perubahan epitel displastik serviks secara kontinu yang masih memungkinkan terjadinya regresi spontan dengan pengobatan/tanpa diobati itu dikenal dengan Unitarian concept dari Richart. Histopatologik sebagian terbesar berupa epidermoid atau squamous cell carcinoma, sisanya adenokarsinoma, clearcell carcinoma/mesonephroid carcinoma, dan yang paling jarang adalah sarcoma (Prawirohardjo, 1999).

Tingkatan pra-maligna
Porsio yang erosif dengan ektropion bukanlah termasuk lesi pra-maligna, selama tak ada bukti adanya perubahan displastik dari SCJ. Penting untuk dapat menggaet sel-sel dari SCJ untuk pemeriksaan eksofoliatif sitologi, meskipun pada pemeriksaan ini ada kemungkinan terjadi false negatif atau false positive. Perlu ditekankan bahwa terapi hanya boleh dilakukan atas dasar bukti histopatologik. Oleh sebab itu, untuk konfirmasi hasil Pap smear, perlu tindak lanjut upaya diagnostik biopsi serviks (Prawirohardjo, 1999).

Penyebaran
Pada umumnya secara limfogen melalui pembuluh getah bening menuju 3 arah: a) ke arah fornises dan dinding vagina, b) ke arah korpus uterus, dan c) ke arah parametrium dan dalam tingkatan yang lanjut menginfiltrasi septum rektovaginal dan kandung kemih (Prawirohardjo, 1999).
Melalui pembuluh getah bening dalam parametrium kanan dan kiri sel tumor dapat menyebar ke kelenjar iliak luar dan kelenjar iliak dalam. Penyebaran melalui pembuluh darah tidak lazim. Karsinoma serviks umumnya terbatas pada daerah panggul saja. Tergantung dari kondisi imunologik tubuh penderita KIS akan berkembang menjadi mikro invasif dengan menembus membrane basalis dengan kedalaman invasi <1 mm dan sel tumor belum terlihat dalam pembuluh limfa atau darah. Jika sel tumor sudah terdapat >1 mm tetapi sudah tampak berada dalam pembuluh limfa atau darah, maka prosesnya sudah invasif. Tumor mungkin telah menginfiltrasi stroma serviks, akan tetapi secara klinis belum tampak sebagai karsinoma. Tumor yang demikian disebut sebagai ganas praklinik. Sesudah tumor menjadi invasif, penyebaran secara limfogen menuju kelenjar limfa regional dan secara perkontinuitatum (menjalar) menuju fornises vagina, korpus uterus, rectum, dan kandung kemih. Penyebaran limfogen ke parametrium akan menuju kelenjar-kelenjar iliak, obturator, hipogastrika, prasakral, praaorta, dan seterusnya secara teoritis dapat lanjut melalui trunkus limfatikus di kanan dan vena subklavia di kiri mencapai paru-paru, hati, ginjal, tulang, dan otak (Prawirohardjo, 1999).
Biasanya penderita sudah meninggal lebih dahulu disebabkan oleh perdarahan-perdarahan yang eksesif dan gagal ginjal menahun akibat uremia oleh karena obstruksi ureter di tempat ureter masuk ke dalam kandung kemih (Prawirohardjo, 1999).

Gambaran klinik dan diagnosis
Keputihan merupakan gejala yang paling sering ditemukan. Getah yang keluar dari vagina ini makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan. Dalam hal demikian, pertumbuhan tumor menjadi ulseratif. Perdarahan yang dialami setelah koitus merupakan gejala karsinoma serviks (Prawirohardjo, 1999).
Perdarahan yang timbul akibat terbukanya pembuluh darah makin lama akan lebih sering terjadi, juga diluar senggama (perdarahan spontan). Perdarahan spontan umumnya terjadi pada tingkat klinik yang lebih lanjut terutama pada tumor yang bersifat eksofitik. Pada wanita usia lanjut yang sudah tidak melayani suami secara seksual atau wanita menopause biasanya datang terlambat untuk meminta pertolongan. Perdarahan spontan pada saat defekasi perlu dicurigai kemungkinan adanya karsinoma serviks tingkat lanjut. Adanya bau busuk yang khas memperkuat dugaan adanya karsinoma. Anemia akan menyertai sebagai akibat perdarahan pervaginam yang berulang. Rasa nyeri akibat infiltrasi sel tumor ke serabut saraf, memerlukan pembiusan umum untuk dapat melakukan pemeriksaan dalam yang cermat, khususnya pada lumen vagina yang sempit dan dinding yang sklerotik dan meradang. Gejala lain yang dapat timbul ialah gejala yang timbul karena metastasis jauh. Sebelum tingkat akhir, penderita meninggal akibat perdarahan yang eksesif, kegagalan faal ginjal akibat infiltrasi tumor ke ureter sebelum memasuki kandung kemih, yang menyebabkan obstruksi total. Membuat diagnosis karsinoma serviks uterus yang klinis sudah agak lanjut tidaklah sulit. Yang jadi masalah ialah, bagaimana mendiagnosis dalam tingkat yang sangat awal, misalnya pada tingkat pra-invasif, lebih baik bila dapat menangkapnya dalam tingkatan pra-maligna (displasia) (Prawirohardjo, 1999).

E. Adenocarsinoma Endometrium
Terutama pada usia lanjut, 75% setelah menopause. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa stimulasi estrogen yang cukup lama dalam dosis yang cukup tinggi erat hubungannya dengan adenokarsinoma ini. Gejala yang tersering leukore, perdarahan vaginal ireguler, dan yang menyolok adalah perdarahan post menopausal (95%), disertai rasa nyeri dan fluor albus. Gambaran makroskopisnya tumbuh menonjol ke dalam cavum uteri, sehingga rongga rahim penuh dengan massa tumor. Uterus membesar jarang melebihi dua kali ukuran normal. Bentuk difus tumbuh pada sebagian besar dari endometrium, penuh dengan bentukan poliploid. Bentuk poliploid karena rapuh sering nekrotik diikuti ulcerasi pada permukaannya. Bentuk lokal dapat tumbuh pada setiap tempat dari endometrium terutama dinding posterior. Bentuk seringkali papiler atau poliploid yang sedikit menonjol. Gambaran mikroskopisnya adanya kelenjar-kelenjar yang proliferatif dengan sel epitel lebih dari selapis disertai tanda-tanda keganasan, sel-sel tumor berbentuk poligonal, invasi sel tumor ke stroma endometrium yang padat. Selain itu juga terdapat jaringan nekrotik. Penyakit dapat bermetastase secara limfogen lokal (limfonodi para aorta), perkontinuitatum (peritoneum leat tuba fallopii), hematogen (hati, paru, tulang melalui tumor sekunder vagina, ovarium). (Bagian PA UNS, 2008)


READ MORE - Carcinoma Servix

Mola Hidatidiformis

Mola hidatidiformis biasanya berupa suatu massa besar vilus korion yang membengkak, kadang-kadang mengalami dilatasi kistik, dan secara makroskopis tampak seperti anggur. Vilus yang membengkak ditutupi oleh epitel korion dari yang banal hingga sangat atipikal. Diketahui terdapat dua subtipe mola : mola komplet dan mola parsial. Mola hidatidiformis komplet tidak memungkinkan terjadinya embriogenesis sehingga tidak pernah mengandung bagian janin. Semua vilus korion abnormal, dan sel epitel korion bersifat dploid (46,XX atau yang jarang 46,XY). Mola hidatidiformis parsial masih memungkinkan pembentukan mudigah awal sehingga mengandung bagian-bagian janin, memiliki beberapa vilus korion yang normal, dan hampir selalu triploid (69,XXY). Kedua pola terjadi karena kelainan pembuahan; pada mola komplet, sebuah telur normal dibuahi oleh dua spermatozoa (atau satu sperma diploid), menghasilkan kariotipe diploid, sedangkan pada mola parsial sebuah sel telur normal dibuahi oleh dua spermatozoa (atau satu sperma diploid) sehingga terbentuk kariotipe triploid. (Kumar, 2007)
Insidensi mola hidatidiformis komplet adalah sekitar 1 hingga 1,5 per 2000 kehamilan di Amerika Serikat dan negara Barat lainnya. Karena alasan yang tidak diketahui, insidensi penyakit ini jauh lebih tinggi di negara Asia. Mola paling sering terjadi pada usia sebelum 20 tahun dan sesudah 40 tahun, dan adanya riwayat mola meningkatkan risiko untuk kehamilan berikutnya. Meskipun biasanya ditemukan pada minggu kehamilan 12 hingga 14 karena gestasi “terlalu besar untuk usianya”, pemantauan dini kehamilan dengan ultrasonografi telah berhasil menurunkan usia gestasi saat penyakit terdeteksi sehingga diagnosis “mola hidatidiformis komplet dini” lebih sering ditegakkan. Pada kedua keadaan, peningkatan kadar hCG dalam darah ibu bersamaan dengan adanya bagian janin atau bunyi jantung janin. (Kumar, 2007)


READ MORE - Mola Hidatidiformis

Hiperplasia Endometrium

Merupakan pertumbuhan dan penebalan abnormal dari endometrium. Biasanya ditemukan pada usia menjelang menopause, disebabkan ovulasi berkurang sehingga akibatnya progesteron juga berkurang. Selain itu kelainan ini juga dapat ditemukan pada keadaan hiperestrinisme yang absolut, misalnya pada kista folikel persisten (sindrom Stein-Leventhal), tumor sel granulosa, fungsi kortex adrenal yang berlebihan, pemberian estrogen yang berlebihan. Makroskopik endometrium tampak menebal, pucat dengan permukaan granuler. Gambaran mikroskopik menunjukkan kelenjar-kelenjar yang mekebar kistik, disebut “Swiss chesse hyperplasia”, dan diantaranya tampak kelenjar kecil-kecil yang tumbuhnya lebih padat. Epitel kelenjar bertumpuk-tumpuk, biasanya tanpa sekresi. Stroma sering mengandung sinusoid vaskuler yang melebar dan berdinding tipis, merupakan sebab perdarahan abnormal. Ada tidaknyua hubungan kelainan ini dengan adenokarsinoma endometrium tidaklah jelas. Ditemukannya hiperplasi kistik ini pada menopause disebabkan aktivitas kortex adrenal yang berlebihan, atau tumor ovarium dengan fungsi hormonal. (Sustina, 1973)
READ MORE - Hiperplasia Endometrium

Siklus Seksual Wanita

Tahun-tahun reproduksi normal dari wanita ditandai dengan perubahan ritmis bulanan dari kecepatan sekresi hormon-hormon wanita dan juga perubahan pada ovarium serta organ-organ seksual. Pola ritmis ini disebut siklus seksual wanita (atau siklus mestruasi, walaupun kurang tepat). Durasi siklus rata-rata 28 hari. Terdapat dua hasil yang bermakna dari siklus seksual wanita. Pertama hanya satu ovum matangb yang normalnya dikeluarkan dari ovarium setiap bulan, sehingga normalnya hanya ada satu janin yang dapat muali bertumbuh pada suatu waktu. Kedua endometrium uterus dipersiapkan untuk implantasi ovum yang telah dibuahi pada saat tertentu dalam bulan. Oleh karena itu siklus seksual wanita dibagi menjadi siklus ovarium dan siklus endometrium. (Guyton, 1997)
Selama beberapa hari pertama sesudah dimualinya menstruasi, konsentrasi FSH dan LH meningkat dari sedikit ke sedang, dimana peningkatan FSH sedikit lebih besar dan lebih awal beberapa hari dari LH. Hormon-hormon ini, khususnya FSH, dapat mempercepat pertumbuhan 6 sampai 12 folikel primer tiap bulan. Efek awalnya adalah proliferasi yang berlangsung cepat dari sel granulosa, menyebabkan lebih banyak lapisan sel-sel granulosa. Selain itu, banyak sel-sel berbentuk kumparan yang dihasilkan dari interstisium ovarium berkumpul dalam beberapa lapisan di luar sel granulosa, membentuk kelompok sel kedua yang disebut teka. Teka terbagi menjadi dua sublapisan: teka interna dan eksterna. Sesudah tahap awal massa sel granulosa akan mensekresi cairan folikuler yang mengandung estrogen. Pengumpulan ini mengakibatkan munculnya antrum. Sekali antrum terbentuk sel granulosa dan teka akan berproliferasi lebih cepat dan masing-masing folikel tumbuh menjadi folikel antral. Hal ini dirangsang oleh FSH. Kemudian folikel akan berkembang ke arah yang lebih besar yaitu folikel vesikular. Peningkatan pertumbuhan ini terjadi sebagai berikut : (1) Estrogen disekresikan ke dalam folikel dan menyebabkan sel-sel granulosa membentuk reseptor FSH yang banyak. (2) FSH dari hipofisis dan estrogen bergabung untuk memacu reseptor LH terhadap sel granulosa juga, sehingga membentuk peningkatan sekresi folikular yang cepat. (3) Peningkatan estrogen dan LH menyebabkan proliferasi sel teka dan sekresi folikular. Diameter ovum membesar empat kali lipat lagi. Setelah pertumbuhan selama satu minggu salah satu dari folikel mulai tumbuh melebihi semua folikel yang lain; sisanya akan berinvolusi (yang disebut atresia). Proses selanjutnya adalah ovulasi. Sesudah ovulasi, sel-sel sekretorik akan berkembang menjadi korpus luteum yang mensekresi progesteron dan estrogen. Dua minggu kemudian korpus luteum akan berdegenerasi dan terjadi menstruasi. Keadaan ini diikuti siklus ovarium yang baru. (Guyton, 1997)
Tahapan pada siklus endometrium antara lain: fase proliferasi (11 hari), sekretorik (12 hari), menstruasi (5 hari). Fase proliferasi terjadi sebelum ovulasi. Di bawah pengaruh estrogen, yang disekresi dalam jumlah lebih banyak oleh ovarium selama bagian pertama siklus ovarium, sel-sel stroma dan dan epitel berproliferasi dengan cepat. Fase sekretorik terjadi setelah ovulasi. Pada puncak fase sekretorik, sekitar satu minggu setelah ovulasi, ketebalan endometrium sudah menjadi lima sampai enam milimeter. Hal ini terjadi untuk menghasilkan endometrium yang sangat sekretorik, yang mengandung sejumlah besar cadangan nutrien yang dapat membentuk kondisi yang cocok untuk implantasi ovum selama separuh akhir siklus bulanan. Kira-kira dua hari sebelum akhir siklus bulanan, korpus luteum tiba-tiba berinvolusi dan hormon-hormon ovarium, estrogen dan progesteron, menurun dengan tajam sampai kadar sekresi yang rendah, kemudian terjadi menstruasi. Selama menstruasi normal, 40 mililiter darah dan tambahan 35 ml cairan serus dikeluarkan. Kadang-kadang leukore juga muncul selama menstruasi. Untuk menghentikan semua proses ini diperlukan suatu regulator. Dalam jumlah yang kecil estrogen mempunyai efek yang kuat dalam menghambat produksi LH dan FSH. Efek ini akan berlipat ganda jika ada progesteron. Selain itu masih ada satu hormon lain yaitu hormon inhibin, yang disekresikan bersama dengan hormon seks steroid oleh sel granulosa korpus luteum. (Guyton, 1997)


READ MORE - Siklus Seksual Wanita