Jumat, 05 Desember 2008

Epilepsi

Epilepsi adalah suatu penyakit pada seseorang yang mengalami kejang rekuren non metabolik yang disebabkan oleh suatu proses kronik yang mendasarinya. Kelainan epilepsi cukup sering dijumpai. Dari berbagai hasil penelitian didapatkan bahwa di antara 1000 orang penduduk didapatkan 5-20 orang penderita epilepsi. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai prevalensi epilepsi di Indonesia. Di beberapa tempat di dunia ini telah dilakukan penelitian mengenai epilepsi, dari penelitian-penelitian ini didapat kesan bahwa prevalensi epilepsi lebih tinggi di negara berkembang di banding negara industri. Diduga faktor-faktor yang turut berperan, misalnya: perawatan saat ibu hamil, keadaan waktu melahirkan, trauma lahir, kekurangan gizi, dan penyakit infeksi. Epilepsi dapat diklasifikasikan sebagai idiopatik atau simtomatik. Pada epilepsi idiopatik atau esensial, tidak dapat dibuktikan adanya lesi sentral. Pada epilepsi simtomatik atau sekunder, suatu kelainan otak menimbulkan timbulnya respon kejang. (Lumbantobing, 1998; Wilson, 2005)
READ MORE - Epilepsi

Kejang

Kejang merupakan keadaan dimana terjadinya proses pelepasan muatan parenkimia yang berlebihan dari suatu populasi neuron karena kondisi patologis tertentu sehingga mengganggu fungsi normal otak. Kejang diklasifikasikan menjadi dua yaitu parsial dan generalisata. Kejang parsial ditandai dengan utuhnya kesadaran walaupun masih mungkin berubah dan fokus di salah satu sisi tetapi dapat menyebar ke bagian lain. Kejang generalisata ditandai dengan hilangnya kesadaran, tidak ada awitan fokal, bilateral dan simetrik, serta tidak adanya aura. Kejang parsial dibagi lagi menjadi kejang parsial sederhana dan kompleks. Parsial sederhana sifat kesadaran utuh, dapat bersifat motorik dan sensorik, dan biasanya berlangsung kurang dari 1 menit. Kompleks memiliki sifat adanya perubahan kesadaran yang disertai gejala motorik, sensorik, dan otomatisme serta biasanya berlangsung 1-3 menit. Kejang generalisata dibagi menjadi: (1) Tonik-Klonik, terjadi tonik-klonik otot, inkontinensia urin dan alvi, menggigit lidah, fase pascaiktus; (2) Absence, terjadi tatapan kosong, kepala sedikit lunglai, kelopak mata bergetar, berlangsung beberapa detik; (3) Mioklonik, kontraksi mirip syok mendadak yang terbatas di beberapa otot atau tungkai cenderung singkat; (4) Atonik, hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lenyapnya postur tubuh; (5) Klonik, gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal atau multipel di lengan, tungkai, atau torso; (6) Tonik, terjadi peningkatan secara mendadak tonus otot. (Dorland. 2006; Wilson, 2005; Mardjono, 2005)
READ MORE - Kejang

Syncope (pingsan)

Pada serangan sinkop didapatkan penurunan kesadaran atau kehilangan kesadaran yang berlangsung sepintas. Sinkop dapat didefinisikan sebagai menghilangnya kesadaran sepintas yang disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ke otak. Pada serangan sinkop terjadi penurunan hebat dari tekanan darah. Hal ini menyebabkan aliran darah ke otak berkurang. Serangan sinkop dapat dihentikan bila penderita merebahkan kepalanya, lebih rendah dari letak jantung, atau bila ia segera berbaring.

Pada sinkop, sebelum kesadaran menghilang, didapatkan gejala pendahuluan berupa rasa lemah, penglihatan kunang-kunang, kabur, dan gelap, kepala terasa ringan, keringat dingin, merasa tidak enak di perut, merasa pengap, dan tampak pucat. Jarang sekali sinkop terjadi tanpa gejala pendahuluan. Bila sekiranya terjadi penurunan kesadaran tanpa gejala pendahuluan maka kemungkinan sinkop harus disanksikan. Serangan sinkop umumnya mempunyai pencetus. Pencetus ini misalnya: berdiri lama, berada di ruangan yang pengap, panas, dan sesak; mengalami gangguan emosi; mengalami keadaan yang sedih; oleh rasa nyeri; melihat darah maupun melihat sesuatu yang dianggap mengerikan.
Bila sinkop berlangsung lama, dapat terjadi kejang klonik pada ekstremitas dan penderitanya mengompol. Namun, hal ini jarang sekali terjadi (Lumbantobing, 1998).


READ MORE - Syncope (pingsan)

Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf serta Mekanisme Penghantaran Impuls

Sistem saraf terdiri atas sel-sel saraf (neuron) dan sel-sel penyokong (neuroglia dan Sel Schwann). Kedua sel tersebut demikian erat berikatan dan terintegrasi satu sama lain sehingga bersama-sama berfungsi sebagai satu unit. Sistem saraf dibagi menjadi sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan medula spinalis. Sistem saraf tepi terdiri dari neuron aferen dan eferen sistem saraf somatis dan neuron sistem saraf autonom (viseral). Otak dibagi menjadi telensefalon, diensefalon, mesensefalon, metensefalon, dan mielensefalon. Medula spinalis merupakan suatu struktur lanjutan tunggal yang memanjang dari medula oblongata melalui foramen magnum dan terus ke bawah melalui kolumna vertebralis sampai setinggi vertebra lumbal 1-2. Secara anatomis sistem saraf tepi dibagi menjadi 31 pasang saraf spinal dan 12 pasang saraf kranial. Suplai darah pada sistem saraf pusat dijamin oleh dua pasang arteria yaitu arteria vertebralis dan arteria karotis interna, yang cabang-cabangnya akan beranastomose membentuk sirkulus arteriosus serebri Wilisi. Aliran venanya melalui sinus dura matris dan kembali ke sirkulasi umum melalui vena jugularis interna. (Wilson. 2005, Budianto. 2005, Guyton. 1997)

Membran plasma dan selubung sel membentuk membran semipermeabel yang memungkinkan difusi ion-ion tertentu melalui membran ini, tetapi menghambat ion lainnya. Dalam keadaan istirahat (keadaan tidak terstimulasi), ion-ion K+ berdifusi dari sitoplasma menuju cairan jaringan melalui membran plasma. Permeabilitas membran terhadap ion K+ jauh lebih besar daripada permeabilitas terhadap Na+ sehingga aliran keluar (efluks) pasif ion K+ jauh lebih besar daripada aliran masuk (influks) Na+. Keadaan ini memngakibatkan perbedaan potensial tetap sekitar -80mV yang dapat diukur di sepanjang membran plasma karena bagian dalam membran lebih negatif daripada bagian luar. Potensial ini dikenal sebagai potensial istirahat (resting potential). (Snell. 2007)
Bila sel saraf dirangsang oleh listrik, mekanik, atau zat kimia, terjadi perubahan yang cepat pada permeabilitas membran terhadap ion Na+ dan ion Na+ berdifusi melalui membran plasma dari jaringan ke sitoplasma. Keadaan tersebut menyebabkan membran mengalami depolarisasi. Influks cepat ion Na+ yang diikuti oleh perubahan polaritas disebut potensial aksi, besarnya sekitar +40mV. Potensial aksi ini sangat singkat karena hanya berlangsung selama sekitar 5msec. Peningkatan permeabilitas membran terhadap ion Na+ segera menghilang dan diikuti oleh peningkatan permeabilitas terhadap ion K+ sehingga ion K+ mulai mengalir dari sitoplasma sel dan mengmbalikan potensial area sel setempat ke potensial istirahat. Potensial aksi akan menyebar dan dihantarkan sebagai impuls saraf. Begitu impuls menyebar di daerah plasma membran tertentu potensial aksi lain tidak dapat segera dibangkitkan. Durasi keadaan yang tidak dapat dirangsang ini disebut periode refrakter. Stimulus inhibisi diperkirakan menimbulkan efek dengan menyebabkan influks ion Cl- melalui membran plasma ke dalam neuron sehingga menimbulkan hiperpolarisasi dan mengurangi eksitasi sel. (Snell. 2007)


READ MORE - Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf serta Mekanisme Penghantaran Impuls

Stroke hemoragik

Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15% sampai 20% dari semua stroke, dapat terjadi apabila lesi vaskular untraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang sub araknoid atau langsung ke dalam jaringan otak. Biasanya stroke hemoragik secara cepat menyebabkan krusakkan fungsi otak dan kehilangan kesadaran. Namun apabila perdarahan berlangsung lambat, pasien kemungkinan besar mengalami nyeri kepala hebat, yang merupakan skenario khas perdarahan subaraknoid (PSA). Tindakan pencegahan utama untuk perdarahan otak adalah mencegah cedera kepala dan mengendalikan tekanan darah. (Wilson. 2005)
READ MORE - Stroke hemoragik

Stroke iskemik

Stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat, berlangsung lebih dari 24 jam, atau berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab lain selain daripada gangguan vaskular. Stroke iskemik dapat terjadi ketika pasokan darah ke otak berkurang. Stroke iskemik dijumpai dalan 4 bentuk klinis: (1)TIA (Transient Ischemic Attack) yang akan menghilang dalam waktu 24 jam;(2)RIND (Reversible Ischemic Neurological Defisit) gejala muncul dalam waktu lebih lama dari 24 jam tetapi tidak samapai seminggu; (3)Stroke progresif yang dengan gejala neurologik makin lama makin berat; (4)Stroke komplet saat gejala klinis sudah menetap. Manifestasi klinis utama ialah timbulnya defisit neurologik secara mendadak/sub akut, didahului gejala prodomal, terjadi pada waktu istirahat atau bangun pagi dan kesadaran tidak menurun. Biasanya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun. Pada pungsi lumbal lqs jernih, tekanan normal, dan eritrosit kuran dari 500. (Harsono. 2007)
READ MORE - Stroke iskemik

Stroke iskemik

Stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat, berlangsung lebih dari 24 jam, atau berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab lain selain daripada gangguan vaskular. Stroke iskemik dapat terjadi ketika pasokan darah ke otak berkurang. Stroke iskemik dijumpai dalan 4 bentuk klinis: (1)TIA (Transient Ischemic Attack) yang akan menghilang dalam waktu 24 jam;(2)RIND (Reversible Ischemic Neurological Defisit) gejala muncul dalam waktu lebih lama dari 24 jam tetapi tidak samapai seminggu; (3)Stroke progresif yang dengan gejala neurologik makin lama makin berat; (4)Stroke komplet saat gejala klinis sudah menetap. Manifestasi klinis utama ialah timbulnya defisit neurologik secara mendadak/sub akut, didahului gejala prodomal, terjadi pada waktu istirahat atau bangun pagi dan kesadaran tidak menurun. Biasanya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun. Pada pungsi lumbal lqs jernih, tekanan normal, dan eritrosit kuran dari 500. (Harsono. 2007)
READ MORE - Stroke iskemik

Demensia

Demensia adalah hilangnya fungsi kognisi secara multidimensional dan terus menerus, disebabkan oleh kerusakan organik sistem saraf pusat, tidak disertai oleh penurunan kesadaran akut seperti pada delirium. Gambaran klinik yang muncul antar lain gangguan memori, afasia, apraksia, agnosia. Jenis-jenis demensia antara lain demensia akibat Alzheimer, demensia vaskular, demensia karena kondisi medik umum lainnya. Untuk menegakkan diagnosis dapat mengunakan pemriksaan memori, kemampuan berbahasa, apraksia, daya abstraksi dan mental state examination. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah diagnosis demensia tidak boleh ditegakkan apabila defisit kognitif muncul secara eksklusif pada saat terjadi delirium. Untuk demensia tidak ada terapi spesifik atau drug of choice. Terapi demensia bukan sekedar pemberian obat-obatan . Pihak keluarga harus diberi penyuluhan tentang situasi demensia; dengan demikian keluarga dapat merawat penderita dengan tepat. (Harsono. 2007)
READ MORE - Demensia

Hemiplegia akibat lesi di korteks motorik primer

Hemiplegia (hemiparesis) adalah kerusakan pada seluruh korteks piramidalis sesisi menimbulkan kelumpuhan UMN (Upper Motor Neuron) pada belahan tubuh sisi kontralateral. Pada tahap pertama hemiparesis karena lesi kontralateral sesisi, otot-otot wajah yang berada di atas fisura palpebrale masih dapat digerakkan secara wajar. Pada tahap ini lidah menunjukkan kelumpuhan pada sisi kontralateral. Pada penyumbatan cabang kortikal a.cerebri media terjadi kelumpuhan pada bagian bawah wajah sisi kontralateral, lidah belahan kontralateral, dan otot-otot leher sisi kontralateral. Jika terjadi tumor di sekitar falx cerebri menekan pada kedua sisi korteks piramidalis, maka kedua daerah somatotropik kedua tungkai bisa mengalami gangguan, sehingga terjadi kelumpuhan UMN pada kedua tungkai (paraplegia). Lesi yang merusak korteks piramidalis jarang terbatas pada area 4 saja, melainkan melibatkan daerah di depan dan di belakangnya. Dalam hal itu gejala pengiringnya bisa berupa hipestesia atau gangguan berbahasa. (Mardjono. 2003)
READ MORE - Hemiplegia akibat lesi di korteks motorik primer

Anatomi dan fisiologi sistem saraf

Sistem saraf terdiri atas sel-sel saraf (neuron) dan sel-sel penyokong (neuroglia dan Sel Schwann). Kedua sel tersebut demikian erat berikatan dan terintegrasi satu sama lain sehingga bersama-sama berfungsi sebagai satu unit. Sistem saraf dibagi menjadi sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan medula spinalis. Sistem saraf tepi terdiri dari neuron aferen dan eferen sistem saraf somatis dan neuron sistem saraf autonom (viseral). Otak dibagi menjadi telensefalon, diensefalon, mesensefalon, metensefalon, dan mielensefalon. Medula spinalis merupakan suatu struktur lanjutan tunggal yang memanjang dari medula oblongata melalui foramen magnum dan terus ke bawah melalui kolumna vertebralis sampai setinggi vertebra lumbal 1-2. Secara anatomis sistem saraf tepi dibagi menjadi 31 pasang saraf spinal dan 12 pasang saraf kranial. Suplai darah pada sistem saraf pusat dijamin oleh dua pasang arteria yaitu arteria vertebralis dan arteria karotis interna, yang cabang-cabangnya akan beranastomose membentuk sirkulus arteriosus serebri Wilisi. Aliran venanya melalui sinus dura matris dan kembali ke sirkulasi umum melalui vena jugularis interna. (Wilson. 2005, Budianto. 2005, Guyton. 1997)
READ MORE - Anatomi dan fisiologi sistem saraf

Tetraplegia akibat lesi di medula spinalis

Tiap lesi di medula spinalis yang merusak daerah jaras kortikospinal lateral menimbulkan kelumpuhan UMN pada otot bagian tubuh yang terletak di bawah tingkat lesi. Lesi yang memotong melintang (transversal) medula spinalis pada tingkat servikal misalnya C.5, mengakibatkan kelumpuhan UMN pad otot-otot tubuh yang berada di bawah C.5, yaitu sebagian dari otot-otot kedua lengan yang berasal dari miotoma C.6-C.8, lalu otot thoraks dan abdomen serta segenap muskulatur kedua tungkai. Kelumpuhan semacam ini disebut tetraplegia. Tetraplegia dapat disebabkan oleh infeksi (mielitis tranversa). Satu sampai dua segmen medula spinalis dapat terusak sekaligus. Infeksi langsung dapat terjadi melalui emboli septik, luka terbuka dari tulang belakang, penjalaran osteomielitis, atau perluasan proses meningitis piogenik. (Mardjono. 2003)
READ MORE - Tetraplegia akibat lesi di medula spinalis

HIV AIDS

Etiologi
Virus HIV termasuk Retrovirus yang sangat mudah mengalami mutasi sehingga sulit untuk menemukan obat yang dapat membunuh virus tersebut. Daya penularan pengidap HIV tergantung pada sejumlah virus yang ada didalam darahnya, semakin tinggi/semakin banyak virus dalam darahnya semakin tinggi daya penularannya sehingga penyakitnya juga semakin parah. Virus HIV atau virus AIDS, sebagaimana Virus lainnya sebenarnya sangat lemah dan mudah mati di luar tubuh. Virus akan mati bila dipanaskan sampai temperatur 60° selama 30 menit, dan lebih cepat dengan mendidihkan air. Seperti kebanyakan virus lain, virus AIDS ini dapat dihancurkan dengan detergen yang dikonsentrasikan dan dapat dinonaktifkan dengan radiasi yang digunakan untuk mensterilkan peralatan medis atau peralatan lain. (Zulkifli. 2004)

Patogenesis
Supaya terjadi infeksi, virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah putih yang disebut limfosit. Materi genetik virus dimasukkan ke dalam DNA sel yang terinfeksi. Di dalam sel, virus berkembangbiak dan pada akhirnya menghancurkan sel serta melepaskan partikel virus yang baru. Partikel virus yang baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya. Virus menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang disebut CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. Sel-sel yang memiliki reseptor CD4 biasanya disebut sel CD4+ atau limfositpenolong. Limfosit T penolong berfungsi mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya pada sistem kekebalan (misalnya limfosit B, makrofag dan limfosit T sitotoksik), yang kesemuanya membantu menghancurkan sel-sel ganas dan organisme asing. Infeksi HIV menyebabkan hancurnya limfosit T penolong, sehingga terjadi kelemahan sistem tubuh dalam melindungi dirinya terhadap infeksi dan kanker.
Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T penolong melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau tahun:
1. Seseorang yang sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV, jumlahnya menurun sebanyak 40-50%. Selama bulan-bulan ini penderita bisa menularkan HIV kepada orang lain karena banyak partikel virus yang terdapat di dalam darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus, tetapi tubuh tidak mampu meredakan infeksi.
2. Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus di dalam darah mencapai kadar yang stabil, yang berlainan pada setiap penderita. Perusakan sel CD4+ dan penularan penyakit kepada orang lain terus berlanjut.
Kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang rendah membantu dokter dalam menentukan orang-orang yang beresiko tinggi menderita AIDS.
3. 1-2 tahun sebelum terjadinya AIDS, jumlah limfosit CD4+ biasanya menurun drastis. Jika kadarnya mencapai 200 sel/mL darah, maka penderita menjadi rentan terhadap infeksi.
Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B (limfosit yang menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan produksi antibodi yang berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk melawan HIV dan infeksi yang dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak banyak membantu dalam melawan berbagai infeksi oportunistik pada AIDS. Pada saat yang bersamaan, penghancuran limfosit CD4+ oleh virus menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam mengenali organisme dan sasaran baru yang harus diserang. (Anonim, 2007)

Manifestasi Klinik
Masa Inkubasi penyakit ini belum diketahui secara pasti. Dalam beberapa literatur di katakan bahwa melalui transfusi darah masa inkubasi kira-kira 4,5 tahun, sedangkan pada penderita homoseksual 2 -5 tahun, pada anak- anak rata – rata 21 bulan dan pada orang dewasa 60 bulan. (Zulkifli, 2004)
Dari 6700 laki -laki hokoseksual / biseksual si San Francisco dilakukan studi Cohort, 36% dari infekssi HIV setelah 88 bulan menjaddi penderita AIDS, sedangkan 20% sama sekali tidak ada timbul gejala AIDS.Gejala penderita AIDS dapat timbul dari ringan sampai berat, bahan di Amerika Serikat ditemukan ratusan ribu orang yang dalam darahnya mengandung virus HIV tanpa gejala klinis. (Zulkifli, 2004)
Ada terdapat 5 stadium penyakit AIDS, yaitu:
1. Gejala awal stadium infeksi yaitu :
• Demam
• Kelemahan
• Nyeri sendi I
• Nyeri tenggorok
• Pembesaran kelenjaran getah bening
2. Stadium tanpa gejala
Stadium dimana penderita nampak sehat, namun dapat merupakan sumber penularan infeksi HIV.
3. Gejala stadium ARC
• Demam lebih dari 38°C secara berkala atau terus.
• Menurunnya berat badan lebih dari 10% dalam waktu 3 bulan.
• Pembesaran kelenjar getah bening.
• Diare mencret yang berkala atau terus menerus dalam waktu yang lama tanpa sebab yang jelas.
• Kelemahan tubuh yang menurunkan aktifitas fisik.
• Keringat malam.
4. Gejala AIDS
• Gejala klinis utama yaitu terdapatnya kanker kulit yang disebut Sarkoma Kaposi (kanker pembuluh darah kapiler) juga adanya kanker kelenjar getah bening.
• Terdapat infeksi penyakit penyerta misalnya pneomonia, pneu-mocystis,TBC, serta penyakit infeksi lainnya seperti teksoplasmosis.
5. Gejala gangguan susunan saraf
• Lupa ingatan
• Kesadaran menurun
• Perubahan Kepribadian
• Gejala–gejala peradangan otak atau selaput otak
• Kelumpuhan
(Zulkifli, 2004)
Beberapa infeksi oportunistik dan kanker merupakan ciri khas dari munculnya AIDS:
1. Thrush.
Pertumbuhan berlebihan jamur Candida di dalam mulut, vagina atau kerongkongan, biasanya merupakan infeksi yang pertama muncul.
Infeksi jamur vagina berulang yang sulit diobati seringkali merupakan gejala dini HIV pada wanita. Tapi infeksi seperti ini juga bisa terjadi pada wanita sehat akibat berbagai faktor seperti pil KB, antibiotik dan perubahan hormonal.
2. Pneumonia pneumokistik.
Pneumonia karena jamur Pneumocystis carinii merupakan infeksi oportunistik yang sering berulang pada penderita AIDS.
Infeksi ini seringkali merupakan infeksi oportunistik serius yang pertama kali muncul dan sebelum ditemukan cara pengobatan dan pencegahannya, merupakan penyebab tersering dari kematian pada penderita infeksi HIV
3. Toksoplasmosis.
Infeksi kronis oleh Toxoplasma sering terjadi sejak masa kanak-kanak, tapi gejala hanya timbul pada sekelompok kecil penderita AIDS.
Jika terjadi pengaktivan kembali, maka Toxoplasma bisa menyebabkan infeksi hebat, terutama di otak.
4. Tuberkulosis.
Tuberkulosis pada penderita infeksi HIV, lebih sering terjadi dan bersifat lebih mematikan.
Mikobakterium jenis lain yaitu Mycobacterium avium, merupakan penyebab dari timbulnya demam, penurunan berat badan dan diare pada penderita tuberkulosa stadium lanjut.
Tuberkulosis bisa diobati dan dicegah dengan obat-obat anti tuberkulosa yang biasa digunakan.
5. Infeksi saluran pencernaan.
Infeksi saluran pencernaan oleh parasit Cryptosporidium sering ditemukan pada penderita AIDS. Parasit ini mungkin didapat dari makanan atau air yang tercemar.
Gejalanya berupa diare hebat, nyeri perut dan penurunan berat badan.
6. Leukoensefalopati multifokal progresif.
Leukoensefalopati multifokal progresif merupakan suatu infeksi virus di otak yang bisa mempengaruhi fungsi neurologis penderita.
Gejala awal biasanya berupa hilangnya kekuatan lengan atau tungkai dan hilangnya koordinasi atau keseimbangan.
Dalam beberapa hari atau minggu, penderita tidak mampu berjalan dan berdiri dan biasanya beberapa bulan kemudian penderita akan meninggal.
7. Infeksi oleh sitomegalovirus.
Infeksi ulangan cenderung terjadi pada stadium lanjut dan seringkali menyerang retina mata, menyebabkan kebutaan.
Pengobatan dengan obat anti-virus bisa mengendalikan sitomegalovirus.
8. Sarkoma Kaposi.
Sarkoma Kaposi adalah suatu tumor yang tidak nyeri, berwarna merah sampai ungu, berupa bercak-bercak yang menonjol di kulit.
Tumor ini terutama sering ditemukan pada pria homoseksual.
9. Kanker.
Bisa juga terjadi kanker kelenjar getah bening (limfoma) yang mula-mula muncul di otak atau organ-organ dalam.
Wanita penderita AIDS cenderung terkena kanker serviks.
Pria homoseksual juga mudah terkena kanker rektum. (Anonim, 2007)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang relatif sederhana dan akurat adalah pemeriksaan darah yang disebut tes ELISA. Dengan pemeriksaan ini dapat dideteksi adanya antibodi terhadap HIV, hasil tes secara rutin diperkuat dengan tes yang lebih akurat. Ada suatu periode (beberapa minggu atau lebih setelah terinfeksi HI) dimana antibodi belum positif. Pada periode ini dilakukan pemeriksaan yang sangat sensitif untuk mendeteksi virus, yaitu antigen P24 . Antigen P24 belakangan ini digunakan untuk menyaringan darah yang disumbangkan untuk keperluan transfusi. Jika hasil tes ELISA menunjukkan adanya infeksi HIV, maka pada contoh darah yang sama dilakukan tes ELISA ulangan untuk memastikannya. Jika hasil tes ELISA yang kedua juga positif, maka langkah berikutnya adalah memperkuat diagnosis dengan tes darah yang lebih akurat dan lebih mahal, yaitu tes apusan Western. Tes ini juga bisam enentukan adanya antibodi terhadap HIV, tetapi lebih spesifik daripada ELISA. Jika hasil tes Western juga positif, maka dapat dipastikan orang tersebut terinfeksi HIV. (Anonim, 2007)

Penatalaksanaan
Pada saat ini sudah banyak obat yang bisa digunakan untuk menangani infeksi HIV:
1. Nucleoside reverse transcriptase inhibitor
- AZT (zidovudin)
- ddI (didanosin)
- ddC (zalsitabin)
- d4T (stavudin)
- 3TC (lamivudin)
- Abakavir
2. Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor
- Nevirapin
- Delavirdin
- Efavirenz
3. Protease inhibitor
- Saquinavir
- Ritonavir
- Indinavir
- Nelfinavir.
Semua obat-obatan tersebut ditujukan untuk mencegah reproduksi virus sehingga memperlambat progresivitas penyakit. HIV akan segera membentuk resistensi terhadap obat-obatan tersebut bila digunakan secara tunggal. Pengobatan paling efektif adalah kombinasi antara 2 obat atau lebih, Kombinasi obat bisa memperlambat timbulnya AIDS pada penderita HIV positif dan memperpanjang harapan hidup. Dokter kadang sulit menentukan kapan dimulainya pemberian obat-obatan ini. Tapi penderita dengan kadar virus yang tinggi dalam darah harus segera diobati walaupun kadar CD4+nya masih tinggi dan penderita tidak menunjukkan gejala apapun. AZT, ddI, d4T dan ddC menyebabkan efek samping seperti nyeri abdomen, mual dan sakit kepala (terutama AZT). Penggunaan AZT terus menerus bisa merusak sumsum tulang dan menyebabkan anemia. ddI, ddC dan d4T bisa merusak saraf-saraf perifer. ddI bisa merusak pankreas. Dalam kelompok nucleoside, 3TC tampaknya mempunyai efek samping yang paling ringan. Ketiga protease inhibitor menyebabkan efek samping mual dan muntah, diare dan gangguan perut. Indinavir menyebabkan kenaikan ringan kadar enzim hati, bersifat reversibel dan tidak menimbulkan gejala, juga menyebabkan nyeri punggung hebat (kolik renalis) yang serupa dengan nyeri yang ditimbulkan batu ginjal.Ritonavir dengan pengaruhnya pada hati menyebabkan naik atau turunnya kadar obat lain dalam darah. Kelompok protease inhibitor banyak menyebabkan perubahan metabolisme tubuh seperti peningkatan kadar gula darah dan kadar lemak, serta perubahan distribusi lemak tubuh (protease paunch). (Anonim, 2007)
Penderita AIDS diberi obat-obatan untuk mencegah infeksi oportunistik. Penderita dengan kadar limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mL darah mendapatkan kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol untuk mencegah pneumonia pneumokistik dan infeksi toksoplasma ke otak. Penderita dengan limfosit CD4+ kurang dari 100 sel/mL darah mendapatkan azitromisin seminggu sekali atau klaritromisin atau rifabutin setiap hari untuk mencegah infeksi Mycobacterium avium. Penderita yang bisa sembuh dari meningitis kriptokokal atau terinfeksi candida mendapatkan flukonazol jangka panjang. Penderita dengan infeksi herpes simpleks berulang mungkin memerlukan pengobatan asiklovir jangka panjang. (Anonim, 2007)


READ MORE - HIV AIDS

Reaksi Peradangan Lokal dan Sistemik

Bila sel-sel atau jaringan-jaringan tubuh mengalami cedera, jaringan hidup di sekitarnya akan membuat suatu respons mencolok yang disebut peradangan. Peradangan merupakan suatu fenomena yang menguntungkan dan defensif, yang menghasilkan netralisasi dan eliminasi agen penyerang, penghancuran zat nekrotik, dan terbentuknya keadaan yang diperlukan untuk perbaikan dan pemulihan. Peradangan ini dapat terjadi secara lokal ataupun sistemik. Peradangan sistemik terjadi jika sistem imunitas tubuh tidak mampu untuk menahan agen penyerang. Mekanisme dari peradangan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama-tama reaksi yang akan muncul adalah respon imun nonspesifik. Basofil atau lebih tepatnya sel mast yang berada di jaringanlah yang mengetahui masuknya suatu agen penyerang. Basofil atau mastosit akan mengeluarkan faktor-faktor untuk memanggil leukosit jenis lain. Contohnya faktor kemotaktik eosinofil untuk memanggil eosinofil. Basofil juga melepaskan mediator kimiawi seperti bradikinin untuk melebarkan pembuluh darah agar teman-temannya dapat masuk. Setelah itu tugas diambil alih oleh netrofil. Netrofil dapat memfagosit benda asing dengan cepat namun kekurangannya hanya dapat sekali pakai. Netrofil akan mati setelah memfagosit. Pertahanan selanjutnya adalah makrofag. Makrofag berasal dari monosit yang sudah teraktivasi. Makrofag dapat memakan lebih banyak dan berkali-kali namun sayang aktifasinya lambat. Jika respon imun nonspesifik ini tidak berhasil maka respon imun spesifik akan bekerja. Makrofag akan berubah fungsi sebagai Antigen Presenting Cell (APC) yang memperlihatkan serpihan antigen penyerang dengan membawanya di Major Histocompatability Complex (disingkat MHC, pada manusia disebut Human Leukocyte Antigen [HLA]) tipe II. MHC II akan berikatan dengan Limfosit T helper (CD4) pada bagian T Cell Receptor (TCR). Sel T helper akan memproduksi mediator kimiawi seperti interleukin 2,4,5 yang digunakan untuk pematangan sel B pembentuk antibodi, interferon gamma untuk memanggil makrofag lain, interleukin 2 juga digunakan untuk mengaktifkan sel T lain sperti T sitotoksik (CD8) yang dapat membunuh dengan menggunakan enzim perforase yang dapat melubangi membran sel target. Jadi dapat dikatakan bahwa sel T helper adalah jenderal dar sistem imun. Makrofag sebagai APC juga akan mengeluarkan interleukin 1 sebagai respon atas keluarnya mediator kimiawi T helper. Menurut penelitian interleukin 1 dapat mengaktivasi prostatglandin yang kemudian berdampak pada pengaturan suhu tubuh. Hal inilah yang menyebabkan adanya demam pada sebagian besar proses inflamasi. Setelah dirangsang pematangannya oleh sel T helper, sel B berkembang menjadi imunoglobluin (antibodi) yang akan bertugas menetralisir agen penyerang. Adanya kompleks antigen-antibodi akan memicu sistem komplemen tipe klasik yang bertugas untuk menjaga respon imun tetap terus berlanjut sampai agen penyerang mati. Contohnya C3b yang mengakibatkan opsonisasi yaitu penempelan beberapa kompleks antigen antibodi untuk bersama-sama dikeluarkan atau dihancurkan. Komplemen C5b6789 berfungsi sebagai zat pelisis membran sel target bersama-sama dengan sel T sitotoksik. Semua hal itu membutuhkan kerjasama yang baik antar semua komponen sistem imun. (Boedina, 2003; Guyton 1997; Wilson, 2005)

Respon tersebut dapat terjadi secara sistemik. Respons sistemik pejamu terhadap infeksi dimana patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi disebut sepsis. Patofisiologi syok sepsis tidak terlepas dari patofisiologi sepsis itu sendiri dimana endotoksin (lipopolisakarida) yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses inflamasi yang melibatkan berbagai mediator inflamasi yaitu: sitokin, neutrofil, komplemen, NO, dan berbagai mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis merupakan proses homeostasis dimana terjadi keseimbangan antara ploses inflamasi dan antiinflamasi. Kemampuan homeostasis pada proses inflamasi ini terkait dengan faktor suseptibilitas individu terhadap proses inflamasi tersebut. Bilamana terjadi proses inflamasi yang melebihi kemampuan homeostatis, maka akan terjadi proses inflamasi yang maladaptif, sehingga terjadi berbagai proses inflamasi yang bersifat destruktif. Keadaan tersebut akan menimbulkan gangguan pada tingkat selular pada berbagai organ. (Chen, 2007)


READ MORE - Reaksi Peradangan Lokal dan Sistemik

Meningitis

Etiologi
Meningitis pyogenic akut merupakan suatu respon inflamasi terhadap infeksi bakteria yang mengenai pria dan arakhnoid. Tiga organisme utama yang dapat menyebabkan meningitis pyogenic adalah Diplococcus pneumonia, Neisseria meningitis dan Haemophilus influenzae . Insiden dari type bakteri penyebab bervariasi menurut umur penderita. Pada Neonatal (0-2 bula) bakteri peneybab meningitis adalah Streptococcus Group B. E. Coli, Staph. Aureus, Enterobacter dan pseudomonas. Pada anak-anak sering disebabkan oleh Haemophilus influenzae, N. Meningitidis dan S. pneumoniae. Pada dewasa muda (6-20 tahun) yaitu N. meningitidis. S. pneumonia dan H. influenzae. Sedangkan pada dewasa (>20 tahun) adalah S. pneumonia, N. Meningitidis, Sterptococcus dan Staphylococcus. (Japardi, 2002)

Patogenesis
Mekanisme dari invasi bakteri kedalam ruang subaracnoid masih belum diketahui. Salah satu faktor yang berperan mungkin adalah jumlah/konsentrasi bakteri dalam darah. Virulensi kuman mungkin merupakan faktor yang penting didalam invasi bakteri kedalam CNS. Pelepasan lipopolisakarida dari N. Meningitidis merupakan salah satu faktor yang menentukan patogenitas organisme ini. Setelah terjadi invasi kedalam ruang subarakhnoid, bakteriemia sekunder dapat terjadi sebagai akibat dari proses supurative lokal dalam CNS. (Japardi, 2002)

Manifestasi Klinik
Gejala dari meningococcal meningitis tidak berbeda dengan meningitis yang disebabkan oleh bakteri pyogenik lainnya. Gejala dapat berupa febris, nyeri kepala, kaku kuduk, mual, muntah, penurunan kesadaran sampai koma. Komplikasi dari CNS berupa transient palsy dari N.IV, VI, VII dan VIII. Biasanya didapatkan riwayat infeksi saluran nafas bagian atas dalam dua atau tiga hari sebelum onset penyakit, gejala dapat didahului oleh muntah dan diare. Exanthema, walaupun tidak selalu didapatkan, merupakan cardinal sign didalam membedakan etiologi antara meningococcus dengan yang lainnya. Lesi yang paling sering berupa petechial atau purpura, masimg-masing lesi berukuran antara 1 sampai 15 mm. Hal ini biasanya didahului oleh suatu makular rash, adpat pula timbul lesi makulopapular. Pada infeksi yang berat dapat berkembang menjadi suatu lesi ekimosis dan bila lesi sangat besar dan ulseratif, mungkin memerlukan suatu skin graft setelah infeksi teratasi. Pasien meningitis dengan DIC dan shock labih sering disertai dengan skin rash berupa purpura/ekimosis. Lesi kulit ini timbul 5-9 hari setelah onset infeksi berupa lingkaran berwarna gelap dengan bagian tepi yang lepuh/lecet sebesar 1-2 cm, dalam 24 jam terbentuk bulla yang steril yang akan menjadi ulcerasi dan akan sembuh dengan cepat. Pada pasien didapatkan satu atau lebij lesi yang sering terjadi pada daerah dorsum dari tangan, atau pada kaki dandaerah deltoid. Secara histologis lesi setril ini adalah suatu alergic vasculitis, yang menurut whittle dkk (1973) merupakan deposit kompleks antigen antibodi. Adanya suatu DIC harus dipertimbangkan bida terdapat ekimosis atau hemorrhagic bullae yang besar. (Japardi, 2002)
Meningococcmia kronis merupakan varian yang jarang berupa febris yang rekuren, rash, migratory arthralgia, myalgia dan toksisitas yang minimal. Rash biasanya berupa makulopapular terutama pada ekstremitas, tetapi dapat pula berbentuk nodular dan petekhial. Pada biopsi didapatkan lesi yang amat berbeda dari meningococcemia akut, berupa infiltrat mononuklear perivaskuler serta thrombosis vaskuler, nekrosis dan infiltrat granulosit. (Japardi, 2002)
Manifestasi cardial merupakan manifestasi klinis yang jarang ditemukan pada infeksi meningococcus, meningococcus kadang-kadang menyebabkan endokarditis, pericarditis baik serous atau purulen dapat timbul dengan atau tanpa gejala sistemik. Myocarditis didapatkan pada 78% dari kasus meningococcus yang fatal. Arthritis didapatkan hampir 10-20% pasien dengan infeksi meningococcus, biasanya timbul 1-10 hari setelah onset dari gejala bakteriemia dan berlangsung sekitar 1 minggu. (Japardi, 2002)

Pemeriksaan Penunjang
Gambaran laboratorium dari infeksi meningococcus adalah seperti umunya infeksi pyogenic berupa peningkatan jumlah leukosit sebesar 10.000 sampai 30.000/mm3dan eritrosit sedimentation. Pada urine dapat ditemukan albuminuria, casts dan sel darah merah. Pada kebanyakan kasus, meningococcus dapat dikultur dari nasofaring, dari darah ditemukan lebih dari 50% dari kasus pada stadium awal, serta dari lesi kulit dan CSF. CSF kultur menjadi steril pada 90-100% kasus yang diobati dengan antimikrobal terapi yang apropiate, meskipun tidak terdapat perubahan yang signifikan dari gambaran CSF. Pada pasien meningitis, pemeriksaan CSF ditemukan pleositosis dan purulen. Walaupun pada fase awal dapat predominan lymphocytic, dlam waktu yang singkat menjadi granulocytic. Jumlah sel bervariasi dari 100 sampai 40.000 sel/ul. Tekanan CSF meningkat biasanya antara 200 dan 500 mm H2O. protein sedikit meningkat dan kadar glukosa rendah biasanya dibawah 20 md/dl. Pemeriksaan gram stain dari CSF dan lesi petechial, menunjukkan diplococcus gram negatif. Diagnosa pasti didapatkan dari kultur CSF, cairan sendi, tenggorokan dan sputum. Kultur dapat positif pada 90% kasus yang tidak diobati. Counter Immuno elektrophoresis (CIE) dapat mendeteksi sirculating meningococcal antigen atau respon antibodi. Pada kasus dengan gambaran CSF yang khas tapi gram stain negatif, dapat dilakukan pemeriksaan latex aglutination test untuk antigen bakteri. Sensitivitas dari test ini sekitar 50-100% dengan spesifisitas yang tinggi. Bagaimanapun test yang negatif belum menyingkirkan diagnosa meningitis yang disebabkan oleh meningococcus. Polymerase chain reaction dapat digunakanuntuk pemeriksaan DNA dari pasien dengan meningitis meningococcus dengan sensitivitas dan spesifisitas. (Japardi, 2002)

Penatalaksanaan
Terapi antibiotik diberikan secepatnya setelah didapatkan hasil kultur. Pada orang dewasa, Benzyl penicillin G dengan dosis 1-2 juta unit diberikan secara intravena setiap 2 jam. Pada anak dengan berat badan 10-20 kg. Diberikan 8 juta unit/hari,anak dengan berat badan kurang dari 10 kg diberikan 4 juta unit/hari. Ampicillin dapat ditambahkan dengan dosis 300-400 mg/KgBB/hari untuk dewasa dan 100-200 mg/KgBB/ untuk anak-anak. Untuk pasien yang alergi terhadap penicillin, dapat dibrikan sampai 5 hari bebas panas. Terapi suportive seperti memelihara status hidrasi danoksigenasi harus diperhatikan untuk keberhasilan terapi. Untuk DIC, beberapa penulis merekomendasikan pemberian heparin 5000-10.000 unit diberikan dengan pemberian cepat secara intravena dan dipertahankan pada dosis yang cukup untuk memperpanjang clotting time danpartial thromboplastin time menjadi 2 atau 3 kali harga normal. Untuk mengontrol kejang diberikan anticonvulsan. Pada udem cerebri dapat diberikan osmotik diuretik atau corticosteroid, tetapi hanya bila didapatkan tanda awal dari impending herniasi. (Japardi, 2002)


READ MORE - Meningitis

Diare Berlendir dan Berdarah

Seorang pria, petani, berusia 43 tahun, datang dengan keluhan sakit perut dan diare lendir, kadang berdarah, selama + 1 bulan. Pasien juga mengeluh cepat lelah setelah beraktivitas, sering berkunang-kunang dan dada berdebar-debar, serta kadang tubuh merasa gatal. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan tepi mulut pecah-pecah dan konjungtiva pucat. Nyeri tekan lepas daerah Mc Burney (-). Dari auskultasi, didapatkan takikardia, bising sistolik, dan ronki basah basal paru. Kondisi rumah pasien berlantai tanah, sumber air minum (sumur) berjarak 2 meter dari jumbleng atau sumuran terbuka (tempat BAB tradisional). Beberapa tetangganya juga memiliki keluhan yang sama (diare). Dari pemeriksaan laboratorium, didapatkan anemia berat dan eosinofilia. Pada pemeriksaan mikroskopis tinja, didapatkan telur cacing, protozoa, dan bakteri.

Diare dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti karena faktor makanan, faktor psikologis, dan juga dapat disebabkan oleh parasit. Anamnesis seharusnya menggali tentang segala informasi yang dapat menguatkan diagnosis kita. Pekerjaan pasien yang sebagai petani tentunya memberikan gambaran bagi kita, bisa saja pasien ini terinfeksi oleh parasit cacing. Karena kebanyakan cacing yang parasit habitatnya di tempat yang lembab seperti persawahan dan perkebunan. Seperti Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Taenia saginata, Taenia solium, Strongyolides stercoralis, dan berbagai macam protozoa dan bakteri.
Diare yang disertai lendir dan darah menandakan kalau di dalam saluran pencernaan, terutama di usus, terjadi suatu trauma atau semacamnya. Biasanya diare yang kronik dan disertai lendir darah disebabkan karena adanya suatu infeksi parasit pada saluran pencernaan penderita. Bisa disebabkan oleh golongan protozoa seperti Entamoeba histolytica, cacing seperti golongan cacing tambang dan Strongyloides.
Hasil dari pemeriksaan mikroskopis ternyata didapatkan telur cacing, protozoa, dan bakteri. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa diare berlendir dan kadang berdarah disebabkan karena ada infeksi parasit, kemungkinan cacing. Hipotesis sementara adalah cacing tambang karena kebanyakan kasus dengan diare berdarah diakibatkan oleh cacing ini. Pada infeksi cacing tambang, kehilangan darah yang terjadi adalah 0,03-0,05 ml darah/cacing/hari pada N. americanus dan 0,16-0,34 ml darah /cacing/hari pada A. duodenale. Anemia biasa terjadi 10-20 minggu setelah infeksi dan membutuhkan lebih dari 500 cacing untuk menimbulkan gejala anemia. (Pohan, 2007; Soedarmo dkk, 2002). Ada juga teori yang menyatakan bahwa anemia disebabkan bukan karena cacing itu sendiri, tetapi karena luka yang ditimbulkan oleh cacing tersebut ketika mengaitkan dirinya di mukosa usus.
Diare dengan disertai darah yang cukup banyak dapat mengakibatkan anemia berat pada penderita. Manifestasi dari anemia pun akan timbul, mulai dari cepat lelah ketika beraktivitas, sering berkunang-kunang, dan konjungtiva pucat.
Dari hasil pemeriksaan fisik pasien juga ditemukan ronki basah basal paru. Ronki adalah bunyi akibat turbulensi udara di sekitar mukus/debris daerah lain. Ronki tersebut bisa terjadi di alveolus yang mengindikasikan bahwa ada cairan dalam ruangan tersebut (Ronki basah basal paru). Apabila di apex terindikasi TBC, sedangkan bila di basal terindikasi bahwa terdapat akumulasi cairan dan sel-sel radang. Pemeriksaannya dengan cara pasien ekspirasi sampai pasien batuk setelah itu pasien inspirasi dan didengarkan oleh stetoskop. Ronki basal tersebut juga mengindikasikan bahwa terdapat potensi gagal jantung.
Pemeriksaan Mc Burney sign ditujukan untuk mengetahui apakah pasien menderita Appendiksitis yang bisa juga disebabkan oleh adanya Ascaris lumbricoides. Dari hasil pemeriksaan didapatkan Mc Burney sign negatif. Hal ini menunjukkan tidak ada infeksi Ascaris lumbricoides pada appendiks. Gatal yang terjadi pada pasien mungkin disebabkan oleh Ancylostoma duodenale. Cacing ini dapat merangsang reaksi alergi pada tubuh dengan menghasilkan antigen.
Pada kasus ini Ancylostoma, Ascaris, dan Strongyloides adalah kemungkinan terbesar agen infeksius karena jika dilihat pada kasus bahwa lingkungan tempat bapak tersebut tinggal adalah habitat yang cocok untuk ketiga cacing tersebut. Pada kasus juga terdapat bahwa terdapat tetangga yang mempunyai tanda dan gejala yang sama, hal ini berkaitan dengan penyebaran dari cacing tersebut yang melalui tanah dan feses yang terinfeksi oleh telur dari cacing tersebut Selain itu daur hidup dari Ancylostoma dan Ascaris serta Strongyloides yang pada saat larva dapat mengikuti aliran darah dan cairan limfe sehingga dapat meyebar ke bagian tubuh lain seperti paru-paru, jantung, atau bahkan otak. Penyebaran dalam tubuh manusia tersebut dapat bermanifestasi anemia, ronki basah basal paru, dan lain sebagainya.
Diagnosis pasti dari penyakit ini sebenarnya adalah mengecek morfologi dari parasit yang ditemukan dalam tinja. Hipotesis sementara bahwa pasien menderita necatoriasis/ankilostomiasis masih dapat dipertahankan.
Apabila diagnosis sudah dapat dipastikan dan ternyata memang benar disebabkan oleh cacing tambang, maka pengobatan yang dapat diberikan adalah Albendazole, Mebendazole, Tetrakloretilen (drug of choice), befanium hidroksinaftat, atau pirantel pamoat.


READ MORE - Diare Berlendir dan Berdarah

Diare

Diare adalah buang air besar dengan tinja berbentuk cair atau setengah padat, kandungan air pada tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 gram atau 200ml/24 jam (Dorland, 2002). Definisi lain memakai frekuensi dalam mendefinisikan yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari dan buang air tersebut dapat/tanpa disertai lendir atau darah (Pohan, 2006).
Pada umumnya, diare akut disebabkan oleh infeksi atau toksin bakteri. Etiologi dari diare akut antara lain virus, protozoa (Giardia lamblia, E. hystolitica), bakteri (S. aureus, C. perfringens, E. coli, V. cholera, C. difficile, Shigella, Salmonella sp, Yersinia), iskemia intestinal, inflammatory bowel disease, dan kolitis radiasi. Diare yang terjadi tanpa kerusakan mukosa usus (non-inflammatory) dan disebabkan oleh toksin bakteri (terutama E. coli) biasanya mempunyai gejala diare dengan feses benar-benar cair, tidak ada darah, nyeri perut terutama daerah umbilikus (karena kelainan terutama daerah usus halus), kembung, mual, dan muntah. Diare dalam bentuk bercampur darah, lendir, dan disertai demam biasanya disebabkan oleh kerusakan mukosa ususyang ditimbulkan oleh invasi Shigella, Salmonella, atau amebiasis. Daerah yang terkena adalah kolon. Umumnya, diare akut dapat sembuh sendiri dalam 5 hari dengan pengobatan sederhana yang disertai rehidrasi. (Djojoningrat, 2006)
Etiologi diare kronik dapat dikelompokkan dalam 6 kategori patogenesis terjadinya, yaitu diare osmotik (disebabkan oleh osmolalitas intralumen usus yang lebih tinggi dari dalam serum), diare sekretorik (disebabkan oleh sekresi intestinal yang berlebihan dan berkurangnya absorbsi yang menyebabkan diare yang cair dan banyak), diare karena gangguan motilitas (disebabkan oleh transit usus yang cepat atau justru karena terjadinya stasis yang menimbulkan perkembangan bakteri intralumen yang berlebihan), diare inflamatorik (disebabkan oleh faktor inflamasi seperti inflammatory bowel disease), malabsorbsi, dan infeksi kronik (oleh G. lamblia, E. hystolitica, nematoda usus, atau pada keadaan immunocompromized). Diare osmotik terjadi pada intoleransi laktosa, obat laksatif (laktulosa, magnesium sulfat), dan obat (antasid). Diare sekretorik pada umumnya disebabkan oleh tumor endokrin, malabsorbsi garam empedu, dan laksatif katartik. Malabsorbsi dapat terjadi akibat penyakit usus halus, reseksi sebagian usus, obstruksi limfatik, defisiensi enzim pankreas, dan pertumbuhan bakteri yang berlebihan (Djojoningrat, 2006).
READ MORE - Diare

Miastenia Gravis

Definisi
Miastenia gravis adalah gangguan fungsi neuromuskular yang diduga disebabkan oleh adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin pada persambungan neuromuskular; ciri-cirinya meliputi kelelahan dan kehabisan tenaga pada system muskular dengan kecenderungan berfluktuasi dalam keparahan, tanpa gangguan sensorik atau atrofi (Dorland, 2006).

Klasifikasi miastenia gravis
Dapat dibagi menjadi 5:
1. Kelompok I: Miastenia okular
Hanya menyerang otot-otot okular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak ada kasus kematian.
2. Kelompok IIA: Miastenia umum ringan
Awitan lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. System pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik. Angka kematian rendah.
3. Kelompok IIB: Miastenia umum sedang
Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala okular, lalu berlanjut semakin berat dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar. Disartria, disfagia dan sukar mengunyah lebih nyata dibanding miastenia gravis umum ringan. Otot-otot pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan, aktivitas pasien terbatas, angka kematian rendah.
4. Kelompok III: Miastenia berat akut
Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot pernapasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Respon terhadap obat buruk. Insiden krisis miastenik, kolinergik maupun krisis ganbungan keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi.
5. Kelompok IV: Miastenia berat lanjut
Timbul paling sedikit dua tahun sesudah awitan gejala-gejala kelompok I atau II. Miastenia gravis berkembang secara perlahan-lahan atau secara tiba-tiba. Respon terhadap obat dan prognosis buruk.

Tanda Khas Miastenia Gravis
• Kelemahan otot voluntar berfluktuasi, terutama otot wajah dan otot ekstraokular
• Kelemahan otot meningkat dengan aktivitas
• Kekuatan otot meningkat setelah istirahat
• Kekuatan otot meningkat sebagai respon terhadap pengobatan (antiasetil-kolinesterase) (Kumar, 2006).

Diagnosis Miastenia Gravis
• Anamnesis
• Pemeriksaan fisik: meliputi pemeriksaan muscle test
Muscle Grading Chart
Musle Gradation Description
5-normal ROM lengkap melawan gravitasi dengan tahanan penuh
4-baik ROM lengkap melawan gravitasi dengan tahanan sedang
3-sedang ROM penuh melawan gravitasi
2-lemah ROM penuh, dieliminir oleh gravitasi
1-batas Kontraksi ringan, tanpa gerak sendi
0-nol Tanpa kontraksi
(Rachmah, 2008).
• Pemeriksaan penunjang:
- Tes antikolinesterase: digunakan edrofonium (tensilon), suatu antikolinesterase kerja pendek, yang diberikan intravena dalam beberapa detik dan efeknya akan berakhir dalam beberapa menit.
- Elektromiografi: akan tampak gambaran frekuensi yang rendah (2-4 Hz); stimulasi berulang akan menghasilkan penurunan amplitudo dari evoked motot responses.
- Antibodi AChR: hasil positif bersifat diagnostik; walaupun demikian hasil positif tidak berkolerasi dengan derajat penyakit.
- CT-scan atau MRI: untuk melihat adanya timoma (Setiohadi, 2006).

Penatalakasanaan
1. Terapi medikamentosa
• Terapi antikolinesterase
Neostigmin  bekerja dengan cara memperpanjang kerja dari asetilkolin, yang merupakan senyawa alami di dalam tubuh. Neostigmin menghambat aksi dari enzim asetilkolinesterase. Neostigmin menyebabkan perlambatan detak jantung, oleh karena itu sering dikombinasi dengan obat parasimpatolitik seperti atropine atau glycopyrrolate.
Pyridostigmin adalah parasimpatomimetik dan merupakan penghambat reversible kolinesterase. Dengan bentuk kuartener amin, pyridostigmin kurang diserap oleh usus dan tidak dapat melewati sawar darah otak. Pyridostigmin digunakan untuk mengobati otot yang lemah pada penderita miastenia gravis dan menghilangkan keracunan karena obat jenis kurare.
• Imunosupresi:
Terapi steroid  glukokortikoid, jika digunakan secara tepat, menyebabkan perbaikan pada kelemahan miastenik pada sebagian besar pasien. Pasien dengan terapi glukokortikoid jangka panjang harus diikuti dengan hati-hati untuk mencegah atau mengobati efek samping yang buruk.
Obat imunosupresif lain  azatioprin, siklosporin atau kadang-kadang siklofosfamid efektif pada banyak pasien, baik sendiri atau kombinasi dengan terapi glukokortikoid.
• Plasmaferesis: plasma yang mengandung antibody yang patogenik, dipisahkan secara mekanis dari sel darah, yang dikembalikan kepada pasien dalam suatu medium yang cocok. Plasmaferesis menyebabkan pengurangan jangka pendek dalam antibodi AChR, dengan perbaikan klinis pada banyak pasien.
2. Pembedahan
Timektomi: operasi ini menawarkan kemungkinan manfaat jangka panjang. Pada beberapa kasus mengurangi atau menghentikan kebutuhan akan terapi medis yang berkelanjutan. (Drachman, 2007)
READ MORE - Miastenia Gravis

Jumat, 27 Juni 2008

Tetanus

Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif berbentuk batang, Clostridium tetani. Bakteri ini menghasilkan toksin tetanospamin dan tetanolisin. Tetanolisin merusak jaringan yang masih hidup dan mengoptimalkan kondisi untuk multiplikasi bakteri dan tetanospamin yang menghasilkan sindrom tetanus. Toksin dalam jumlah sangat kecil bisa mematikan bagi manusia. Bakteri ini memiliki banyak tipe yang dibedakan oleh antigen flagel. Bakteri ini tidak bersifat invasif. Bakteri ini menghasilkan spora. Spora yang dihasilkan tidak berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket tenis atau paha ayam. Spora dapat bertahan bertshun-tahun pada lingkungan tertentu, tahan sinar matahari, resisten terhadap berbagai macam desinfektan serta pendidihan selama 20 menit. (Rahim, 1994; Brooks, 2005; Ismanoe, 2007)

Patogenesis
Tetanospamin berikatan dengan reseptor di membran prasinaps pada motor neuron. Kemudian bergerak ke hulu melalui sistem transpor aksonal retrograd menuju cell bodies neuron-neuron tersebut hingga medula spinalis dan batang otak.Toksin berdifusi ke terminal dari sel inhibitor, termasuk interneuron glisinergik dan neuron yang mensekresi asam aminobutirat dari batang otak. Toksin menurunkan sinaptobrevin, yaitu protein yang berperan mengikat vesikel neurotansmiter pada membran parasinaps. Pengeluaran glisin inhibitor dan asam aminobutirat gama diblok dan motor neuron tidak dihambat. Hiperrefleksia, spasmeotot dan paralisis spastik terjadi. (Brooks, 2005)

Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik yang muncul dapat diklasifikasi beratnya menurut Abblet menjadi :
1. Derajat I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.
2. Derajat II (sedang)
Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme singkat ringan sampai sedang, gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan lebih dari 30, disfagia ringan.
3. Derajat III (berat)
Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme refleks berkepanjangan, frekuensi pernafasan lebih dari 40, serangan apneua, disfagia berat, dan takikardi >120.
4. Derajat IV (sangat berat)
Derajat tiga dengan gangguan otonomik berat menggunakan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia terjadi berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap.
(Ismanoe, 2007)

Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis tetanus mutlak didasarkan gejala klinis. Tetanus tidaklah mungkin apabila terdapat riwayat serial vaksinasi yang telah diberikan secara lengkap dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan. Sekret luka hendaknya dikultur pada kasus yang dicurigai tetanus. Jumlah leukosit kemungkinan meningkat. (Ismanoe, 2007)

Penatalaksanaan
Strategi terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan: organisme yang terdapat dalam tubuh hendaknya dihancurkan untuk mencegah pelepasan toksin lebih lanjut; toksin yang terdapat dalam tubuh, di luar sistem saraf pusat hendaknya dinetralisasi; dan efek dari toksin yang telah terikat pada sistem saraf pusat diminimasi. (Ismanoe, 2007)


READ MORE - Tetanus

Pneumonia

Etiologi
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup broniolus respiratorius, dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Pneumonia dibagi menjadi Pneumonia Nosokomila (PN), yaitu pneumonia yang terjadi di rumah sakit dan Pneumonia Komunitas (PK). Pada PK biasanya yang menginefeksi adalah Str. pneumoniae, M. pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, H. influenzae, S. aureus, Ps. aeruginosa, Branhamella catarrhalis, dll. Pada PN yang sering menjadi patogen adalah S. aureus, Ps. aeruginosa, dan Acinobacter spp. (Nrooks, 2005; Dahlan, 2007)
Pada kesempatan kali ini penulis akan menitikberatkan mengenai Branhamella catarrhalis yang sekarang bernama Moraxella catarrhalis yang sebelumnya bernama Neisseria catarrhalis. M. catarrhalis adalah bakteri gram negatif yang berbentuk coccus, termasuk dalam famili Neisseriaceae. Bakteri ini bersifat nonmotil, tidak meragikan, dan oksidase positif. Bakteri ini merupakan flora normal pada anak-anak usia sekolah, tapi akibat adanya perubahan seperti gangguan kekebalan dan penyakit kronik, polusi lingkungan, dan penggunaan antibiotik yang tidak tepat sehingga terjadi perubahan karakteristik kuman. (Brooks, 2005; Dahlan, 2007)

Patogenesis
Patogenesis peumonia terjadi akibat proses infeksi bila patogen yang masuk saluran nafas bagian bawah tersebut mengalami kolonisasi setelah dapat melewati hambatan mekanisme inang berupa daya tahan mekanik (epitel cilia dan mukus), humoral (antibodi dan komplemen), dan selular. Kolonisasi terjadi akibat adanya berbagai faktor inang dan terapi yang telah dilakukan yaitu adanya penyakit penyerta yang berat, tindakan bedah, pemberian antibiotik, obat-obatan lain dan tindakan invasif pada saluran pernafasan. Mekanisme lain adalah pasasi bakteri pencernaan ke paru, penyebaran hematogen, dan akibat intubasi. (Dahlan, 2007)




Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik yang dapat muncul batuk kering, kesulitan bernafas, dan gangguan lain (seperti nyeri kepala, mialgia, rasa lelah, tenggorokan kering, nausea, vomitus, dan diare). Terkadang muncul demam disertai menggigil. (Braundwald, 2001)

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan radiologis, pemeriksaan laboratorium hitung leukosit karena pneumonia erat kaitannya dengan sistem imun, pemeriksaan bakteriologis yaitu kultur kuman dan pewarnaan, serta pemeriksaan khusus berupa titer antibodi dan analisis gas darah untuk menentukan tingkat hipoksia dan kebutuhan oksigen. (Dahlan, 2007)

Penatalaksanaan
Pada prinsipnya terapi untama pneumonia adalah pemberian antibiotik (AB) tertentu terhadap kuman tertentu pada sesuatu tipe dari ISNBA (Infeksi Saluran Nafas Bawah Akut) baik pneumonia ataupun bentuk lain, dan AB ini dimaksudkan sebagai terapi kausal terhadap kuman penyebab termaksud. (Dahlan, 2007 )


READ MORE - Pneumonia

Mata Kuning

Pada skenario kali ini disebutkan seorang penderita (20 tahun) dengan keluhan utama mata berwarna kuning sejak satu minggu. Pada anamnesis diketahui keluhan ini disertai febris sejak 10 hari, tidak sampai menggigil, nausea dan vomitus, teman kosnya juga menderita keluhan yang sama. Penderita sering makan di warung dekat kosnya. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan sklera ikterik, hepatomegali, nyeri tekan regio hipokondria kanan, murphy sign (-). Hasil pemeriksaan lab didapatkan leukopenia, hiperbilirubinemia, peningkatan enzim hepar, HbsAg (-), Anti HAV (+), darah tebal tipis malaria (-), serologi untuk Salmonella thypii, Leptospirosis, dan Dengue Hemoragic Fever (-).

Dari hasil anamnesis pasien diagnosis dapat menjurus ke beberapa penyakit seperti: hepatitis A, hepatitis B, malaria, DHF, leoptospirosis, dan demam tifoid.. Selanjutnya hasil pemeriksaan fisik pasien didapatkan sklera ikterik, hepatomegali, nyeri tekan regio hipokondria kanan. Hal ini menunjukkan adanya gangguan pada hepar pasien tapi belum dapat membantu untuk menegakkan diagnosis. Kemudian dari hasil pemeriksaan lab didapatkan leukopenia, hiperbilirubinemia, peningkatan enzim hepar, HbsAg (-), Anti HAV (+), darah tebal tipis malaria (-), serologi untuk Salmonella thypii, Leptospirosis, dan Dengue Hemoragic Fever (-). Dari hasil itu penulis dapat mendiagnosis pasien menderita Hepatitis A.
Hepatitis A disebabkan oleh virus HAV (Hepatitis A Virus). Virus ini adalah anggota terpisah dari famili picornavirus. HAV merupakan partikel bulat 27-32 nm dengan simetri kubus, mengandung genom RNA untai tunggal yang lurus beryukuran 7,5 kb. HAV memiliki sifat stabil pada pemberian ether 20%, asam (pH 1,0 selama 2 jam), dan panas (60ºC selama 1 jam). Virus dapat dihancurkan dengan merebus dalam air selama 5 menit, dengan pemanasan kering (180ºC selama 1 jam), radiasi ultraviolet, formalin, dan klorin. Memanaskan makanan pada suhu > 85ºC selama 1 menit sangat penting untuk inaktivasi HAV. Adanya virus ini menunjukkan ketidakhigienisan dari suatu tempat. Hal ini mendukung pernyataan pasien bahwa ia dan temannya sering makan di warung. Dapat disimpulkan warung tersebut kurang higienis.
Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya, suatu infeksi dapat mengakibatkan reaksi peradangan yang dapat menaikkan suhu tubuh seperti gejala febris yang dikeluhkan pada kasus ini. Sklera ikterik timbul akibat terjadinya hiperbilirubinemia yang terjadi akibat adanya kerusakan pada hati, sehingga hati tidak dapat mengekskresikan bilirubin secara normal. Nausea dan vomitus disebabkan karena adanya rangsangan pada hepar. Seperti telah diketahui bahwa bila dinding sel hepar terangsang oleh adanya toksik, maka nervus vagus akan terangsang dan menghasilkan neurotransmitter seperti serotonin. Serotonin inilah yang dapat merangsang pusat vomit, lalu pusat vomit akan merangsang otot-otot lambung sehingga terjadilah vomitus.
Adanya hiperbilirubinemia dan peningkatan enzim hepar mengindikasikan kerusakan hepar. Hal ini terjadi diakibatkan karena adanya reaksi imun dari tubuh terhadap virus yang dipacu oleh replikasi virus di hati. Replikasi virus hepatitis A termasuk ke dalam jalur lisis. Pertama-tama virus akan menempel di reseptor permukaan sitoplasma, RNA virus masuk, pada saat yang sama kapsid yang tertinggal di luar sel akan hilang, di dalam sel RNA virus akan melakukan translasi, hasil dari translasi terbagi dua yaitu kapsid baru dan protein prekusor untuk replikasi DNA inang, DNA sel inang yang sudah dilekati oleh protein prekusor virus melakukan replikasi membentuk DNA sesuai dengan keinginan virus, DNA virus baru terbentuk, kapsid yang sudah terbentuk dirakit dengan DNA virus menjadi sebuah virion baru, virus baru yang sudah matang keluar dan mengakibatkan sel lisis oleh sel-sel fagosit. Lisis menyebar sampai bagian hati yang disebut saluran bilier dan mengakibatkan hiperbilirubin dan peningkatan enzim hepar. Hepatomegali juga merupakan sebuah respon tubuh terhadap HAV. Lisisnya jaringan hati memicu hati untuk berproliferasi sehingga terkadang kecepatan lisis lebih lambat daripada kecepatan proliferasi sehingga menimbulkan pembengkakan hati.
Penulis telah dapat mendiagnosis penyakit yang diderita. Langkah selanjutnya penatalaksanaan. Jika pasien mengalami dehidrasi berat dapat dirujuk untuk rawat inap. Tidak ada terapi medicamentosa untuk hepatitis A karena pasien bisa sembuh sendiri. Pemeriksaan bilirubin pada minggu kedua dan ketiga untuk pemantauan. Pembatasan aktivitas fisik juga diperlukan agar tidak membebani hati. Terkahir adalah melakukan diet mengandung zat hepatotoksin. Prognosis untuk hepatitis A pada anak-anak adalah baik tapi bila terjadi pada orang dewasa bisa lebih buruk, namun tetap baik. Hepatitis A dapat dicegah dengan melakukan imunisasi hepatitis A.


READ MORE - Mata Kuning

Hepatitis B

Etiologi
Hepatitis B adalah virus yang menyerang hati, masuk melalui darah ataupun cairan tubuh dari seseorang yang terinfeksi seperti halnya virus HIV. Hepatitis B hampir 100 kali lebih infeksius dibandingkan dengan virus HIV. Virus ini tersebar luas di seluruh dunia dengan angka kejadian yang berbeda-beda. Angka kejadian di Indonesia mencapai 4%-30% pada orang normal, sedangkan pada penyakit hati menahun dapat ditemukan angka kejadian 20%-40%. Apabila seseorang terinfeksi dengan virus ini maka gejalanya dapat sangat ringan sampai berat sekali. Pada orang dewasa dengan infeksi akut biasanya jelas dan akan sembuh sempurna pada sebagian besar (90%) pasien. Akan tetapi pada anak-anak terutama balita, sebagian besar dari mereka penyakitnya akan berlanjut menjadi menahun (Akbar, 2006).

Patogenesis
Virus hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari peredaran darah partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus. Sellanjutnya sel-sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh, partikel HBsAg bentuk bualt dan tubuler, dan HbeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. VHB merangsang respons imun tubuh, yang pertama kali datang adalah respon imun nonspesifik yang diikuti oleh respon imun spesifik. (Soewignjo, 2007)



Manifestasi Klinik
Pada kebanyakan orang terutama anak-anak apabila terinfeksi hepatitis B tidak menimbulkan gejala. Gejala baru timbul apabila seseorang telah terinfeksi selama 6 minggu. Gejala yang timbul dapat berupa kehilangan nafsu makan, mual, muntah-muntah, lemas, merasa lelah, nyeri perut terutama di sekitar hati, urin berwarna gelap, kulit menjadi kuning, dan juga terlihat terutama pada mata, serta kadangkadang pula disertai nyeri otot dan tulang-tulang (Akbar, 2006).

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan serologi untuk mencari HBS Ag, anti HBS, HBE Ag, anti HBE. Pemeriksaan yang tidak kalah pentingnya adalah secara virologi yaitu menemukan HBV DNA. (Brooks, 2005)

Penatalaksanaan
Pada saat ini dikenal dua kelompok terapi untuk hepatitis B kronik, yaitu:
1. Kelompok Imunomodulasi
Interferon
Timosin alfa 1
Vaksinasi terapi
2. Kelompok Terapi Antivirus
Lamivudin
Adevoir Dipivoksil
(Soewignjo, 2007)


READ MORE - Hepatitis B

Hepatitis A

Etiologi
Hepatitis A disebabkan oleh virus HAV (Hepatitis A Virus). Virus ini adalah anggota terpisah dari famili picornavirus. HAV merupakan partikel bulat 27-32 nm dengan simetri kubus, mengandung genom RNA untai tunggal yang lurus beryukuran 7,5 kb. HAV memiliki sifat stabil pada pemberian ether 20%, asam (pH 1,0 selama 2 jam), dan panas (60ºC selama 1 jam). Virus dapat dihancurkan dengan merebus dalam air selama 5 menit, dengan pemanasan kering (180ºC selama 1 jam), radiasi ultraviolet, formalin, dan klorin. Memanaskan makanan pada suhu > 85ºC selama 1 menit sangat penting untuk inaktivasi HAV. (Brooks, 2005)

Patogenesis
Secara umum hepatitis diakibatkan karena adanya reaksi imun dari tubuh terhadap virus yang dipacu oleh replikasi virus di hati. Replikasi virus hepatitis A termasuk ke dalam jalur lisis. Pertama-tama virus akan menempel di reseptor permukaan sitoplasma, RNA virus masuk, pada saat yang sama kapsid yang tertinggal di luar sel akan hilang, di dalam sel RNA virus akan melakukan translasi, hasil dari translasi terbagi dua yaitu kapsid baru dan protein prekusor untuk replikasi DNA inang, DNA sel inang yang sudah dilekati oleh protein prekusor virus melakukan replikasi membentuk DNA sesuai dengan keinginan virus, DNA virus baru terbentuk, kapsid yang sudah terbentuk dirakit dengan DNA virus menjadi sebuah virion baru, virus baru yang sudah matang keluar dan mengakibatkan sel lisis oleh sel-sel fagosit. (Brooks, 2005)

Manifestasi Klinik
Kadang bisa saja seorang yang terinfeksi HAV tidak menunjukkan gejala yang berarti, namun walaupun ditemukan kejadian seperti ini feses dari orang tersebut tetaplah infeksius. Gejala yang biasanya diderita adalah: meriang / tidak enak badan, nausea, vomiting, dan diare, kehilangan nafsu makna sehingga berat badan turun, ikterik, kulit gatal, sakit di bagian abdominal. (Magee, 2008)
Masa infeksi biasanya berakhir dalam dua bulan, tetapi kadang-kadang menjadi lebih lama pada sebagian orang. Sekali terinfeksi dan tubuh dapat mengalahkan virus maka tubuh akan memiliki kekebalan. (Magee, 2008)

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis penyakit hepatitis A adalah tes ELISA selain itu dapat dilakukan uji serologis untuk menentukan anti-HAV. Tes lain yang dapat dilakukan adalah PCR yang kemudian hasilnya dapat dielektroforesis. (Brooks, 2005; Sanityoso, 2007)

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk hepatitis A :
1. Dehidrasi berat  rawat inap
2. Tidak ada terapi medicamentosa karena pasien bisa sembuh sendiri.
3. Pemeriksaan bilirubin pada minggu kedua dan ketiga untuk pemantauan.
4. Pembatasan aktivitas fisik agar tidak membebani hati.
5. Diet mengandung zat hepatotoksin. (Sanityoso, 2007)


READ MORE - Hepatitis A

Dengue Hemoragik Fever (DHF) / Demam Berdarah Dengue (DBD)

Etiologi
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue Family Flaviviridae, dengan genusnya adalah Flavivirus. Virus mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Selama ini secara klinik mempunyai tingkatan manifestasi yang berbeda tergantung dari serotipe virus dengue. Morbiditas penyakit DBD menyebar di negara-negara tropis dan sub tropis. Disetiap negara penyakit DBD mempunyai manifestasi klinik yang berbeda (Anonim, 2007).

Patogenesis
Patogenesis dan Patofisiologi, patogenesis DBD tidak sepenuhnya dipahami namun terdapat 2 perubahan patofisiologi yang menyolok, yaitu meningkatnya permeabilitas kapiler yang mengakibatkan bocornya plasma, hipovolemia dan terjadinya syok. Pada DBD terdapat kejadian unik yaitu terjadinya kebocoran plasma kedalam rongga pleura dan rongga peritoneal. Kebocoran plasma terjadi singkat (24-28 jam). (Depkes RI, 2005)
Hemostatis abnormal yang disebabkan oleh vaskulopati, trombositopeni dan koagulopati, mendahului terjadinya manifestasi perdarahan. Aktivasi sistem komplemen selalu dijumpai pada pasien DBD kadar C3 dan C5 rendah, sedangkan C3a dan C5a meningkat. Mekanisme aktivasi komplemen tersebut belum diketahui. Adanya kompleks imun telah dilaporkan pada DBD. Namun demikian peran kompleks antigen-antibodi sebagai penyebab aktivasi komplemen pada DBD belum terbukti. (Depkes RI, 2005)
Selama ini diduga bahwa derajat keparahan penyakit DBD dibandingkan dengan DD dijelaskan adanya pemacuan dari multiplikasi virus di dalam makrofag oleh antibodi heterotipik sebagai akibat infesi dengue sebelumnya. Namun demikian terdapat bukti bahwa faktor virus serta responsimun cell-mediated terlibat juga dalam patogenesis DBD. (Depkes RI, 2005)

Manifestasi Klinik
Infeksi oleh virus dengue menimbulkan variasi gejala mulai sindroma virus nonspesifik sampai perdarahan yang fatal. Gejala demam dengue tergantung pada umur penderita, pada balita dan anak-anak kecil biasanya berupa demam, disertai ruam-ruam makulopapular. Pada anak-anak yang lebih besar dan dewasa, bisa dimulai dengan demam ringan, atau demam tinggi ( > 39 derajat C ) yang tiba-tiba dan berlangsung 2-7 hari, disertai sakit kepala hebat, nyeri di belakang mata, nyeri sendi dan otot, mual-muntah, dan ruam-ruam. (Suhendro, 2007)
Bintik-bintik pendarahan di kulit sering terjadi, kadang-kadang disertai bintik-bintik pendarahan dipharynx dan konjungtiva. Penderita juga sering mengeluh nyeri menelan, tidak enak di ulu hati, nyeri di tulang rusuk kanan ( costae dexter ), dan nyeri seluruh perut. Kadang-kadang demam mencapai 40-41 derajat C, dan terjadi kejang demam pada balita. (Suhendro, 2007)
DHF adalah komplikasi serius dengue yang dapat mengancam jiwa penderitanya, oleh :
1. Demam tinggi yang terjadi tiba-tiba
2. Manifestasi pendarahan
3. Nepatomegali atau pembesaran hati
4. Kadang-kadang terjadi shock manifestasi pendarahan pada DHF, dimulai dari test torniquet positif dan bintik-bintik pendarahan di kulit ( ptechiae ). Ptechiae ini bisa terjadi di seluruh anggota gerak, ketiak, wajah dan gusi, juga bisa terjadi pendarahan hidung, gusi, dan pendarahan dari saluran cerna, dan pendarahan dalam urine. (Suhendro, 2007)
Berdasarkan gejalanya DHF dikelompokan menjadi 4 tingkat :
1. Derajat I : Demam diikuti gejala spesifik, satu-satunya manifestasi pendarahan adalah test Terniquet yang positif atau mudah memar.
2. Derajat II : Gejala yang ada pada tingkat 1 ditambah dengan pendarahan spontan, pendarahan bisa terjadi di kulit atau di tempat lain.
3. Derajat III : Kegagalan sirkulasi ditandai dengan denyut nadi yang cepat dan lemah, hipotensi, suhu tubuh rendah, kulit lembab, dan penderita gelisah.
4. Derajat IV : Shock berat dengan nadi yang tidak teraba, dan tekanan darah tidak dapat di periksa, fase kritis pada penyakit ini terjadi pada akhir masa demam. (Suhendro, 2007)
Setelah demam 2-7 hari, penurunan suhu biasanya disertai dengan tanda-tanda gangguan sirkulasi darah, penderita berkeringat, gelisah, tangan dan kakinya dingin dan mengalami perubahan tekanan darah dan denyut nadi. Pada kasus yang tidak terlalu berat gejala-gejala ini hampir tidak terlihat, menandakan kebocoran plasma yang ringan. (Suhendro, 2007)

Pemeriksaan Penunjang
Parameter penunjang yang dapat diperiksa antara lain leukosit, trombosit, hematokrit, hemostasis, protein/albumin, SGOT/SGPT, ureum, kreatinin, elektrolit, golongan darah, dan imunoserologi, serta uji HI. (Suhendro, 2007)

Penatalaksanaan
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi supportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeriksaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna. (Suhendro, 2007)



READ MORE - Dengue Hemoragik Fever (DHF) / Demam Berdarah Dengue (DBD)

Leptospirosis

Etiologi
Leptospirosis adalah zoonosis yang tersebar di seluruh dunia. Ia disebabkan oleh spirocheta dari genus leptospira. Sistem klasifikasi tradisional didasarkan atas patogenitas yang membedakan antara spesies patogen yaitu Leptospira interrogans dan spesies nonpatogen yang hidup bebas, yaitu Leptospira biflexa. Leptospira berbentuk ulir yang rapat, tipis dengan panjang 5-15 mm. Leptospira dapat hidup berminggu-minggu di dalam air, khususnya pada pH basa. (Brooks, 2005)

Patogenesis
Leptospirosis merupakan salah satu penyakit spiroketa pada manusia. Spiroketemia merkembang segera setelah masuknya leptospira melalui kulit atau selaput lendir, dengan perluasan cepat keseluruh jaringan dan cairan tubuh. Sesuai dengan respon imun, spiroketemia dapat berkembang semakin lanjut atau berkurang; namun demikian, organisme dapat menetap di bagian tubuh dengan kekebalan terbatas. Pada leptospirosis, menetapnya bakteri pada ginjal dan penyimpanan bakteri dalam urin penting dalam epidemiologi. Manifestasi lanjut seperti meningitis aseptic dan iridosiklitis, diperkirakan diperantarai secara imunopatologis. Kejadian seperti ini merupakan gambaran pada setiap penyakit spiroketa (White, 1999).
Manifestasi Klinik
Manifestasi sering berupa demam, menggigil, sakit kepala, meningismus, anoreksia, mialgia conjuctival suffusion, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus, hepatomegali, ruam kulit, fotopobi. (Zein, 2007)

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium darah rutin dijumpai leukositosis, normal, atau sedikit menurun disertai gambaran neutrofilia dan LED meninggi. Pada urin dijumpai proteinuria, leukosituria, dan torak (cast). Bila organ hati terlibat, bilirubin direk meningkat tanpa peningkatan transaminase. BUN, ureum, dan kreatinin juga bisa meninggi bila ada komplikasi pada ginjal. Trombositopenia terdapat pada 50% kasus. Diagnosis pasti dengan isolasi leptospira dari cairan tubuh dan serologi. (Zein, 2007)

Penatalaksanaan
Obat microbial yang dipakai cukup banyak, meliputi: penisislin, streptomisin, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin maupun siprofloksasin. Tindakan suportif diberikan sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul. Kalau terjadi gangguan fungsi hati, diberikan diet serta perawatan untuk penyakit hati, sedangkan jika terjadi gangguan fungsi ginjal maka protein dalam diet sesuai dengan bersihan kreatinin (Zein, 2007)


READ MORE - Leptospirosis

Demam Tifoid

Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella thypi dan Salmonella parathypi. Salmonela merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang yang termasuk dalam famili Enterobacteriaceae. Salmonella memiliki karakteristik memfermentasikan glukosa dan mannose tanpa memproduksi gas, tetapi tidak memfermentasikan laktosa atau sukrose. Seperti Enterobacteriaceae yang lain Salmonella memiliki tiga macam antigen yaitu antigen O (tahan panas, terdiri dari lipopolisakarida), antigen Vi (tidak tahan panas, polisakarida), dan antigen H (dapat didenaturasi dengan panas dan alkohol). Antigen ini dapat digunakan untuk pemeriksaan penegak diagnosis. (Brooks, 2005)

Patogenesis
Bakteri Salmonella thypi dan Salmonella paratyphi masuk tubuh manusia melalui makanan dan minuman tercemar. Sebagian bakteri dimusnahkan asam lambung, sebagian lolos ke usus dan berkembang biak. Bila IgA usus kurang baik bakteri akan menembus sel epitel dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia bakteri berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit. Bakteri dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika yang kemudian masuk ke darah. Di dalam hati bakteri masuk ke kandung empedu, berkembang biak dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus. Sebagian bakteri dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk kembali ke usus dan mengulang proses yang sama. Di dalam plague Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan,reaksi hipersensitivitas tipe lambat, dan nekrosis jaringan. (Widodo, 2007)

Manifestasi Klinik
Masa tunas demam tifoid berlangsung 10-14 hari. Gejala yang timbul sangat bervariasi. Dalam minggu pertama penyakit, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistasis. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif, lidah yang khas (kotor di tengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis, roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia. (Widodo, 2007)

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah : (1) melalui spesimen baik darah ataupun tinja, hal ini disebabkan gold standart dari pemeriksan penyakit infeksi adalah menemukan agen infeksiusnya; (2) dengan menggunakan kultur salmonella; (3) tes serologis yang dibagi menjadi : Tes Aglutinasi dan Tes Widal. Tes Aglutinasi dapat digunakan untuk pengidentifikasian lebih cepat. Tes ini memiliki spesificitas dan sensitivitas yang baik. Sedangkan Tes Widal dapat digunakan untuk mengetahui keberhasilan terapi. (Brooks, 2005)

Penatalaksanaan
• Perawatan
Pasien tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi, dan pengobatan. Pasien harus istirahat berbaring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud istirahat berbaring adalah untuk mencegah komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. (Widodo, 2007)
• Diet
Pemberian makanan lunak pada pasien tifoid dimaksudkan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Namun, beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid. (Widodo, 2007)
• Obat
Obat-obat antimikreoba yang sering dipergunakan adalah: kloramfenikol, tiamfenikol, ko-trimoksazol, ampisilin dan amoksilin, dan sefalosporin generasi ketiga. Selain itu juga dapat diberikan obat-obatan simtomatik untuk menanggulangi gejala yang ada. (Widodo, 2007)


READ MORE - Demam Tifoid

Fisiologi Hepar

Hati (hepar) adalah kelenjar besar berwarna merah gelap terletak di bagian atas abdomen sisi kanan. Unit fungsional dasar hati adalah lobulus hati, yang berbentuk silindris dengan panjang beberapa milimeter dan berdiameter 0,8 sampai 2 milimeter. Hati manusia berisi 50.000 sampai 100.000 lobulus. Lobulus sendiri dibentuk terurama dari banyak lempeng sel hepar. Masing-masing lempeng hepar tebalnya satu sampai dua sel, dan diantara sel yang berdekatan terdapat kanakuli biliaris kecil yang mengalir ke duktus biliaris di dalam septum fibrosa yang memisahkan lobulus hati yang berdekatan. (Dorland, 2006; Guyton, 1998)

Fungsi dasar hati dapat dibagi menjadi (1) fungsi vaskular untuk menyimpan dan menyaring darah, (2) fungsi metabolisme yang berhubungan dengan sebagian besar sistem metabolisme tubuh, dan (3) fungsi sekresi yang berperan membentuk empedu yang mengalir melalui saluran empedu ke saluran pencernaan. Dalam fungsi vaskularnya hati adalah sebuah tempat mengalir darah yang besar. Hati juga dapat dijadikan tempat penimpanan sejumlah besar darah. Hal ini diakibatkan hati merupakan suatu organ yang dapat diperluas. Aliran limfe dari hati juga sangat tinggi karena pori dalam sinusoid hati sangat permeable. Selain itu di hati juga terdapat sel Kupffer (derivat sistem retikuloendotelial atau monosit-makrofag) yang berfungsi untuk menyaring darah. (Guyton, 1998)
Fungsi metabolisme hati dibagi menjadi metabolisme karbohidrat, lemak, protein, dan lainnya. Dalam metablosime hepar fungsi hati : (1) menyimpan glikogen; (2) me-ngubah galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa; (3) glukoneogenesis; (4) membentuk senyawa kimia penting dari hasil perantara metabolisme karbohidrat. Dalam metabolisme lemak fungsi hati : (1) kecepatan oksidasi beta asam lemak yang sangat cepat untuk mensuplai energi bagi fungsi tubuh yang lain; (2) pembentukan sebagian besar lipoprotein; (3) pembentukan sejumlah besar kolesterol dan fosfolipid, dan (4) penguraian sejumlah besar karbohidrat dan protein menjadi lemak. Dalam metabolisme protein hati berfungsi : (1) deaminasi asam amino; (2) pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari dalam tubuh; (3) pembentukan protein plasma; (4) interkonversi diantara asam amino yang berbeda. (Guyton, 1998)
Fungsi sekresi hati membentuk empedu juga sangat penting. Salah satu zat yang dieksresi ke empedu adalah pigmen bilirubin yang berwarna kuning-kehijauan. Bilirubin aadalah hasi akhir dari pemecahan hemoglobin. Bilirubin merupakan suatu alat mendiagnosis yang sangat bernilai bagi para dokter untuk mendiagnosis penyakit darah hemolitik dan berbagai tipe penyakit hati. (Guyton, 1998)


READ MORE - Fisiologi Hepar

Selasa, 03 Juni 2008

Benjolan pada Payudara

Pada kesempatan kali ini seorang wanita berusia 35 tahun mengeluh adanya benjolan pada payudara kiri sejak 4 bulan yang lalu. Adik dari ibu juga menderita tumor payudara, bahkan sampai meninggal dunia pada usia 45 tahun. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa pasien memiliki tumor payudara, namun belum dapat ditentukan jenis tumornya dan sifatnya. Mengenai kemungkinan-kemungkinan yang dapat diderita oleh pasien telah penulis jabarkan pada tinjauan pustaka.
Ketika mengahadapi pasien seperti ini pola pikir seorang dokter haruslah sesuai dengan urutan untuk menegakkan diagnosis. Langkah pertama adalah anamnesis. Tujuannya adalah untuk mengetahui keluhan atau gejala yang dialami oleh pasien. Keluhan atau gejala yang timbul ini umumnya tergantung dari lokasi tumor, stadium lanjut dari tumor, dan penyulit yang ditimbulkannya. Selain bertujuan untuk memperkirakan asal dari tumor tersebut, anamenis juga dilakukan untuk mendapatkan data-data penting dari pasien, meliputi status perkawinan, paritas, gaya hidup, riwayat menstruasi, riwayat keluarga, dan riwayat penyakit dahulu, sehingga dapat ditentukan apakah pasien memiliki faktor resiko untuk menderita kanker payudara. Langkah kedua adalah melakukan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara inspeksi dan palpasi. Pada pemeriksaan inspeksi dapat dilihat adakah bentuk yang abnormal pada semua bagian payudara mulai dari kulit sampai papila. Palpasi dapat dilakukan pada kelenjar limfonodi aksilaris terutama aksilaris yang superficial. Pemeriksaan penunjang lain yang dilakukan adalah pemeriksaan imaging. Pemeriksaan ini dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis (radiodiagnosis) dan staging dari tumor tersebut. Adapun pemeriksaan imaging yang dapat dilakukan untuk tumor payudara adalah: Mammografi, USG (Ultrasonografi, pemeriksaan dengan menggunakan gelombang udara), Rontgen toraks, bone scan, dan CT-scan (Computerized Tomography Scanning). Beberapa karakteristik dari tumor jinak dan tumor ganas yang dapat diketahui melalui pemeriksaan klinis, pemeriksaan PA, dan pemeriksaan imaging dapat dilihat pada bagian lampiran.
Pentahapan tumor adalah penentuan stadium dari tumor berdasarkan pemeriksaan-pemeriksaan yang telah dilakukan diatas, meliputi penentuan letak topografi tumor primer, eksistensinya ke organ sekitar, dan ada tidaknya metastasenya ke organ lain. Mengetahui stadium tumor sangat penting untuk menentukan tindakan terapi apa yang akan diberikan dan juga prognosis penyakit. Sistem yang umum digunakan untuk menentukan stadium dari tumor adalah sistem TNM, yang ditetapkan oleh UICC (Union Internationale Contre le Cencere). Sistem TNM ini berdasarkan pada 3 kategori, yaitu: T (Tumor primer), N (Nodul regional, metastase ke kelenjar limfe regional), dan M (Metastasis jauh). Penetapan stadium tumor berdasarkan sistem TNM adalah dapat dilihat pada bagian lampiran.

Setelah semua pemeriksaan yang diperlukan untuk diagnosis telah lengkap, dan stadium dari tumor telah ditentukan, maka diagnosis tumor tersebut selanjutnya dapat ditegakkan. Dalam penulisan penegakkan diagnosis tumor hendaknya dicantumkan data selengkap-lengkapnya, meliputi 1). Organ asal tumor (origin-nya), 2). Histopatologi, dan 3). Stadiumnya. Selain itu, sebaiknya status penampilan pasien (Performance status) juga disebutkan saat diagnosis ditegakkan, untuk tujuan persyaratan sebelum dilakukan tindakan terapi, dan untuk evaluasi perkembangan keadaan umum pasien selama dan sesudah terapi diberikan.
Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien tersebut bergantung pada jenis dan stadium dari tumor yang dideritanya. Oleh karena itu, penatalaksanaan atau terapi tersebut tidak dapat dilakukan sebelum diagnosis tumor ditegakkan dengan melaksanakan langkah-langkah pemeriksaan yang telah disebutkan diatas.


READ MORE - Benjolan pada Payudara

Neoplasma Ganas Payudara

Neoplasma ganas pada payudara sering disebut juga dengan kanker payudara, dimana keadaan ini memperlihatkan proliferasi keganasan sel epitel yang membatasi duktus atau lobus payudara. Pada awalnya hanya terdapat hiperplasia sel dengan perkembangan sel-sel yang atipikal, namun sel-sel ini kemudian berlanjut menjadi karsinoma in situ dan menginvasi stroma. Kanker membutuhkan waktu 7 tahun untuk tumbuh dari satu sel menjadi massa yang cukup besar untuk dapat dipalpasi (kira-kira berdiameter 1 cm). Pada ukuran itu, sekitar 25% kanker payudara sudah mengalami metastasis.
Penyebab kanker payudara belum dapat ditentukan namun terdapat beberapa faktor resiko yang telah ditetapkan, keduanya adalah lingkungan dan genetik. Adapun faktor resiko tersebut adalah sebagai berikut: Usia 30-50 tahun meningkat tajam; Kelompok sosial ekonomi menengah ke atas; Perempuan tidak menikah (50% lebih sering terkena payudara); Nulipara; Kehamilan pertama setelah 30 tahun; Abortus spontan sebelum kelahiran pertama; Menarke pada usia dini; Menopouse lambat setelah usia 50 tahun; Sanak famili perempuan tingkat pertama (keluarga maternal dan paternal) dengan kanker payudara: 2-3 kali terkena kanker payudara, Ibu dan saudara perempuan, atau 2 saudara perempuan terkena kanker payudara: 6 kali lebih besar terkena kanker payudara; Obesitas (setiap penambahan 10 kg): 80% lebih besar terkena kanker payudara; Penyakit payudara lain, seperti hiperplasia duktus dan lobulus dengan atipia: 8 kali lebih besar terkena payudara; Terpajan radiasi, pada perempuan muda dan anak-anak bermanifestasi setelah usia 30 tahun, periode laten minimum: 10-15 tahun; Kanker primer kedua, dengan kanker ovarium primer resiko kanker payudara 3-4 kali lebih besar, dengan kanker endometrium primer resiko kanker payudara 2 kali lebih besar, dengan kanker kolorektal resiko kanker payudara 2 kali lebih besar; Gaya hidup. (Price and Wilson, 2006 : 1303)
Pada keluarga dengan riwayat kanker payudara yang kuat, banyak perempuan memiliki mutasi dalam gen kanker payudara, yang disebut BRCA-1 (di kromosom 17q21.3) pola keturunan adalah dominan autosomal dan dapat diturunkan melalui garis maternal maupun paternal. Sindrom kanker payudara familial lainnya berkaitan dengan gen pada kromosom 13, yang disebut BRCA-2 (di kromosom 13q12-13). Kedua gen ini diperkirakan berperan penting dalam perbaikan DNA. Keduanya bekerja sebagai gen penekan tumor, karena kanker muncul jika kedua alel inaktif atau cacat – pertama disebabkan oleh mutasi sel germinativum dan kedua oleh sel somatik berikutnya. (Kumar et al, 2007 : 795; Price and Wilson, 2006 : 1303)
Selain yang menyebabkan sindrom familial di atas, perubahan genetik juga diduga berperan dalam timbulnya kanker payudara sporadik. Seperti pada sebagian besar kanker lainnya, mutasi yang memengaruhi protoonkogen dan gen penekan tumor di epitel payudara ikut serta dalam proses transformasi onkogenik. Di antara berbagai mutasi tersebut, yang paling banyak dipelajari adalah ekspresi berlebihan protoonkogen ERBB2 (HER2/NEU), yang diketahui mengalami amplifikasi pada hampir 30% kanker payudara. Gen ini adalah anggota dari famili reseptor faktor pertumbuhan epidermis, dan ekspresi berlebihannya berkaitan dengan prognosis yang buruk. Secara analog, amplifikasi gen RAS dan MYC juga dilaporkan terjadi pada sebagian kanker payudara manusia. Mutasi gen penekan tumor RB1 dan TP53 juga ditemukan. Dalam transformasi berangkai sel epitel normal menjadi sel kanker, kemungkinan besar terjadi banyak mutasi didapat. (Kumar et al, 2007 : 796)
Kanker payudara dibagi menjadi kanker yang belum menembus membran basal (noninvasif) dan kanker yang sudah menembus membran basal (invasif). Karsinoma noninvasif diklasifikasikan menjadi : karsinoma duktus in situ (DCIS; karsinoma intraduktus) dan karsinoma lobulus in situ (LCIS). Karsinoma invasif diklasifikasikan menjadi : karsinoma duktus invasif, karsinoma lobulus invasif, karsinoma medularis, karsinoma koloid (karsinoma musinosa), karsinoma tubulus, dan tipe lain. Dari tumor-tumor ini, karsinoma duktus invasif merupakan jenis yang sering terjadi, karena biasanya memiliki banyak stroma, karsinoma ini juga disebut sebagai scirrhous carcinoma. (Kumar et al, 2007 : 796-797)
Penyakit paget pada puting payudara adalah keganasan yang tumbuh keluar sepanjang duktus pada puting, yang berasal dari duktus yang lebih dalam atau kanker duktus invasif dengan rasa gatal, panas, keluarnya rabas, perdarahan, atau kombinasi diantaranya pada puting. Sel-sel ganas (sel-sel Paget) dari tumor yang lebih dalam menginvasi epidermis puting, menyebabkan krusta, dan tampak seperti eksim. Selain itu, invasi sel-sel Paget ke epidermis puting, dapat menyebabkan cairan ekstraseluler keluar menuju ke permukaan. (Kumar et al, 2007 : 1305; Price and Wilson, 2006 : 797)
Karsinoma inflamasi didefinisikan berdasarkan gambaran klinis berupa payudara yang membesar, bengkak, dan eritematosa, biasanya tanpa teraba adanya massa. Karsinoma penyebab umumnya bukan tipe khusus dan menginvasi secara difus parenkim payudara. Tersumbatnya saluran limfe dermis oleh karsinoma merupakan penyebab gambaran klinis. Peradangan sejati sebenarnya tidak ada atau minimal. Sebagian besar tumor ini telah bermetastasis jauh dan prognosis sangat buruk. (Kumar et al, 2007 : 798)
Karsinoma lobulus invasif terdiri atas sel yang secara morfologis identik dengan sel pada LCIS. Sel-sel secara sendiri-sendiri menginvasi stroma dan sering membentuk rangkaian. Kadang-kadang sel tersebut mengelilingi asinus atau duktus yang tampak normal atau karsinomatosa, menciptakan apa yang disebut sebagai mata sapi (bull’s eye). Karsinoma lobulus lebih sering bermetastasis ke cairan serebrospinal, permukaan serosa, ovarium dan uterus, serta sumsum tulang dibandingkan dengan karsinoma duktus. Karsinoma lobulus juga lebih sering bersifat multisentrik dan bilateral. Hampir semua karsinoma tipe ini mengekspresikan reseptor hormon, tetapi ekspresi ERBB2 jarang atau tidak terjadi. (Kumar et al, 2007 : 798-799)
Penyebaran kanker payudara terjadi dengan invasi langsung ke parenkim payudara, sepanjang duktus mamaria, pada kulit permukaan, dan meluas melalui jaringan limfatik payudara. Kelenjar getah bening regional yang terlinat adalah aksilaris, mamaria interna, dan kelenjar supraklavikuler. Selain itu, terdapat pula kanker payudara yang memang berawal dari jaringan limfatik, adapun jalur penyebarannya adalah deposit dan tumbuh sel kanker pada kelenjar limfe  kelenjar getah bening aksiler & supraklavikuler membesar (kel.getah bening sekitar payudara)  ke jalur limfatikus  masuk ke vena (aliran kardiovaskuler)  metastase ke organ-organ lain.


READ MORE - Neoplasma Ganas Payudara

PBL (Problem Based Learning)

Menurut Kalian PBL itu gimana?
Gimana pelaksanaannya di tempat kalian ??
READ MORE - PBL (Problem Based Learning)

Neoplasma Jinak Payudara

Neoplasma payudara atau tumor payudara adalah suatu pertumbuhan baru dan abnormal pada sel-sel di payudara yang biasa berbentuk benjolan, dimana multiplikasinya tidak terkontrol dan progresif. Adapun neoplasma payudara yang termasuk dalam keadaan jinak adalah:

• Fibroadenoma Mammae
Fibroadenoma adalah tumor jinak dari jaringan fibrosa yang berbentuk bulat, licin, berkonsistensi padat kenyal, berbatas tegak, dan mudah digerakkan. Fibroadenoma muncul sebagai nodus diskret, biasanya tunggal, dan bergaris tengah 1 hingga 10 cm. Lesi mungkin membesar pada akhir daur haid dan selama hamil. Pada pascamenopause, lesi mungkin mengecil dan mengalami kalsifikasi. Walaupun jarang, tumor mungkin dapat multipel dan bergaris tengah lebih dari 10 cm (fibroadenoma raksasa). Peningkatan mutlak atau nisbi aktivitas estrogen diperkirakan berperan dalam proses pembentukannya, dan lesi serupa mungkin muncul bersamaan dengan perubahan fibrokistik (fibroadenosis). Fibroadenoma biasanya teradi pada perempuan muda dimana insidensi puncak pada usia 30-an. Fibroadenoma hampir tidak pernah menjadi ganas. Pananganan fibriadenoma adalah melalui pembedahan pengangkatan tumor. Sistosarkoma filoides merupakan salah satu tipe dari fibriadenoma yang dapat kambuh jika tidak diangkat dengan sempurna. (Kumar et al, 2007 : 793; Newman, 2006 : 827; Price and Wilson, 2006 : 1302)
• Papiloma Intraduktus
Papiloma intraduktus adalah pertumbuhan tumor neoplastik di dalam suatu duktus. Sebagian besar lesi bersifat soliter, ditemukan di dalam sinus atauduktus laktiferosa utama. Lesi ini menimbulkan gejala klinis berupa : (1) keluarnya discharge serosa atau berdarah dari puting payudara; (2) adanya tumor subareola kecil dengan garis tengah beberapa milimeter sehingga terlalu kecil untuk dipalpasi; atau (3) retraksi puting payudara (jarang terjadi). Pada beberapa kasus, terbentuk banyak papiloma di beberapa duktus atau papilometosis intraduktus. Lesi kadang-kadang menjadi ganas, sedangkan papiloma soliter hampir selalu tetap jinak. (Kumar et al, 2007 : 794; Price and Wilson, 2006 : 1302)
• Fibrokistik Payudara
Perubahan fibrokistik adalah ragam kelainan dimana terjadi akibat dari peningkatan dan distorsi perubahan siklik payudara yang terjadi secara normal selama daur haid. Perubahan fibrokistik dibagi menjadi perubahan nonproliferatif dan perubahan proliferatif. Perubahan nonproliferatif mencakup kista dan fibrosis tanpa hiperplasia sel epitel (perubahan fibrokistik sderhana). Perubahan proliferatif mencakup serangkaian hiperplasia sel epitel duktulus atau duktus banal atau atipikal serta adenosis sklerotikans. (Kumar et al, 2007 : 789)
Perubahan nonproliferatif ditandai dengan peningkatan stroma fibrosa disertai oleh dilatasi duktus dan pembentukan kista dengan berbagai ukuran. Stroma mengelilingi semua bentuk kista biasanya terdiri atas jaringan fibrosa yang kehilangan gambaran miksomatosa. Infiltrat limfositik stroma sering ditemukan pada lesi ini dan varian lain perubahan fibrokistik. Perubahan proliferatif meliputi hiperplasia epitel dan adenosis sklerotikans. Istilah hiperplasia epitel dan perubahan fibrokistik proliferatif mencakup serangkaian lesi proliferatif di dalam duktulus, duktus terminalis, dan kadang-kadang lobulus payudara. Sebagian hiperplasia epitel ini bersifat ringan dan teratur serta tidak membawa resiko karsinoma, tetapi di sisi lain hiperplasia atipikal mamiliki resiko signifikan. Adenosis sklerotikans memiliki gambaran klinis dan morfologi mirip dengan karsinoma. Di lesi ini rampak mencolok fibrosis intralobularis serta proliferasi duktulus kecil dan asinus. Pertumbuhan berlebihan jaringan fibrosa ini mungkin menekan lumen asinus dan duktus sehingga keduanya tampak sebagai genjel-genjel sel. Adanya lapisan ganda epitel dan identifikasi elemen mioepitel menandakan bahwa kelainannya bersifat jinak. (Kumar et al, 2007 : 789-791)
Gejala-gejalanya berupa pembengkakan dan nyeri tekan pada payudara menjelang periode menstruasi. Tanda-tandanya adalah teraba massa yang bergerak bebas pada payudara, terasa granularitas pada jaringan payudara, dan kadang-kadang keluar cairan yang tidak berdarah dari puting. Banyak perempuan tidak mengeluhkan gejala dan baru mencari pemeriksaan kesehetan setelah meraba adanya massa. (Price and Wilson, 2006 : 1302)
• Tumor Phylloides
Tumor phylloides adalah fibroadenoma besar di payudara, dengan stroma serupa-sarkoma yang sangat selular. Tumor ini termasuk neoplasma jinak, namun kadangkala dapat menjadi ganas. Tumor ini bersifat agresif lokal dan dapat bermetastasis, dan diperkirakan berasal dari stroma intralobulus. Umumnya, tumor ini berdiameter 3 hingga 4 cm, namun dapat tumbuh hingga berukuran besar, mungkin masif sehingga payudara membesar. Sebagian mengalami lobulasi dan menjadi kistik. Karena pada potongan memperlihatkan celah yang mirip daun, maka tumor ini disebut tumor filoides. Perubahan yang paling merugikan adalah terjadinya peningkatan selularitas stroma disertai anaplasia dan aktivitas mitotik yang tinggi, selain itu peningkatan ukuran secara pesat, biasanya dengan invasi jaringan payudara di sekitarnya oleh stroma maligna. Sebagian besar tumor ini tetap lokalisata dan disembuhkan dengan eksisi. Lesi maligna mungkin kambuh, tetapi lesi ini juga cenderung terlokalisasikan.


READ MORE - Neoplasma Jinak Payudara

Galactocele

Galactocele adalah dilatasi suatu duktus yang tersumbat yang terbentuk selama masa laktasi atau pembesaran kistik kelenjar mammae yang mengandung air susu. Selain menyebabkan “benjolan” yang nyeri, kista mungkin pecah sehingga memicu reaksi peradangan lokal, yang dapat menyebabkan terbentuknya fokus indurasi persisten yang menimbulkan kekhawatiran keganasan beberapa tahun kemudian. (Kumar et al, 2007 : 788-789; Newman, 2006 : 891)
READ MORE - Galactocele

Abses Payudara

Abses payudara merupakan komplikasi yang terjadi akibat peradangan payudara kronik. Peradangan payudara atau yang disebut mastitis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, perembesan sekresi melalui fisura di puting, dan dermatitis yang mengenai puting. Bakteri yang sering menyebabkan terjadinya mastitis ini adalah Stafilokokus aureus atau streptokok. Mastitis sering terjadi pada pascapartum selama awal laktasi jika organisme berhasil masuk dan mencapai jaringan payudara melalui fisura pada puting. Gejala dan tanda yang sering ditimbulkan oleh abses payudara adalah tanda-tanda inflamasi pada payudara (merah, panas jika disentuh, membengkak, dan nyeri tekan), keluar nanah/pus dari puting, teraba massa, gejala sistemik berupa demam tinggi, menggigil, malaise, dan timbul limfadenopati pectoralis, axiller, parasternalis, dan subclavia. Adapun patogenesis dari abses payudara adalah: luka/lesi pada puting  organisme masuk (organisme ini biasanya dari mulut bayi)  peradangan  terjadi penyumbatan duktus  produksi susu normal  pengeluaran susu terhambat  terbetuk abses. Penanganan yang dapat dilakukan untuk mastitis adalah pemanasan lokal, antipiretik dan analgesik ringan, pengosongan payudara berkala dengan terus memberikan ASI atau memompa, dan terapi antibiotika oral. Namun jika sudah terjadi abses, perlu diberikan antibiotik intravena, aspirasi, atau insisi dan jika perlu drainase. Setiap cairan aspirasi perlu dilakukan pemeriksaan histologik untuk menyingkirkan keganasan.
READ MORE - Abses Payudara

Fisiologi dan Histologi Payudara

Payudara atau mammae terdiri dari jaringan kelenjar (glandula mamaria), fibrosa, dan lemak. Jaringan kelenjar ini dibagi menjadi pars sekretorius, yaitu tubulus dan alveolus (yang menghasilkan susu) dan pars ekskretorius atau duktus (saluran untuk mengeluarkan susu). Jaringan kelenjar membentuk 15-25 lobus yang tersusun radier di sekitar puting dan dipisahkan oleh jaringan lemak yang bervariasi jumlahnya, yang mengelilingi jaringan ikat (stroma) di antara lobus-lobus. Setiap lobus berbeda, sehingga penyakit yang menyerang satu lobus tidak menyerang lobus lainnya. Drainase dari lobus menuju sinus laktiferosa, yang kemudian bermuara ke puting. Jaringan ikat di banyak tempat akan memadat membentuk pita fibrosa yang tegak lurus terhadap substansi lemak, mengikat lapisan dalam dari fasia subkutan payudara pada kulit. Pita ini, yaitu ligamentum Cooper, merupakan ligamentum suspensorium payudara. Mammae terletak di ventral m. pectoralis major, m. serratus anterior, dan m. obliquus abdominis externus, meluas dari costae II – VI dan dari sternum sampai linea midaxillaris. Bagian posterior mammae merupakan jaringan pengikat longgar (spatium retromammae) yang memisahkan mammae dengan fascia yang menutupi m. pectoralis major dan m. serratus anterior. (Azizi dkk, 2005 : 12)
Papilla mammaria, merupakan bangunan yang menonjol di tengah-tengah permukaan glandula mamaria, terletak setinggi spatium intercostale IV, mengandung lubang-lubang kecil muara dari ductus lactiferus dan glandula mammaria yaitu apertura duktus laktiferosa. Papilla mammaria ini tersusun oleh serabut-serabut otot polos, tersusun sirkuler sedemikian rupa sehingga apabila terjadi kontraksi otot ini dapat menekan ductus lactiferus dan menyebabkan papilla mammaria tegak. Papilla mammaria dikelilingi oleh daerah gelap disebut areola glandula mammae. Areola mammae merupakan area yang hiperpigmentasi dan mengandung glandula sudorifera, glandula sebacea yang membentuk tonjolan-tonjolan kecil selama kehamilan dan glandula mammaria accesoria dengan lubang-lubang mini muara ductus lactiferus. Areola mammae kaya akan serabut sensoris dengan berbagai tipe “end-organ”, yang terletak terutama di dermis. (Azizi dkk, 2005 : 14; Hadiwidjaja, 2002 : 20-21)

READ MORE - Fisiologi dan Histologi Payudara